Oleh Mohamad Guntur Romli
Saat Bawaslu melaporkan pengurus DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ke polisi (17 Mei 2018) banyak pesan yang masuk ke no WA saya, nadanya hampir sama: mengapa hanya PSI yang dilaporkan?
Para pengirim pesan lebih banyak bukan anggota PSI, kalau anggota PSI mungkin sudah paham serangan terhadap partai politik bisa terjadi kapanpun dan dengan dalih apapun. Mereka yang mengirimkan pesan ke saya, juga menyertakan beberapa hasil jepretan foto-foto materi iklan di media baik online dan cetak, spanduk, baleho, billboard atau Iklan tv dari parpol-parpol lain. Intinya masyarakat umum pun mengerti, PSI sedang “dikerjain” oleh Bawaslu. Karena hanya PSI yang dilaporkan oleh Bawaslu ke polisi, sementara parpol-parpol lain yang memasang materi yang hampir sama dengan polling yang dipasang oleh PSI di Jawa Pos sampai saat ini masih “selamat” dari laporan Bawaslu. Artinya memag PSI dizalimi oleh Bawaslu.
Bawaslu melaporkan pengurus DPP PSI terkait masalah “citra diri”. Polling PSI di Jawa Pos tanggal 23 April 2018 disebut oleh Bawaslu sebagai bagian dari “citra diri” dan pelanggaran terhadap jadwal “kampanye” yang dilakukan oleh PSI karena memuat logo partai dan nomer urut partai. Tapi seolah-olah Bawaslu menutup mata dengan fakta banyaknya materi yang sama yang dilakukan oleh Parpol-parpol lain baik dalam bentuk spanduk, baleho, billboard, iklan di media cetak, online dan tv yang sangat mudah kita temukan dan bertebaran di media sosial atau kalau kita cari melalui mesin google. Hanya “galak” dan “keras” pada PSI, tapi tampak lemah pada parpol-parpol lain, penzaliman Bawaslu pada PSI kalau kata orang Jawa sudah “cetho welo-welo” yang artinya sudah sangat nampak, sangat jelas.
Tiga Bukti Penzaliman Bawaslu terhadap PSI
Apa yang kasat mata dari penzaliman Bawaslu ke PSI? Menurut saya ada tiga hal.
Pertama, Bawaslu melakukan tebang pilih, hanya galak pada PSI dan lemas pada parpol lain. Hal ini sangat nyata kalau kita bandingkan antara materi polling PSI di Jawa Pos tanggal 23 April 2018 dengan materi dari PAN dan Demokrat esok harinya di koran yang sama: Jawa Pos, 24 April 2018. Polling PSI menampilkan foto Joko Widodo dan kandidat kabinet Jokowi, dan benar ada logo PSI dan nomer urut yang menurut Pengurus PSI adanya logo parpol untuk menyatakan polling ini dimuat oleh organisasi yang jelas. Demikian pula materi iklan PAN dan Demokrat pada tanggal 24 April 2018, selain memuat foto Ketua Umum Parpolnya masing-masing (ini yang tidak ada di materi polling PSI, tidak ada satu pun foto pengurus PSI!), PAN dan Demokrat juga memuat logo parpol dan nomer urut. Tapi, meskipun materi PSI berjarak hanya satu hari dari materi PAN dan Demokrat, Bawaslu melakukan gerak secepat kilat untuk memproses PSI, sampai-sampai sudah dilaporkan ke polisi. Bagaimana dengan materi PAN dan Demokrat? Tak ada kabar jelas hingga saat ini, katanya Bawaslu sedang “mendalami dugaan pelanggaran kampanye parpol” tapi apa parpolnya hingga tulisan ini diketik dengan dua jempol, tak ada kabar dari Bawaslu. Perlakuan yang berbeda oleh Bawaslu terhadap materi PSI dengan PAN dan Demokrat yang dimuat di koran yang sama hanya berjarak satu hari, dengan logo dan nomer urut parpol, inilah diskriminasi alias penzaliman yang dilakukan Bawaslu terhadap PSI. Meskipun, entah kapan, misalnya, kalaupun Bawaslu menetapkan PAN dan Demokrat bernasib yang sama dengan PSI, tidak menutup fakta bahwa telah terjadi proses yang diskriminatif yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap PSI. Bawaslu menempuh jalur cepat pada PSI, tapi mengambil jalur lambat, bahkan seperti sengaja melalui jalur macet untuk memproses PAN dan Demokrat.
