Rubrik Diskursus – Koran Solidaritas Edisi I, Juli 2015
Imajinasi Nasionalisme dalam Konstalasi Post-Nasional
Realitas Sepakbola dan Imajinasi Nasionalisme
Selalu, detik paling mengharukan dari sebuah pertandingan sepakbola (utamanya Tim Nasional) adalah ketika lagu kebangsaan masing-masing negara dikumandangkan. Selalu ada emosi disana, Gelora Bung Karno telah beberapa kali merekam momen mengharukan tersebut. Meski tidak seorangpun yang tahu hasil akhir pertandingan (kecuali menurut kabar: mafia pengaturan skor), setiap Indonesia Raya berkumandang, serentak orang berdiri, menunjukkan rasa hormat dan bangga. Hormat kepada imajinasi mereka tentang gugusan pulau bernama Indonesia, bangga karena menjadi bagian dari gugusan pulau itu. Ketika dua syarat itu (imajinasi dan rasa ‘menjadi’ bagian) tidak terpenuhi, maka nasionalisme menjadi hambar.
Sayang sekali, rasa hormat dan bangga, yang merupakan pernyataan paling tulus dari nasionalisme, lebih sering dikalahkan oleh angka yang tercantum di papan skor Gelora Bung Karno. Adegan tertunduk, tatapan kosong, mata berkaca-kaca, adalah ujung dari sebuah drama 2 x 45 menit. Sebuah Nasionalisme dikalahkan di papan skor, tepat di sebuah bangunan yang jika dipenggal dua menjadi ‘Gelora’ dan ‘Bung Karno’ seharusnya drama itu tidak digelar di sana. Karena ‘Gelora’ dan ‘Bung Karno’ sangat jauh dari makna kalah atau takluk.
Berkali-kali kita harus melihat, imajinasi tentang nasionalisme, menggerakkan puluhan ribu orang untuk membeli tiket pertandingan, menggerakkan perusahaan untuk menjadi sponsor, memobilsasi televisi untuk membayar hak siar, membuat negara mengeluarkan biaya pembinaan, dan masih banyak lagi yang didapatkan PSSI dari proyek “menjual nasionalisme” tersebut.
PSSI: Perusahaan Sepakbola Seluruh Indonesia
Nasionalisme yang dikalahkan berkali-kali itu, sama banyaknya dengan ‘pembangkangan’ yang dilakukan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia). Kita tersentak, karena ternyata melakukan reformasi PSSI jauh lebih sulit ketimbang melakukan reformasi TNI, Polri bahkan BIN. Mengapa demikian?
Hal ini sebenarnya cerita yang berulang tentang peresteruan Negara vs Pasar. Perdebatan klasik yang bukan hanya sering terlambat disadari oleh institusi bernama negara, tapi juga oleh pelaku pasar di Indonesia. Nasionalisme sangat sering menjadi bahan untuk menghakimi satu sama lain. Padahal nasionalisme itu sendiri, dia bukan obyek nyata, nasionalisme kadang terlalu abstrak untuk disimpulkan. Karenanya dalam sepakbola, nasionalisme yang abstrak banyak ditarik kesana-kemari oleh tiga aktor: negara, PSSI dan kita sendiri sebagai warga negara.
Juergen Habermas (2001) pernah menuliskan bagaimana keruwetan antara percampuran antara ekonomi, sosial, budaya dan politik ke dalam sebuah istilah ‘konstelasi post-nasional.’ Artinya disini, imajinasi satu pihak terhadap tafsir nasionalisme seringkali kacau. Nasionalisme di abad moderen adalah sesuatu yang lampau, telah dilewati. Nasionalisme bukan lagi imajinasi yang dibayangkan (futuristik) sebagaimana diyakini oleh Ben Anderson. Dalam soal sepakbola Indonesia, apa yang terjadi antara Menpora, PSSI dan kita semua, adalah sebuah konstelasi yang ruwet. Terutama ketika nasionalisme selalu dikaitkan dengan prestasi tim nasional dan buruknya tata kelola persepakbolaan nasional.
Jika melihat ke belakang, PSSI selalu ambigu dalam mengambil posisinya terhadap negara, begitu juga kebingungan PSSI menerjemahkan nasionalisme dalam kiprahnya. Di satu sisi, PSSI selalu memanfaatkan relasi pasar dengan tuan FIFA, lebih kepada aspek ‘keamanan aset’ semata (sepakbola adalah aset industri). Hal yang sama terjadi dengan dunia perbankan, bermain-main dengan kredit dan suku bunga, lalu negara dituntut hadir ketika terjadi rush atau krisis. Di sisi yang lain, PSSI dituntut untuk mengharumkan nama bangsa di kancah sepakbola dunia.
