Solidaritas Merawat Ingatan

Rubrik Sikap Kita – Koran Solidaritas Edisi III, September 2015

Sikap DPP Partai Solidaritas Indonesia

Dalam kisah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Srintil dan penduduk Dukuh Paruh yang miskin, tak berpendidikan dan tidak tahu apa-apa, dihukum serta kampung mereka dibakar akibat keterlibatan mereka dengan kegiatan PKI yang sama sekali tidak mereka pahami ideologinya.

Kisah Ronggeng Dukuh Paruk sekelumit dari sekian banyak gambaran peristiwa kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20. Dalam catatan Ricklefs (2005: 565-567), pada bulan Oktober 1965, pembunuhan dimulai. Kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali. Konflik di Jawa Timur antara PKI dan NU yang telah dimulai pada 1963 berubah menjadi pembunuhan massal secara menyeluruh yang dimulai dari minggu kedua bulan Oktober 1965. Pada pertengahan bulan Oktober, Soeharto mengirim satuan-satuan prajurit penyerang yang terpercaya ke Jawa Tengah; dia memerintahkan para pasukan yang kurang setia untuk keluar dari Jawa Tengah. Mereka memilih untuk mematuhi perintah tersebut daripada melawan prajurit penyerang.

Pembunuhan massal anti-PKI mulai dilakukan di sana, bersama tentara yang membantu para pemuda menemukan para komunis. Di Bali, tanpa keterlibatan kekuatan Islam, tuan tanah PNI yang berkasta tinggi memimpin dalam mendorong pembasmian anggota PKI. Pucuk pimpinan nasional PKI juga ditemukan dan dibunuh. Njoto tertembak kira-kira pada 6 November dan Aidit pada 22 November; Lukman juga segera tewas setelahnya. Pembunuhan berakhir pada bulan-bulan pertama 1966, meninggalkan korban kematian yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti.

Sebagian besar ahli memperkirakan setidaknya setengah juta orang tewas, tetapi tak ada seorang pun yang benar-benar tahu, karena tak seorang pun menghitungnya. Dalam sejarahnya, Indonesia belum pernah menyaksikan pembunuhan massal yang merenggut korban sebegitu besar. Pembunuhan ini meninggalkan bekas yang begitu dalam dan tak terlupakan bagi banyak rakyat Indonesia. Sebagian merasa bangga bisa membantu membasmi PKI. Namun, sebagian lainnya merasa bahwa pembunuhan massal ini merupakan peristiwa paling memalukan dan tak bisa dimaafkan, sebuah tindakan kegilaan kolektif. Banyak orang ditahan, diinterogasi (sering di bawah siksaan), dan ditahan tanpa pemeriksaan pengadilan. Jumlah orang yang diperlakukan seperti ini juga tidak diketahui pasti. Mungkin, satu dekade setelah kejadian yang mengerikan pada tahun 1965-1966, sebanyak 100.000 orang masih dipenjara tanpa pemeriksaan pengadilan.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), meluncurkan laporan penelitian adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 di berbagai daerah, mulai dari tindak kekerasan, penahanan sampai eksekusi. Bahkan sampai 2002, banyak pihak yang diduga terlibat juga diwajibkan melapor.

Selain tragedi kelam gerakan 30 September, masih banyak lagi kejahatan kemanusiaan yang belum terungkap kebenarannya di republik ini. Jadi, siapa yang bisa menyembuhkan segala luka nestapa kemanusiaan bangsa Indonesia itu?

Karena itu, sebagai bentuk solidaritas untuk merawat ingatan republik dan merebut masa depan bangsa, PSI menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Bersama bekerja untuk sejarah masa lalu yang jernih. Upaya pencarian kebenaran, pengungkapan fakta yang sebenar-benarnya, sejelas-jelasnya, supaya terang benderang sejarah Indonesia untuk generasi kini dan mendatang. Sehingga masa lalu tidak selalu menjadi benih pertengkaran di masa yang akan datang.
  2. Pemerintahan Jokowi segera merealisasikan komitmen kampanyenya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama terhadap korban dan keluarga korban pasca G 30/PKI, dimana pelaku dan korban (saksi langsung) sudah memasuki usia yang sangat tua.
  3. Saatnya negara memberikan pengakuan resmi atas terjadinya pelanggaran HAM di masa yang lalu, termasuk pembiaran negara selama berpuluh-puluh tahun.
  4. DPR segera mengesahkan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sudah dimasukkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas 2015).
  5. Negara segera setelah ditetapkannya UU KKR tersebut, agar segera menjalankan kebijakan untuk percepatan penyelesaian kasus HAM masa lalu, dengan menjunjung hak pemenuhan rasa keadilan bagi setip warga negara.
  6. Seluruh pihak agar tidak henti-hentinya menjaga ingatan kolektif atas apa yang terjadi di masa lalu. Dengan satu janji kolektif, solidaritas merawat ingatan, maka hal buruk yang serupa tidak akan pernah terjadi lagi di masa yang akan datang. Hanya dengan ingatan, masa depan menjadi sepenuhnya milik kita.

Recommended Posts