Rubrik Opini – Koran Solidaritas Edisi I, Juli 2015
Oleh: Anom Astika (Editor di Jurnal Prisma)
Tidak perlu peralatan resmi dan lengkap untuk bermain sepakbola. Bola plastik maupun bola kulit, atau semuanya bisa dipergunakan sebagai alat permainan sepakbola. Bahkan sekelompok anak-anak pun menggunakan bola tenis yang kecil untuk bermain sepak bola. Termasuk juga, sepatu sepak bola, –kecuali para atlet sepakbola– tidak semua yang memainkan pertandingan sepakbola menggunakannya. Saling menggiring, saling mengoper, saling berebut bola, semuanya bisa dimainkan hanya dengan dua orang, dan akan lebih meriah jika dimainkan secara beregu (11 orang). Ada yang menggunakan sepatu olahraga biasa, dan tidak menutup kemungkinan mereka menggunakan sandal jepit, atau bahkan tanpa alas kaki sama sekali. Sepanjang ada bidang kosong dan sebuah bola maka siapapun bisa memainkannya. Ia merakyat dan populer, dan juga sebuah kebudayaan.
Karena merakyatnya, tidak mengherankan sejak periode kolonial hingga periode Indonesia merdeka sepakbola menjadi sarana pemerintah untuk ‘menyenangkan hati’ rakyat Indonesia. Lebih jauh lagi, sejak jaman pemerintahan Soekarno, hingga periode pemerintahan selanjutnya, mulai dari pembinaan atlet-atlet sepakbola hingga penyelenggaraan pertandingan-pertandingannya semua coba diorganisasikan dengan sebaik-baiknya, melalui Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Namun, terutama di kompetisi-kompetisi internasional Sepakbola Indonesia berulangkali tidak berhasil meraih juara. Di kawasan Asia Tenggara, sejak lama kesebelasan Malaysia dan Thailand menjadi batu sandungan. Apalagi di kawasan Asia, seperti tak cukup tenaga kesebelasan Indonesia bertarung untuk berbagai turnamen dan kompetisi. Walaupun di dalam negeri Indonesia, tersedia banyak kompetisi nasional, tersedia klub-klub sepakbola profesional, dan stadion sepakbola di hampir tiap-tiap ibukota kabupaten dan kotamadya, tampaknya semua tak membawa pengaruh positif bagi perkembangan PSSI.
Belakangan, situasi persepakbolaan di Indonesia menjadi kian runyam. Terjadi konflik di antara Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nachrowi dengan para pengurus PSSI, terkait sejumlah teguran Menteri yang tak diindahkan oleh PSSI. Sebagai akibatnya, organisasi induk sepakbola di Indonesia dibekukan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, berikut perintah Menteri kepada Kapolri untuk tidak memberikan ijin kepada organisasi manapun untuk menyelenggarakan acara pertandingan sepakbola profesional secara nasional. Maklum, PSSI sebagai sebuah organisasi sepakbola nasional, yang menangani ratusan klub sepakbola profesional, dengan segala kekurangan di sana-sini, plus konon sarat korupsi sudah seperti memiliki otonomi sendiri. Sehingga ia tak mudah “diusik”, sekalipun itu oleh pemerintah.
Sementara pemerintah, yang berkepentingan mengembangkan olahraga nasional berpikir untuk merombak total pengorganisasian aktivitas sepakbola nasional demi ‘prestasi’ melalui tindak pembekuan di muka. Sebagai akibatnya sejumlah kompetisi nasional tertunda penyelenggaraannya. Sekalipun FIFA telah meminta pemerintah untuk mencabut pembekuan tersebut, namun Menpora tak bergeming. Tim transisi PSSI yang dibentuk oleh Menpora pun belum mampu bergerak dan berfungsi sepenuhnya. Ketegangan masih berlangsung. Pun Indonesia terancam keanggotaannya di FIFA.
Perlu dipikirkan, bahwa sebaik apapun Menteri membangun organisasi PSSI yang baru, semuanya tidak akan langsung bisa menjawab tuntutan dan harapan akan menjulangnya prestasi sepakbola Indonesia. Sementara organisasi PSSI yang ada sekarang, memang harus sedemikian rupa diperbaiki agar segala tindakan tidak professional, maupun praktek-praktek korupsinya bisa dihilangkan. Yang lebih penting lagi, adalah bahwa untuk melahirkan prestasi, maka sepakbola Indonesia harus dibangun secara profesional mulai dari sekolah-sekolahnya, fasilitas pelatihan atlet, keagenan atlet, pengawasan klub sampai dengan penyelenggaraan pertandingan-pertandingannya. Tanpa kesemua hal barusan, maka ide perombakan total PSSI demi impian prestasi akan menjadi isapan jempol. Air yang beku masih bisa dinikmati dalam bentuk es batu, tetapi sepakbola yang beku tak bermakna apa-apa kecuali hilangnya kebudayaan bertanding.