Oleh: Antony Lee
Pembahasan tentang verifikasi partai politik peserta Pemilu 2019 pascaputusan Mahkamah Konstitusi dalam rapat tertutup menimbulkan pertanyaan, seberapa gigih KPU berjuang melawan tekanan dari partai politik?
Awal tahun 2017, The Washington Post, surat kabar Amerika Serikat, menampilkan slogan baru: ”democracy dies in darkness”. Sebuah pesan penting untuk mengingatkan bahwa keterbukaan itu menjadi prasyarat bagi demokrasi yang sehat. Sayangnya, di Indonesia, nilai ini belum sepenuhnya dipegang, apalagi dijalankan anggota legislatif saat membahas kepentingan partai politik menyambut Pemilihan Umum 2019.
Beberapa wartawan duduk di lantai di depan ruang makan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Kamis (18/1) malam. Saat ada peserta rapat yang keluar dari ruangan, beberapa dari mereka mendekat, mencoba mencari informasi. Rapat Komisi II DPR bersama pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang beberapa hari sebelumnya terbuka pada hari itu didominasi rapat tertutup. Publik seolah ditampilkan pada dua ”wajah” panggung politik pengambilan kebijakan publik: panggung depan dan panggung belakang.
Rapat tertutup membahas verifikasi parpol peserta Pemilu 2019 itu berlangsung berseri, dimulai dari rapat antara penyelenggara pemilu bersama Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan para pimpinan Komisi II. Setelah itu, rapat dilanjutkan dengan forum lobi-lobi tertutup dengan tambahan peserta para ketua kelompok fraksi. Setelah rapat tertutup diskors untuk memberi waktu KPU memformulasikan detail teknis verifikasi, rapat kembali dilakukan tertutup hingga menjelang hari berganti Jumat. Rapat terbuka baru dilakukan dini hari.
Dengan dikurangi jeda rehat, rapat dari pagi hingga dini hari itu berlangsung sekitar 9,5 jam. Panggung depan yang terbuka disaksikan publik hanya sekitar 1,5 jam, sedangkan 8 jam lainnya berlangsung tertutup, menjadi ruang gelap. Sejumlah pegiat pemilu menyayangkan hal itu karena proses itu dianggap perlu dibuka terang benderang ke publik sedari awal karena menyangkut Pemilu 2019.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 11 Januari yang mencabut ”hak” istimewa parpol lama untuk tidak melalui verifikasi lewat pembatalan Pasal 173 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menimbulkan ”gempa” politik di kalangan parpol lama. Itu berarti 12 parpol lama harus menjalani proses yang sama dengan empat partai baru.
Sebenarnya, ”gempa” serupa juga muncul saat pendaftaran partai peserta Pemilu 2014. Saat pendaftaran parpol berlangsung, MK membatalkan Pasal 8 Ayat 1 UU No 8/2012 tentang Pemilu Legislatif yang berbunyi: ”parpol peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu pada pemilu berikutnya”. ”Drama” yang sama kembali berulang, tetapi dengan kisah yang jauh lebih kompleks karena tekanan waktu. Kurang dari sebulan parpol peserta Pemilu 2019 harus ditetapkan oleh KPU.
Perdebatan
Dari informasi yang diberikan beberapa peserta rapat tertutup, mulai tergambar perdebatan alot mengenai verifikasi parpol. Posisi KPU menghendaki verifikasi dilakukan di semua jenjang kepengurusan partai dan harus memenuhi substansi persyaratan: kepengurusan, keterwakilan perempuan, kantor, dan keanggotaan parpol. Namun, sejumlah representasi parpol melalui ketua kelompok fraksi di Komisi II ingin verifikasi tidak perlu dilakukan. Setelah tercapai kesepakatan verifikasi dilanjutkan, pembahasan metode verifikasi berlangsung lama. Pada pemilu terdahulu, verifikasi keanggotaan menjadi momok bagi parpol.
