Akhirnya Sukmawati Soekarnoputri meminta maaf.
“Dari lubuk hati yang paling dalam saya mohon maaf lahir dan batin, kepada umat Islam Indonesia,” ujar Sukmawati sambil menangis.
Permintaan maaf itu disampaikan dalam acara Konferensi Pers di Cikini, hari ini, Rabu 4 April 2018. Permintaan maaf Sukmawati atas puisinya “Ibu Indonesia” yang viral di publik dan dinilai kontroversial. Puisi itu dibacakan pada acara Indonesia Fashion Week 2018 pekan lalu. Larik kalimat yang dianggap menyinggung umat Islam seperti syariat Islam, azan dan cadar.
Kontroversi Puisi Sukmawati pun berujung pada pelaporan ke polisi. Ada beberapa pihak yang melaporkan ke polisi sebelum Sukmawati meminta maaf. Lantas, bagaimana setelah Sukmawati meminta maaf?
Bagi saya kalau yang tersinggung, dan ketersinggungan hingga kemarahannya karena ikhlas, karena cintanya pada syiar agama Islam–azan masuk di dalamnya–serta pembelaan terhadap syariat Islam, saya yakin, mereka yang sebelumnya tersinggung dan marah pada Sukmawati akan membuka pintu maaf lebar-lebar.
Bukankan memaafkan ajaran yang agung dalam Islam? Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw menjadi sosok yang pemaaf dan pengampun. Allah Swt tidak menghendaki Nabi Muhammad menjadi orang yang keras dan berhati kasar (fadhdhun ghalidhul qalbi).
Dalam Surat Ali Imran ayat 159 Allah Swt berfirman yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw dan seluruh pengikutnya, serta bisa menjadi ajaran yang universal disebutkan:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
“Maafkanlah dan mohonkanlah ampun” karena kekerasan dan kekasaran hanya akan menjauhkan umat dari ajaran yang hendak diaampaikan. Apalagi Ibu Sukmawati mengaku “aku tidak tahu syariat Islam”. Persis seperti yang dikatakan Ketua Umum GP Ansor Gus Yaqut, “Ini momen untuk memberikan bimbingan dan arahan, yang tidak tahu yaa diberi tahu, diberi bimbingan, bukan dilaporkan ke polisi”.
Saya juga teringat “dawuh” Gus Mus “Kalau ada orang yang disebut “tersesat” ya dikasi tahu dong, jangan malah digaploki (ditampar), kan kasian uda terserat malah dimarah-marahi”.
Saya teringat pula dengan ajaran al-Quran yang mengenalkan “keadilan restoratif” bukan hanya “keadilan distributif” seperti yang pernah disampaikan oleh Profesor Abdulaziz Sachedina dalam salah satu karyanya.
Benar setiap pelanggaran harus ada sanksinya, penegakan hukum harus setegak-tegaknya. Hukuman yang dijatuhkan harus sesuai dengan kesalahan dan kejahatan yang disebut “qishash” dalam hukum pidana Islam, seperti “mata dibalas mata” “hidung dibalas hidung” sampai “nyawa dibalas dengan nyawa” yang merupakan dogma untuk menegakkan keadilan distributif.
Namun, jangan lupa, kata Abdulaziz Sachedina, Al-Quran juga mengajarkan keadilan restoratif melalui pemaafan dan pengampunan yang bertujuan untuk restorasi, perbaikan, rekonsiliasi (ishlah).
Dalam surat Al-Baqarah 178 yang berbicara tentang “qishash” sebagai wujud dari keadilan distributif, juga disebutkan:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)
Orang yang dijatuhkan hukuman “qishash” misalnya membunuh orang lain maka ia harus dieksekusi sebagai hukuman yang setimpal (wujud dari keadilan distributif), tapi apabila menerima maaf dan pengampunan dari ahli waris/keluarga yang meninggal, maka terpidana itu bisa lepas dari eksekusi dengan membayar diat (denda/tebusan), yang tujuannya adalah rekonsiliasi, antara pelaku dan ahli waris korban. Dengan rekonsiliasi ini, spiral kekerasan bisa diputus, dan dendam kesumat bisa dikubur. Dalam ranah ini, keadilan yang terwujud disebut keadilan restoratif.
