Bandung – Pemprov Jawa Barat siap membuka data penerima bantuan sosial (bansos) jika diperlukan sebagai wujud transparansi. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan (GTPP) COVID-19 Jabar Daud Achmad mengatakan, meski demikian ada etika yang harus diperhatikan.
“Pada intinya kita ingin transparan tentang bansos ini, kita ingin data penerima bansos dibuka, tapi perlu diingat, data ini bukan daftar orang terkaya, ini data orang penerima bantuan, mereka yang terdata sebagai warga miskin dan warga miskin baru, apakah itu wajar?” kata Daud, Rabu (29/4) petang.
“Membuka data seperti itu tidak boleh menurut UU, seperti data penerima bansos ini, Pemprov Jabar tidak ingin ada yang ditutupi, kita ingin transparans dan semuanya berjalan dengan lancar, mudah-mudahan ini bisa dibuka,” katanya.
Sebelumnya, KPK telah membuat prosedur tentang pemberian atau penerimaan sumbangan dalam rangka penanganan penyebaran virus Corona. Mulai dari identitas pemberi, bentuk sumbangan, hingga publikasi penerimaan sumbangan harus dilakukan.
“Informasi data yang saya terima, DTKS juga belum ada izin (publikasi) dari Kemensos, ini masih kami dalami. Paling tidak kami berusaha, kami ada dashboard yang memperlihatkan berapa jumlah bantuan yang sudah siap, disalurkan, diserahterimakan berapa, itu per hari bahkan per jam updatenya,” katanya.
Daud mengatakan, dashboard yang bisa diakses secara daring itu juga nantinya bisa diakses oleh publik. “Kalau disepakati tim, nanti dashboard ini bisa dibuka, juga diketahui berapa yang retur, sementara itu yang kami lakukan,” katanya.
Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Jabar Furqan AMC menilai keterbukaan informasi ini merupakan bagian dari hak publik yang diatur undang-undang.
“Apalagi dalam suasana krisis wabah corona saat ini, di mana rakyat yang terdampak covid-19 sangat masif, maka keterbukaan akan data bantuan sosial menjadi sangat dibutuhkan untuk menjaga trust rakyat terhadap pemerintah, juga trust antar instansi pemerintahan maupun antar rakyat sendiri,” ujar Furqon dalam keterangan tertulisnya.
Furqon menjelaskan, penyaluran bantuan dari berbagai tingkatan pemerintahan yang tak serentak, bisa memicu terjadinya kecemburuan sosial. “Sementara di lapangan tidak sedikit pertanyaan muncul di tengah-tengah masyarakat, kenapa yang satu sudah menerima sementara yang lain belum. Kenapa besarannya tidak sama dan lain sebagainya. Bahkan ada bantuan yang akhirnya ditolak warga karena khawatir memicu kecemburuan,” katanya.
“Jika berbagai pertanyaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat tersebut tidak segera dijawab dengan tranparansi data, maka situasi distrust bisa berkembang sedemikian rupa dalam suasana krisis saat ini, dan itu bisa membahayakan kohesivitas sosial,” katanya.