Tidak semua lulusan di suatu jurusan kampus, berprofesi sesuai jurusan di fakultas. Seorang pemuda yang berkuliah di jurusan pertanian, malah jarang sekali — jika sulit mengatakannya tidak ada — yang berminat dan turun ke sawah menjadi petani. Begitulah kiranya, banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat yang berkecimpung di bidang pelestarian alam, acapkali merupakan orang yang sama sekali tidak berpendidikan formal. Mereka tumbuh dan besar bersama alam dan seisinya, ketimbang mesin, teknologi, dan kesibukan yang berkejaran.
Fakta di atas bukan berarti, jika ingin tergerak melestarikan alam, kita mesti ramai-ramai pindah ke desa dan menetap di pelosok alam. Atau bahkan anjuran berhenti bersekolah dan berpendidikan tinggi; belajar di sawah, hutan, pegunungan, atau menjadi nelayan di laut. Bukan itu. Poinnya adalah, bagaimana kemungkinan kesadaran lingkungan itu tertanam secara mengakar, sebagai bekal seseorang berkehidupan di tengah masyarakat. Kita patut berkaca pada kesahajaan masyarakat desa, yang nyatanya, banyak melahirkan tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh terhadap kelestarian alam.
Kesadaran yang Tumbuh berkat Tradisi
Ala bisa karena biasa, begitulah kata pepatah. Kesadaran masyarakat daerah terhadap lingkungan dan alamnya, tumbuh tidak jatuh dari langit dan permanen. Kesadaran yang merupakan kesahajaan, itu merupakan cerminan sehari-hari, yang mereka tanam di hati dan terus dijaga secara turun temurun. Adakalanya, modernisasi di segala lini kehidupan itu berjejalan masuk dan tidak ditolak, melainkan diadaptasi menjadi sebuah wajah baru yang tak melupakan kearifan lokalnya. Wajah-wajah itu, wajah-wajah yang gegap gempita merayakan kebudayaan modern, tanpa sedikitpun mengabaikan dan meremehkan ajaran leluhur yang telah menjadi tradisi. Setidaknya, itulah yang saya rasakan dan pahami selama perjalanan bersilaturahmi ke pelosok daerah di Indonesia bersama PSI.
Tak ada salahnya kita belajar dari kesahajaan tersebut. Sebab, jika kita jujur melihat kenyataan, tak hanya tokoh di desa, bahkan generasi penerusnya yang bersekolah dan berpendidikan tinggi di kota, turut mencerminkan kesahajaan itu melalui prestasi yang mereka raih. Saya tidak sedang mengagung-agungkan masyarakat desa dan mengutuk masyarakat kota, masyarakat di mana saya tinggal itu. Tetapi, saya tertarik, bagaimana mengadaptasi kesahajaan itu menjadi sebuah kearifan lokal baru masyarakat kota. Tren bercocok tanam di rumah kala pandemi, merupakan secuil peluang untuk menumbuhkan hal itu.
Tradisi berkebun di halaman rumah menjadi harapan dan kemewahan, terutama di saat perubahan iklim yang terus menghantui seperti saat ini. Dengan menciptakan suasana alam sedari membuka mata dan menatap halaman, otomatis membuat penghuni suatu rumah mencintai suasana itu dan tertanam di memorinya. Ia akan merasa bersalah, jika keluar rumah, tak memperlakukan lingkungannya berpijak seperti mencintai halaman rumahnya sendiri. Dengan begitu, secara otomatis sesungguhnya, pola pendidikan kesadaran lingkungan telah berjalan sejak dari lingkup individu di dalam keluarga.
Negara Hadir Menegakkan Sistem Berkesadaran Lingkungan
Pemerintah, baik legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif, semestinya terus hadir dengan segala perbaikan menegakkan regulasi yang telah ada dan selalu menyempurnakannya. Itulah mengapa pembahasan di parlemen disebut rapat Paripurna. Namun, untuk menuju kesempurnaan itu, memang tak semudah membolak-balikkan telapak tangan. Tantangan terbesar itu hadir, justru bukan dari gangguan pihak luar, melainkan pihak kita dan diri sendiri. Dalam kasus kesadaran lingkungan dan kelestarian alam, ini terbukti dari banyaknya perburuan satwa langka yang dilindungi, pembalakan liar, hingga sesederhana membuang sampah sembarangan.
Sistem berkesadaran lingkungan amat penting sebagai bekal bersiap menghadapi tantangan perubahan iklim. Pemerintah dan aparatur sebagai pemangku berjalannya stabilitas negara, dapat bekerja sama, berkoordinasi dan menerapkan aturan tegas terhadap industri di segala lini. Contoh sistem berkesadaran lingkungan yang dampaknya cukup terasa di masyarakat hingga saat ini, adalah aturan mengganti kantong plastik dengan tas, hingga penyortiran sampah rumahan. Masyarakat banyak mulai terbiasa, bahkan telah menjadikannya tren yang positif. Namun, seringkali menjadi sulit jika terbentur antara cita-cita negara dengan kepentingan kekuatan korporasi yang mengorbankan kelestarian alam. Di situlah, keberanian pemerintahan diuji.
Menjadi Sebuah Negeri Penyelamat Bumi
Jika tradisi pendidikan telah mengakar di masyarakat, dan sistem berkesadaran lingkungan telah ditegakkan oleh negara. Kelak, kita hanya tinggal menunggu waktu terwujudnya harapan untuk menunjukkan diri sebagai negeri penyelamat bumi.
Kami PSI, telah memberikan gagasan agar kelak jutaan anak muda bergerak merawat hutan, menjaga kelestarian alam dan kehidupan masyarakat adat setempat. Mungkin tak perlu sampai melakukan transmigrasi yang dramatis, cukup seperti menjadikan mereka sebagai “santri-santri” yang berkemah ke pelosok penjuru negeri.
Semua ini demi masa depan bumi. Demi penerus bangsa kita juga nanti.