Melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 tentang Taman mini Indonesia Indah (TMII), pemerintah secara resmi mengambil alih penguasaan dan pengelolaan TMII. TMII sebelumnya dibawah penguasaan dan pengelolaan Yayasan Harapan Kita sejak mulai beroperasi pada tahun 1977. Yayasan Harapan Kita ini adalah sebuah lembaga milik keluarga presiden ke-2 Soeharto yang diberikan wewenang pengelolaan berdasarkan Kepres Nomor 51 Tahun 1977.
TMII adalah sebuah perwujudan dari cita-cita Ibu Tien Soeharto untuk membangun pusat kebudayaan Indonesia. Menurut ceritanya, ide ini bermula dari kunjungan Ibu Tien ke Disneyland di Amerika dan Timland di Thailand. Ibu Tien merasa bahwa Indonesia juga harus memiliki tempat wisata spektakuler namun berisikan tentang beragam adat dan budaya Indonesia.
Gagasan spektakuler ini akhirnya terwujud dengan dimulainya pembangunan pada 30 Juni 1972 meskipun mendapat banyak tentangan dan kritikan akhirnya selesai pada 30 april 1975. Hingga saat ini Taman Mini memiliki banyak fasilitas yang menarik diantaranya 33 anjungan provinsi, 18 museum, 11 wahana rekreasi dan 7 rumah ibadah.
Terlepas dari segala kontroversinya, TMII jelas sebuah ide yang brilian. Kita tidak perlu keliling Indonesia untuk melihat, mengetahui dan memahami betapa Indonesia ini kaya dengan ragam budaya. Indonesia memiliki beragam suku dengan ciri khas bangunan adat tersendiri dan di TMII kita dapat melihat semua keunikan bangunan adat yang dimiliki suku-suku tersebut.
Saya ingat ketika kecil dulu sangat suka diajak berlibur ke TMII. Begitu juga keluarga dari luar Jawa bila berkunjung ke Jakarta bisa dipastikan minta diantar mengunjungi TMII. Begitulah populernya TMII dulu yang menjadi tujuan wisata utama bagi wisatawan yang berkunjung ke Jakarta.
Akhir-akhir ini kepopuleran TMII memang jauh menurun. Saya kira ini soal faktor inovasi pengelola yang memang tidak berkembang. Jarang sekali kita dengar ada perhelatan kebudayaan yang digelar di TMII. Bahkan wahana hiburan juga itu ke itu saja hampir tidak ada hal baru yang ditawarkan ke publik. Tak heran kiranya TMII dilaporkan selalu mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Menurut Kepala Staf Presiden Moeldoko, Yayasan Harapan Kita harus mensubsidi antara Rp 40-50 milyar pertahun. Inilah salah satu alasan kenapa pemerintah berinisiatif untuk mengambil alih pengelolaan.
Saya termasuk yang senang sekali dengan kebijakan pemerintah mengambil alih penguasaan dan pengelolaan TMII ini. Bagi saya TMII ini benar-benar sebuah replika Indonesia yang menggambarkan keragaman identitas adat, budaya dan agama di Indonesia. TMII menurut saya adalah salah satu wahana yang tepat bagi kita untuk memperkenalkan kepada generasi muda Indonesia akan keragaman dan keunikan itu.
Kesadaran untuk melestarikan budaya warisan bangsa sejatinya memang harus dimulai dari generasi muda karena di tangan generasi mudalah masa depan bangsa ini ditentukan.
Kesadaran budaya ini sangat penting karena merupakan perwujudan dari sikap seseorang untuk menghargai dan memahami adanya perbedaan-perbedaaan yang ada dalam suatu bangsa.
Tanpa adanya kesadaran budaya ini akan rentan memunculkan konflik akibat kesalahpahaman dalam memahami perbedaan-perbedaan budaya itu. Dari sinilah munculnya konflik agama, etnis dan konflik budaya yang pada akhir-akhir inipun perbedaan itu digunakan bagi kalangan tertentu untuk dimanfaatkan dalam polarisasi politik.
Di titik inilah keberadaan TMII menjadi penting bagi saya. TMII memiliki potensi dan kekuatan untuk kembali menjadi etalase keberagaman Indonesia. TMII dapat menjadi lambang dari perwujudan Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Dengan menjadikan TMII kembali menjadi tujuan wisata populer kita berharap kesadaran budaya generasi muda kita makin membaik.
Kesadaran budaya akan memunculkan pemahaman bahwa perbedaan yang ada di antara kita adalah sebuah warna warni yang indah dan bukan sebuah pengakuan atas dominasi budaya tertentu. Pemahaman inilah yang selanjutnya akan memunculkan kesadaran akan nilai-nilai kesetaraan. Nilai kesetaraan ini selanjutnya menjadi landasan bagi kita untuk dapat mengembangkan nilai-nilai toleransi antara semua adat, budaya dan agama yang berbeda diantara kita.
Saya membayangkan TMII kedepan dikelola lebih menarik dengan menyuguhkan perhelatan budaya yang berkesinambungan. Tantangan terbesar adalah bagaimana TMII menjadi sebuah destinasi yang inklusif saling membaur antara anjungan-anjungan daerah yang ada. Selama ini kecenderungan anjungan-anjungan menampilkan perhelatan sendiri sehingga kebanyakan wisatawan malah berkunjung ke anjungan provinsi mereka sendiri. Orang Sumatera Barat berkunjung ke anjungan Rumah Gadang begitupun orang Sulawesi Utara cenderung mengunjungi rumah adat Wale Wanaro dan Bolaang Mongondow saja misalnya.
Pengelola untuk kedepannya harus dapat membuat pengunjung tertarik melihat anjungan daerah lain sehingga akan menimbulkan kesadaran budaya dan keragaman Indonesia. Pengelola dapat membuat siklus perhelatan adat dan budaya secara bergilir sehingga pengunjung benar-benar dapat menikmati pertunjukan seni dan budaya berbagai suku dengan kemasan yang menarik.
Saya membayangkan kedepannya TMII menjadi pusat kebudayaan yang akan menanamkan sikap multikulturalisme sejak dini. Dengan adanya kesadaran akan keragaman, generasi muda kita akan saling mencintai dan menghargai antar sesama rakyat Indonesia.
Dengan begitu akan muncul kesadaran di generasi muda kita untuk memahami bahwa sesungguhnya kita tidak harus sama karena yang kita butuhkan adalah kelapangan dada untuk menerima perbedaan dan keragaman sebagai takdir kemanusiaan kita. Hanya dengan kesadaran itulah Indonesia yang kita cintai ini akan selalu penuh dengan kedamaian dan hormat menghormati antar sesama.