Kedua, pengaduan soal dugaan pelanggaran terhadap PSI bukan berasal dari aduan warga masyarakat, tapi berasal dari Komisioner Bawaslu langsung: Sdr Afifuddin. Komisioner yang mengadu dan memproses langsung dugaan pelanggaran PSI bukan hal haram, tapi “aneh”, ditambah dengan proses yang diskriminatif terhadap PSI bila dibandingkan dengan PAN dan Demokrat, apakah proses terhadap materi PAN dan Demokrat yang hingga saat ini masih macet entah di mana dan dengan alasan apa, juga diadukan langsung oleh Komisioner Bawaslu? Kalau Sdr Afifuddin yang tinggal di Jakarta, menemukan iklan Jawa Pos yang banyak beredar di Jawa Timur bisa dengan cepat menemukan materi PSI tanggal 23 April 2018 tapi tidak menemukan materi PAN dan Demokrat tanggal 24 April 2018, hal ini merupakan keanehan yang bisa masuk rekor MURI. Apalagi proses terhadap PSI yang sedemikian cepat, sementara materi PAN dan Demokrat yang hanya berjarak sehari hingga saat ini tak ada kabar beritanya.
Ketiga, saat melaporkan ke Polisi, Bawaslu ingin segera polisi menetapkan “tersangka” pada pengurus PSI.
“Kepolisian segera menetapkan tersangka untuk selanjutnya masuk dalam proses penuntutan,” kata Abhan, saat membacakan hasil temuan Bawaslu, di kantor Bawaslu, Jakarta (dikutip dari kompas.com Kamis, 17/5/2018).
Tuntutan Bawaslu ini tidak hanya melanggar asas praduga tidak bersalah tapi juga menimbulkan keanehan dan kecurigaan. Bawaslu sudah sangat cepat memproses, memutuskan dan melaporkan PSI ke polisi, tapi masih macet memproses materi PAN dan Demokrat meski sama-sama memasang materi di Jawa Pos yang hanya beda jarak satu hari, kemudian minta polisi segera men-tersangka-kan pengurus DPP PSI. Ada apa dengan Bawaslu?
Saat saya menulis dan menekankan penzaliman Bawaslu pada PSI apakah karena PSI takut proses hukum? Atau ingin mengajak kawan masuk penjara dari parpol lain? Kami tegaskan tidak! Yang kami masalahkan adalah perbedaan yang jomplang antara proses, prosedur, tempo dan tindakan yang dilakukan Bawaslu terhadap PSI dibandingkan dengan PAN dan Demokrat yang memasang materi yang sama di koran yang sama yang hanya berselang satu hari.
Perbedaan “Citra Diri” dan “Fakta/Identitas Diri”
Pandangan saya, materi PSI, PAN dan Demokrat bukanlah pelanggaran terhadap kampanye. Saat ini parpol-parpol sedang membuka caleg, cawapres, capres untuk maju pada Pemilu 2019. Parpol-parpol menyebarkan informasi pendaftaran ini baik dalam bentuk iklan atau advertorial yang berisi informasi pembukaan caleg, cawapres, capres, bagaimana mungkin ini disebut pelanggaran kampanye. Dalam UU Pemilu disebutkan, kampanye itu di Pasal 274 adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan pemilu untuk visi misi program kerja partai politik. Baik dalam materi PSI, PAN dan Demokrat tidak ada pemuatan visi, misi dan program kerja parpol. Kalau hanya logo dan nomer urut parpol apakah bisa disebut citra diri? Bagi saya logo parpol dan nomer urut bukan citra diri tapi “fakta diri”, karena citra diri adalah imaji yang dilekatkan yang berasal dari luar diri. Contohnya setiap manusia memiliki identitas dan fakta diri, dari nama, tempat kelahiran dll ini yang disebut fakta atau identitas diri, bukan citra diri. Tapi akan disebut citra diri apabila ada sebutan dan citraan yang sengaja dibangun untuknya. Orang yang baik, soleh, lurus dll adalah citra diri, tapi kalau hanya nama, identitas dll yang menunjukkan fakta diri bukanlah citra diri.
Logo PSI dan nomer urutnya bukanlah citra diri tapi fakta dan identitas diri parpol, tapi slogan yang dipasang PAN di hari setelahnya dengan kalimat: Pro Rakyat Pro Umat bisa disebut citra diri, tapi logo PAN dan nomer urutnya bukan citra diri.
Walhasil, adanya perlakuan yang berbeda terhadap PSI dari Bawaslu dibanding dengan materi PAN dan Demokrat yang dimuat di koran yang sama, yang hanya berselang satu hari, materi PSI dimuat tanggal 23 April 2018 sementara materi PAN dan Demokrat dimuat 24 April 2018, tapi proses terhadap PSI yang sangat cepat dan super kilat, sedangkan pada Demokrat dan PAN yang lambat dan macet, sudah jelas-jelas, Bawaslu melakukan diskriminasi dan penzaliman terhadap PSI.
Wallahu A’lam
Mohamad Guntur Romli, Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI)