Ada sejumlah alasan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP). Salah salah satunya terkait “living law” atau hukum adat yang hendak diadopsi, dengan memasukkan pasal-pasal terkait pidana adat dalam pasal 2 RKUHP.
“Pasal 2 RUU KUHP berpotensi menjadi sumber perpecahan bangsa dan diskriminasi karena membuka peluang kriminalisasi yang sangat besar, mengingat hukum yang hidup dalam masyarakat tidak ada ukurannya dan bisa berubah-ubah setiap saat,” kata Juru Bicara PSI, Surya Tjandra, dalam keterangan pers, Selasa 17 September 2019.
DPR berencana mengesahkan RKUHP yang sudah menjadi wacana puluhan tahun tersebut pada 24 September 2019.
Surya melanjutkan, “Hampir dapat dipastikan kekacauan akan terjadi pada saat setiap suku membuat peraturan pidana berdasarkan adatnya masing-masing. Ditambah lagi, berdasarkan data dari Dirjen HAM Kemenkumham, banyak hukum adat yang melanggar HAM.”
Kelemahan lain, menurut Surya, “Hal ini bisa berdampak pada aspek sosiologi karena penerapan resepsi hukum adat dan hukum agama aturan bakal menguatkan rezim hukum represif berdasarkan agama tertentu, yang ditafsirkan secara sepihak, terutama oleh yang kuat, mayoritas dan tidak bisa diperdebatkan lagi alias anti-demokrasi.”
Secara prinsip, kata Surya, “Pasal ini menyimpang dari asas legalitas hukum pidana, di mana hukum pidana itu harus pasti (lex certa), ketat (lex stricta), tertulis dan bukan berdasarkan hukum kebiasaan (lex scripta), tidak boleh berlaku surut (lex praevia). Hak warga negara atas asas legalitas ini dilindungi oleh Konstitusi.”
Ia melanjutkan, sudah seharusnya aturan pidana itu dibuat ketat dan jelas, tidak terbuka terhadap interpretasi. Ini penting mengingat sanksi pidana adalah merampas kemerdekaan manusia (penjara), bahkan merampas nyawa, dalam hal hukuman mati.
Di tengah rencana itu, para perancang RKUHP juga belum memasukkan data pasti mengenai apa dan di mana saja pidana adat yang dimaksud. “Ini membuka ruang untuk daerah menetapkan hukumnya sendiri-sendiri secara subyektif yang melanggar prinsip kepastian hukum kita,” pungkas doktor ilmu hukum dari Universitas Leiden, Belanda, ini.