Saya kira, dalam kasus puisi Sukmawati ini, keadilan restoratif menemukan konteksnya. Sukmawati sudah meminta maaf, dan menurut pengakuannya juga tidak ada kesengajaan dan niat untuk menghina. Apalagi puisi itu lahir dari ketidaktahuan dia atas syariat Islam.
Semoga saja setelah permintaan maaf, Sukmawati mau mendalami ajaran Islam dan mengenalnya dengan baik, yang sebenarnya ia bisa menelusuri dan membaca tulisan-tulisan ayahnya sendiri, Bung Karno yang memiliki tulisan dan pidato tentang Islam yang bernas, kritis dan progresif.
Demikian pula respon dari ormas-ormas Islam yang moderat juga telah membuka pintu rekonsiliasi ini dengan membuka pintu maaf.
Seperti yang disampaikan oleh Sekjen PBNU, Sekretaris Umum Muhammadiyah dan Ketua GP Ansor NU, yang bisa menjadi kiblat umat untuk memahami dan menyikapi masalah ini.
“Bagi PBNU kasus Sukamawati ini tak perlu pakai jalur hukum, Sukmawati cukup memberikan permintaan maaf. Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menyatakan Sukmawati memang keliru memahami konteks syariat Islam. Ia menilai kekeliruan Sukma itu, salah satunya, dari kalimat yang membandingkan azan dengan hal lain dalam puisi berjudul ‘Ibu Indonesia’.”
“Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Yaqut Cholil Qoumas menilai pemilihan diksi di puisi ‘Ibu Indonesia’ karya Sukmawati Soekarnoputri tidak tepat. Salah satunya membandingkan azan dengan kidung. “Saya berharap, jika memang puisi Sukmawati dianggap keliru, para kiai turun tangan, panggil Sukmawati, nasihati, dan berikan bimbingan. Bukan buru-buru melaporkan ke polisi. Langkah ini, menurut hemat GP Ansor, akan lebih bijaksana dan efektif meredam kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu,” ucap Yaqut.”
“Seperti NU, Muhammadiyah juga lebih memilih bersikap moderat dan menghimbau agar umat Islam memaafkan Sukmawati. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai Sukmawati tidak berniat menghina Islam lewat puisi ‘Ibu Indonesia’. Maka dia mengajak agar umat Islam bisa memaafkan Sukmawati.
“Saya kira Ibu Sukmawati tidak bermaksud menghina Islam. Sepertinya beliau bermaksud agar bangsa Indonesia tetap memelihara budaya Indonesia dengan senantiasa berbusana dan berbudaya nasional. Terkait dengan azan yang tidak merdu, mungkin yang biasa beliau dengar sedang pas tidak merdu,” kata Abdul Mu’ti.”
Saya yakin bagi yang tersinggung hingga marah tapi berdasarkan keikhlasan dan cinta pada agama, maka akan memaafkan Sukmawati Soekarnoputri.
Tapi, bagi yang punya niat-niat lain, yang ingin menggunakan kasus ini untuk konsolidasi kelompoknya–setelah kasus Ahok selesai dan masuk penjara–dan tujuan-tujuan “politis” lainnya seperti mengeruk suara dengan isu SARA atau ingin memanfaatkan nama “Soekarnoputri” untuk menyerang “Soekarnoputri” yang lain, atau yang bertujuan untuk demo, penggalangan massa dan penggalangan dana, yang tak lain ketersinggungannya hanya dibuat-buat, bukan karena alamiah dan spontan, maka, saya melihat “ketersinggungan” dan “kemarahan” mereka tidak akan selesai-selesai dan tidak akan habis-habis. Mereka akan memelihara dan mengobarkan ketersinggungan dan kemarahan ini untuk kepentingan mereka sendiri.
Dan setelah Sukmawati Soekarnoputri meminta maaf sambil menangis, maka kita pun akan tahu, mana orang dan kelompok yang tersinggung dan marah karena ikhlas kemudian memaafkan, dengan orang dan kelompok yang hanya pura-pura tersinggung dan marah yang masih terus menggoreng dan memanfaatkan kasus ini untuk kepentingan dan tujuan mereka sendiri.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mudah meminta maaf dan gampang memberi maaf.
Mohamad Guntur Romli, Calon Legislatif Partai Solidaritas Indonesia .