Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak pasal makar terhadap presiden dan wakil presiden yang hadir di rancangan Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP). Terlebih lagi dengan ancaman hukuman mati.
“Mengkriminalkan suatu niat, dengan ancaman hukuman mati adalah suatu hal yang tidak bisa diterima di alam demokrasi, bisa memberangus demokrasi yang kita perjuangkan bersama,” kata Juru Bicara PSI, Rian Ernest, Kamis 19 September 2019
Pasal 167 dalam RKUHP menyebut, “Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.”
Ada tiga jenis makar dalam RKUHP. Yaitu makar terhadap presiden dan wakil presiden, makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan makar terhadap pemerintahan yang sah.
Untuk dua makar pertama, hukuman maksimal adalah hukuman mati. Sementara, untuk makar terhadap pemerintahan yang sah, hukuman maksimal adalah 12 tahun penjara.
Sejarah mencatat, kata Rian, bahkan di era Hindia Belanda pun, Sukarno didakwa tidak dengan pasal makar, melainkan dengan penyebaran kebencian terhadap penguasa. Bung Karno dipenjara empat tahun. “Jadi pertanyaan terbesar hari ini, apakah Indonesia era kemerdekaan menjadi lebih tidak pro-kebebasan sipil?” kata Rian.
Lulusan Lee Kuan Yew School of Public Policy ini melanjutkan, berbeda cerita bila yang dimaksud dengan ‘makar’ adalah serangan yang nyata kepada presiden dan wakil presiden. Itu lebih jelas dan terukur.
“Kita semua tahu, definisi makar yang mana mau dipakai saja masih simpang siur di antara akademisi hukum: apakah makar termasuk niat atau hanya di serangan nyata. Apa kita mau menghukum mati seseorang atas suatu konsep yang masih simpang siur?” lanjut Rian.
Ia menambahkan, “Posisi PSI tegas, serangan nyata itu lebih jelas dan terukur. Niat itu bisa sangat subyektif dan karet, tergantung agenda penguasa dan politik saat itu.”
Terakhir, ujar Rian, DPR seharusnya mendengar jeritan rakyat dan tidak memaksakan pengesahan RKUHP yang melawan nilai demokrasi dan kebebasan sipil ini.
“Dibahas saja di periode mendatang, undang publik untuk membahas secara cermat. Jangan main ketok,” papar Rian.