Rubrik Kebudayaan – Koran Solidaritas Edisi VI, Desember 2015
Oleh: E.S Ito (Novelis dan Penulis Film)
Konon sebelum dibubarkan pada 31 Desember 1799, Verenigde Oost Indische Company (VOC) adalah kongsi dagang terbesar di dunia. Walaupun kekuasaannya terbentang dari lepas pantai Deshima Jepang hingga selatan Afrika, sumber kekayaan terbesar VOC berasal dari Nusantara. VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia. Kongsi itu juga jadi perusahaan pertama yang menerbitkan saham. Lebih dari itu semua, VOC memiliki tentara dan punya kekuasaan untuk mencetak uang. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana bisa kongsi sekaya dan sekuat VOC bisa ambruk? Jawabannya ternyata tidak serumit kehancuran VOC. Kongsi dagang itu bangkrut karena korupsi dan perdagangan gelap yang dilakukan oleh para pegawainya. Semua ini bersumber dari sikap para permisif para petinggi VOC selama puluhan tahun.
Dalam hubungan kausalitas, korupsi adalah sebuah akibat. Sementara sikap permisif merupakan sebabnya. Dengan kata lain, korupsi muncul sebagai akibat dari sikap permisif yang tumbuh secara sosial maupun struktural dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi tumbuh subur dan kemudian jadi pandemi di tengah-tengah masyarakat yang sikap permisifnya tumbuh membudaya dan melembaga. Dalam bahasa sehari-hari kita biasa menyebutnya ewuh pakewuh, nggak enakan dan lain sebagainya. Hal ini diperparah lagi dengan budaya paternalistik yang masih dominan di tengah masyarakat. Pembiaran tindakan-tindakan koruptif bukan karena masyarakat atau lembaga negara tidak berdaya, tetapi lebih karena struktur sosial kemasyarakatan yang yang tidak kunjung mendapatkan pembaharuan. Reformasi yang pada awalnya berangkat dengan gagasan korektif terhadap perilaku korupsi di masa silam justru membuka banyak ruang baru untuk tindakan korupsi. Pada akhirnya kita melihat gagasan demokrasi berubah jadi plutokrasi dimana bukan rakyat, tetapi uang yang bicara.
Secara normatif, demokrasi seharusnya membuka kesempatan untuk terbentuknya tata nilai baru dalam kehidupan masyarakat. Pengakuan hak-hak individu, kesetaraan, kebebasan dan transparansi lembaga-lembaga negara yang seharusnya bisa dicapai oleh demokrasi. Dengan capaian tersebut maka ruang untuk sikap permisif dan pembiaran terhadap perilaku korupsi bisa semakin diminimalisir. Sayangnya demokrasi kita masih sebatas gagasan politik, belum tumbuh jadi budaya yang bisa membentuk tatanan baru di tengah-tengah masyarakat.
Setelah lebih dari 300 tahun ambruknya VOC, kita menghadapi tantangan yang sama saat ini. Mungkin kita tidak seterlambat VOC menyadari pandemi korupsi yang berakar dari sikap permisif ini. Upaya penegakan hukum terus menerus dilakukan dan seringkali memunculkan harapan baru. Tetapi apabila upaya tersebut tidak dibarengi dengan tindakan-tindakan untuk membangun budaya baru untuk meniadakan sikap permisif, maka perang menghadapi korupsi akan jadi pertempuran tanpa akhir. Dan seluruh energi bangsa ini akan terkuras sehingga pelan-pelan kita akan masuk ke jurang yang pernah meremukkan VOC 300 tahun silam.