Risalah Politik untuk Kebajikan

Saya pernah menjadi pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, salah satu badan pembantu pimpinan yang secara khusus membidangi politik. Di lembaga inilah, kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut hajat hidup masyarakat, dikaji dan direspons secara kontruktif.

Muhammadiyah memang bukan partai politik. Meski demikian, bukan berarti organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 silam ini abai dengan masalah-masalah politik. Dalam khitah yang menjadi pedoman warga Muhammadiyah dalam berpolitik dengan jelas disebutkan bahwa politik merupakan salah satu alat dakwah. Politik, bagi Muhammadiyah, dijadikan sebagai salah satu sarana untuk menebar kebajikan.

Oleh karena itu, saya ingin memperkenalkan suatu risalah politik yang ingin saya istilahkan dengan sebutan “politik untuk kebajikan”. Apa itu kebajikan? Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai “kebajikan” sebagai “sesuatu yang mendatangkan kebaikan”. Setiap orang bisa berbuat kebajikan bagi orang lain. Tapi, kalau kita menginginkan kebajikan dengan dampak positif yang lebih luas, yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, maka jawabannya harus melalui sarana politik.

Sayangnya, politik untuk kebajikan ini semakin terpinggirkan dari panggung politik kita saat ini. Pada kehidupan sehari-hari, kita dipaksa menyaksikan tontonan politik yang destruktif. Hal ini terjadi karena panggung politik secara umum masih dikendalikan oleh elite politisi yang bernafsu untuk selalu berkuasa, dengan hasrat utama untuk menguasai “yang lain” dengan cara menipu. “Yang lain” itu dapat kita sebut dengan, misalnya, rakyat biasa; yang seringkali dipakai hanya sebagai objek memobilisasi suara.

Politisi hanya mau dekat dan mendekati rakyat manakala ada kepentingan dan hajatan politik. Mereka mendatangi rakyat dengan cara menebar pesona, janji-janji yang menggiurkan, dan uang. Dengan penuh kesadaran, uang disebar dengan harapan akan terlunasi manakala menjadi pejabat. Dan, setelah hajatan politik usai, rakyat dilupakan, dan jika perlu dicampakkan dari denyut nadi kehidupan politik yang dijalankannya.

Sesaat setelah menjabat, elite politisi yang hobi menebar uang ini biasanya lebih disibukkan untuk kembali menghimpun modal politik yang hilang. Dan partai tak lebih sekadar mesin politik manakala ada hajatan politik. Di luar itu, partai menjadi ajang berkumpul untuk sekadar merawat dan melanggengkan kekuasaan.

Maka, jangan heran jika akhir-akhir ini merebak gejala apatisme terhadap partai politik. Karena rakyat mulai sadar diri bahwa selama ini aspirasi dan kepentingan politik mereka tidak diperjuangkan dan tidak pula disalurkan secara wajar. Sebagai artikulator aspirasi publik, elite partai hampir tak berfungsi dan memfungsikan diri. Setelah hajatan poltik usai, elite partai sibuk dengan manuver politik untuk mempertahankan kekuasaan.

Inilah jenis kekuasaan yang lebih menguntungkan elite partai, yang kesetiaan pada rakyat terputus manakala hajatan politik selesai. Kearifan politik elite kita benar-benar hilang. Di samping tidak mengartikulasikan aspirasi rakyat, pada faktanya, politik lebih dijalankan secara kotor, penuh tipu muslihat, dan lebih berbahaya lagi sarat ujaran kebencian dan fitnah.

Nilai toleransi dan kepercayaan diasingkan dari kehidupan politik kita. Politik diartikan semata sebagai seni mengejar dan mempertahankan kekuasaan, dengan cara apa pun. Elite tiba-tiba merasakan ketakutan yang luar biasa jika harus kehilangan kekuasaan. Kekuasaan yang seringkali dikampanyekan secara retoris sebagai amanat Tuhan, pada praktiknya, dipuja-puji dan dijadikan tujuan hidup itu sendiri.

Yang lebih tragis lagi, menjadi pejabat diartikan sebagai orang yang harus dilayani bukan melayani, atau orang yang harus dimuliakan, bukan memuliakan. Kultur dan mentalitas elite seperti ini benar-benar menjangkiti kehidupan politik kita. Politik bermuara pada uang. Tak dapat dipungkiri, uang seringkali dipakai menjadi panglima, dan jaringan kolusi menjadi mafia politik.

Karena itu, saatnya kita mengetuk kesadaran politik pada diri kita sendiri, pertama-tama, untuk instrospeksi, refleksi, dan otokritik secara internal: sudahkah kita mengemban amanat berpolitik untuk kebajikan?

Pelaksanaan risalah politik untuk kebajikan bisa kita mulai dengan sesuatu yang sederhana, namun tidak mudah kita lakukan, misalnya dengan bersikap jujur, adil, toleran, dan penuh semangat pengabdian pada rakyat. Tidak apa, jika mereka yang sudah berlumuran dengan tangan kotor politik akan mencibir dan mencemooh.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kebenaran, kejujuran, dan keadilan, pada dasarnya kita telah menjalankan risalah politik untuk kebajikan, minimal memulai dari diri sendiri, melalui partai yang kita jalani. Dengan cara-cara berpolitik seperti ini, hidup kita akan lebih bermakna dan bijak di tengah iklim politik negeri kita yang selama ini tak bersahabat dengan orang-orang yang baik dan jujur.

Dengan menjalankan risalah politik untuk kebajikan pula, kita bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nurani kita, yang menjadi ruh sejati kebajikan dalam berpolitik. Dan, partai politik yang mampu menjalankan risalah ini, hanyalah partai baru yang masih jernih, yang belum terkena residu kotoran panggung politik yang ada.

Jeffrie Geovanie
Anggota MPR RI 2014-2019

Sumber: GEOTIMES

Recommended Posts