Editorial Koran Solidaritas – Edisi ke-11, 2017
Res Publica , sekali lagi Res Publica! Merupakan judul pidato Bung Karno dihadapan Konstituante pada 22 April 1959. Pidato ini mengingatkan bahwa Res Publica bangsa Indonesia tidak sama dengan Res Publica di Eropa yang hanya menganut kebajikan dan perlakuan setara dalam bidang politik, namun tidak di bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Bung Karno menegaskan, Res Publica Indonesia adalah menempatkan kepentingan publik sebagai tujuan utama diselenggarakannya pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, Bung Karno mengajak untuk kembali ke UUD 1945.
Munculnya kelompok yang mengklaim diri sebagai minoritas kreatif, yang maknanya adalah sekelompok masyarakat yang berpikiran maju yang akan membawa perubahan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Eep Saefullah Fatah adalah orang yang secara konsisten menggunakan kata ini, teutama ketika menjadi arsitek pemenangan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta.
Meskipun pemaknaan Eep terasa lucu, karena Arnold J. Toynbee yang telah menggunakan istilah minoritas kreatif mendefinisikan bahwa yang disebut kelompok minoritas kreatif adalag sekelompok kecil warga berpikiran maju dan menggunakan cara-cara kreatif dan memungkinkan manusia kebanyakan keluar dari cara-cara yang primitif. Sementara dalam kasus resep pemenangan Anies-Sandi di Jakarta, yang terjadi adalah kebuntuan kreatifitas sekelompok kecil warga yang akhirnya menggunakan cara-cara primitif untuk meraih kemenangan dalam era demokrasi modern.
Pilkada DKI Jakarta tidak hanya memenangkan Anies-Sandi lalu memenjarakan Ahok, Gubernur DKI Jakarta yang terkenal bersih dan membawa Jakarta menjadi Ibukota Negara yang lebih baik. Namun dengan memunculkan sentimen agama, serta belakangan menghadapkan publik pada tabrakan identitas dengan menguatnya wacana pribumi dan non pribumi, merupakan ancaman serius terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia yang menegaskan Res Publica atau publik/rakyat sebagai poros utama kedaulatan, kesejahteraan, dan keadilan.
Faktanya, itu adalah pembajakan prosedur demokrasi oleh kelompok intoleran untuk kepentingan golongan sendiri. Cita-cita kebajikan bersama yang bebas dari sekat etnis, agama, ideologi dan golongan, telah direnggut dan digunakan untuk kepentingan pemenangan politik. Bahka cita-cita keadilan sosial dikorbankan dengan dalih agama dan ketuhanan.
Semudah itukah merobohkan Indonesia? Tentu tidak. Konsitusi UUD 1945 tidak memungkinkan NKRI dan Pancasila untuk digantikan. Sekarang Indonesia berharap pada generasi milenial yang sedang menyalakan lilin keadilan dari berbagai penjuru negeri. Jutaan anak muda yang menolak diidentifikasi sama dengan generasi tua menuntut perubahan yang progresif. Di sanalah semangat kelahiran republikanisme baru diletakkan. Republikanisme yang dengan keberanian baru akan mendobrak cara lama, menolak nalar sektarian, apalagi logika hoax pribumi vs pribumi.
Kini, generasi milenial sedang bergerak membangun ekosistem baru, mereka adalah kekuatan tersembunyi yang kini bangkit untuk mengembalikan makna “kebajikan bersama” dan menuntut pemerintahan NKRI untuk segera menyelenggarakan keadilan sosial tanpa diskriminasi.
Lilin di tangan mereka adalah cahaya yang menegaskan penolakan mereka terhadap perilaku curang dan tidak adil. Pada titik ini, Ahok sudah menyediakan diri sebagai bidan kelahiran Republikanisme Indonesia di Abad Milenial. Pun penjara harus diterimanya, namun nilai kebajikan bersama yang telah menginspirasi kemerdekaan Indonesia harus kembali digaungkan.
Ini bukan soal Ahok, ini tentang Res Publica. Sekali lagi Res Publica!.
https://galeri.psi.id/koran-solidaritas/item/download/22_7e84eef99f40efc8fca2e8d0266e97c4