Saat KPU menawarkan verifikasi keanggotaan parpol disederhanakan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan anggaran, menggunakan metode sampling 5-10 persen dari populasi keanggotaan di kabupaten/kota, ada perwakilan partai yang ”menawar” sampel untuk uji petik cukup 2,5 persen. Padahal, dalam pengaturan sebelumnya, ada dua metode, yakni sensus untuk keanggotaan di bawah 100 orang dan sampling jika anggota di atas 100 orang. Jumlah sampel juga ditetapkan 10 persen dari populasi.
Mengenai teknik pengambilan sampel, beberapa anggota Komisi II juga bersikeras agar pemilihan dilakukan partai, bukan oleh petugas KPU. Pada pengaturan sebelumnya, petugas memverifikasi dengan mendatangi rumah-rumah anggota parpol. Dalam pengaturan baru ini, KPU sudah memudahkan proses dengan meminta partai mengumpulkan anggota mereka yang dicuplik KPU di kantor parpol. Bahkan, jika anggota itu berhalangan hadir karena sakit, verifikasi difasilitasi dengan penggunaan panggilan video.
Keinginan KPU memilih sampel dimentahkan dengan mempersilakan KPU mendatangi rumah-rumah anggota parpol yang dimaksud. Padahal, Komisi II tak membuka peluang tambahan waktu ataupun anggaran. Dalam jadwal baru, KPU hanya punya waktu tiga hari untuk memeriksanya. Karena partai tak beranjak dari posisi itu, disepakati tambahan syarat sampel harus ada di minimal 50 persen kecamatan di kabupaten/kota. Dengan kata lain, tidak boleh sampel yang dipilih sendiri oleh parpol itu mengumpul hanya di 1-2 kecamatan. Kemudian muncul pula perdebatan berlarut soal verifikasi terhadap parpol yang sedang mengalami konflik internal.
Penyelenggara pemilu
Mozaik yang tersusun dari fragmen-fragmen informasi itu memberi gambaran yang berbeda dari pernyataan sejumlah pengurus parpol yang menyatakan siap menjalani verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2019. Rapat terbuka, boleh jadi, bisa membuka contoh-contoh logika bertabrakan yang dimunculkan parpol. Salah satu yang terlihat, misalnya, soal pemilihan metode verifikasi keanggotaan melalui sampling dengan jumlah sampel rendah.
Uji petik sebelumnya pernah ditolak Komisi II dengan alasan tidak bisa menghasilkan kualitas yang baik. Dalam dokumen kesimpulan rapat Komisi II bersama penyelenggara pemilu dalam pembahasan rancangan peraturan KPU terkait pendaftaran parpol peserta Pemilu 2019, tanggal 28 Agustus 2017, disebutkan, ”agar norma yang mengatur tentang verifikasi faktual anggota parpol hanya dilakukan secara sensus, untuk metode sampling agar dihapus”.
Rapat tertutup juga merugikan penyelenggara pemilu. Ruang gelap juga membuat publik tidak bisa melihat seberapa gigih KPU mempertahankan posisinya saat berhadapan dengan tekanan dari ”wakil” parpol di Komisi II yang sarat dengan kepentingan praktis guna mengamankan tiket menuju Pemilu 2019. Publik, termasuk masyarakat sipil, kini mulai bertanya-tanya seberapa mandiri KPU dalam membuat pengaturan verifikasi ini? Tekanan sekeras apa yang mereka hadapi?
Bagi masyarakat sipil yang selama ini mendukung kemandirian dan progresivitas penyelenggara pemilu, menjadi sangat penting untuk melihat bahwa KPU berjuang sekuat tenaga mempertahankan kemandirian. Sebab, hal itu menjadi salah satu kunci bagi terselenggaranya pemilu yang berkualitas.
Pertemuan tertutup membuat KPU sulit menyampaikan modifikasi dari pernyataan Nyai Ontosoroh, tokoh dalam Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer, kepada Minke saat mereka sudah sekuat tenaga mempertahankan prinsipnya: ”Kami telah melawan tekanan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya” ….
Publik, termasuk masyarakat sipil, kini mulai bertanya-tanya seberapa mandiri KPU dalam membuat pengaturan verifikasi ini?
Sumber: Harian Kompas, 20 Januari 2018