Jika berpegang pada teori pasar bebas, PSSI sebaiknya konsisten menempatkan diri sebagai pelaku pasar, murni sebagai industri sepakbola, bukan agen negara. Sehingga hukum pasar berlaku atasnya. Tidak perlu juga kemudian PSSI memaksakan diri, menjadi agen nasionalisme. Ini akan jauh lebih memudahkan PSSI mengambil langkah perbaikan. Sebagai industry, pengelolaan PSSI harus tunduk pada hukum ekonomi, ada uang ada barang (atau sebaliknya). Manajemen PSSI harus menggunakan manajemen korporasi, visinya adalah ‘Go Public’, sehingga PSSI menjadi sebuah perusaahaan yang sehat dan akuntabel di bursa saham. Konsekuensinya, jabatan paling tinggi seharusnya bukan Ketua Umum, tapi CEO atau Direktur Utama. Dengan demikian separuh persoalan bisa terjawab: kesejahteraan pemain, gaji pengurus dan kualitas bermain. Itu jika konsisten di mazhab liberal.
Dengan posisi PSSI sebagai pelaku industri, maka kekalahan PSSI tidak akan pernah dirasakan sebagai kekalahan bangsa ini. Kalah telak di kandang sendiri juga tidak membuat kita menanggung malu sebagai sebuah entitas bangsa. Posisi yang tidak jelas dan salah kaprah ini yang harus segera diluruskan, PSSI harus memutuskan posisinya dalam ‘kebingungan post-nasional’ ini. Tetap menjadi lembaga yang dimiliki bangsa ini, artinya dia harus tunduk pada kehendak negara, atau menjadi aktor industri yang berafiliasi dengan FIFA yang juga memang lebih besar dari PBB.
Menpora dan Leviathan Setengah Mabok
Meski sejarah PSSI sulit untuk dipisahkan dari terbentuknya ‘imajinasi nasional’ tentang Indonesia. Secara konsisten, PSSI sejak awal sudah berjarak dengan negara. Satu-satunya persoalan yang mengaburkan jarak itu adalah soal pembiayaan. Laporan BPK tahun 2010 menyebutkan, PSSI menerima dana sekitar Rp. 19,5 Milliar untuk keperluan Timnas, belum lagi sumbangan setiap pertandingan yang melibatkan Timnas, bahkan Kongres Luar Biasa PSSI dibiayai oleh APBN. Peranh Negara tidak terelakkan, juga peluang untuk melakukan intervensi.
Kekaburan posisi tersebut lalu membuat ‘salah kaprah’ berlanjut. Pada tahun 2014 Kemenpora menetapkan PSSI sebagai Badan Publik, dengan harapan bahwa PSSI akan lebih transparan dalam pengelolaan dana. Namun konsekuensinya, tentu negara harus menyuntikkan dana agar PSSI bisa bertahan sambil berupaya merehabilitasi dirinya. Hal yang sama terjadi di sektor perbankan, ketika APBN digunakan untuk melakukan ‘bailout’ terhadap bank-bank yang terancam pailit. Hasilnya: Bank tidak kunjung sehat, sementara dana lenyap ditelan korupsi.
Tuntutan pembubaran PSSI menguat, ketika ribuan Bonek mengepung Kongres PSSI di Surabaya, lalu menjadi gerakan nasional dengan Hashtag #RevolusiPSSI #BubarkanPSSI di Twitter. La Nyalla Mattalitti yang entah pernah berkontribusi apa dalam dunia sepakbola, berlindung di belakang superioritas FIFA. Hal yang juga pernah dilakukan Nurdin Halid dan Djohar Arifin. Reaksi itu justeru membangunkan Sang Leviathan (Hobbes menggambarkan Negara sebagai Leviathan, sosok kuat dan superior dalam mitologi TImur Tengah). Nasionalisme yang terusik, adalah alasan yang kuat untuk membangunkan Sang Leviathan. Dalam keadaan setengah sadar dan marah, atas nama nasionalisme Menpora mengeluarkan surat pembekuan PSSI. Benar saja, sang pemilik pasar bereaksi cepat, Tuan FIFA menjatuhkan sanksi kepada PSSI. Sepakbola Indonesia terjepit diantara Pasar dan Negara.
Salah kaprah, hanya itu yang bisa redaksi SK katakan dalam edisi ini. Hanya karena kegagalan manajemen PSSI, PT. Liga Indonesia atau PT. LPIS, negara tidak perlu menghubungkannya dengan kewenangan menjaga ketertiban dan ketundukan hukum. Negara harus membiasakan diri dengan posisi PSSI sebagai pelaku industri sepakbola. Tidak ada hubungan antara buruknya manajemen liga dan PSSI dengan prestasi olah raga bangsa yang anjlok. Kalaupun ada, itu karena kegagalan negara membuat aturan. Negara harusnya tidak perlu hadir sebagai Leviathan yang sok berkuasa dan kuat. Karena PSSI sesungguhnya bukanlah bagian dari imajinasi kita tentang negara bangsa. PSSI bukan agen negara, karena nasionalisme tidak pantas dipercayakan kepada sekumpulan orang yang hanya mengambil keuntungan dari kesukaan warga negara/konsumen terhadap sepakbola.
Negara harusnya mengambil posisi mencermati dinamika yang berlangsung. PSSI dibiarkan saja menyelesaikan ‘konflik dagang’ mereka secara internal. Bagian Menpora adalah menghitung keberlanjutan kegiatan sepakbola nasional, dengan atau tanpa PSSI. Negara jangan lagi menggunakan dana APBN untuk membiayai bisnis PSSI. Segera perjelas status kepemilikan dan pengelolaan stadion-stadion dimana kegiatan sepakbola warga berlangsung. Perbaiki manajemen stadion tersebut jika memang dalam penguasaan Negara atau pemerintah daerah. Pasang tarif tiket yang pantas, perjelas aturan penggunaan stadion dll. Jika PSSI dianggap gagal sebagai pemain tunggal, buka peluang berdirinya perusahaan sejenis yang ingin ikut serta dalam bisnis sepakbola di Indonesia. Dengan PSSI tidak menjadi pemain tunggal, maka hukum pasar berlaku, yang paling menguntungkan konsumen yang akan menang. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan prestasi dan dana PSSI, karena kegagalan PSSI di setiap pertandingan adalah kegagalan mereka mengelola bisnis. Bukan kegagalan bangsa Indonesia dalam menggocek bola bundar.
Kegembiraan Yang Tidak Boleh Hilang
Tibalah saat dimana kita harus meluruskan kepala kita sendiri. Kesenangan menonton atau bermain sepakbola, harus kita pisahkan dari sepakbola sebagai sebuah imperium bisnis internasional. Biarkan sebagian dari kita yang dikaruniai keahlian ‘bermain bola’ untuk bertanding sesuka hati. Dalam hal pendapatan ekonomi saja mereka sudah berat, jangan ditambah lagi dengan merampas kebahagiaan mereka untuk bebas memainkan bola. Jangan lagi kita bebani mereka dengan ‘imajinasi nasionalisme’ kita. Kalah berarti mempermalukan bangsa Indonesia. Sebagai penggemar sepakbola, kita harus bijak. Bahwa kalah-menang itu biasa, yang paling utama adalah rekaman ketegangan detik demi detik bergulirnya bola. Dalam detik yang bergulir itu ada adrenalin yang berpacu diatas normal. Itu sebabnya ‘man of the match’ tidak selamanya dari tim yang menang bukan?
Cukuplah imajinasi kita tentang negara bangsa, kita resapi diawal-awal pertandingan. Ketika kita bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, sebagai pengingat betapa berbudaya dan bahagianya kita, bahwa dalam konstalasi ‘post-nasional’ dimana batas negara mulai hilang, jaman dimana ekonomi menciptakan kompetisi yang buas, saat dimana politik masih terbelenggu moral korupsi. Kita masih dikaruniai kesempatan untuk menonton sebuah ‘mementum kejujuran’ dimana 2 x 45 menit adalah detik demi detik yang dibalut prinsip fair play dan sportivitas tinggi. Rasa bangga bahwa sebagai satu enitas bangsa, kita masih bisa ikut mempertontonkan peradaban sepakbola bermutu (bebas dari korupsi dan politik). Di sana kebahagiaan dan imajinasi kita sebagai negara bangsa kita rawat, bukan di papan skor, apalagi kita titipkan kepada PSSI atau Leviathan. Tidak pantas rasanya.