Kedua, adalah Pasal 122 mengenai langkah hukum Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD kepada siapa pun yang ‘merendahkan’ DPR dan anggota DPR.
Dan ketiga adalah Pasal 245 mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.
Rian Ernest, Wakil Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia DKI Jakarta menyayangkan sikap DPR yang melahirkan pasal semacam ini di tengah kinerja DPR yang menurutnya masih mengecewakan.
“DPR memperkuat dirinya sendiri dari kritik dan wewenang aparat hukum, di saat pencapaian DPR selama dua tahun terakhir, masih mengecewakan,” ujarnya.
Sebagai seorang mantan praktisi hukum yang juga pernah menjabat sebagai staf hukum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat Ahok menjadi Gubernur DKI, Rian mampu mengingat dengan jelas target legislasi di 2016 dan 2017.
“Sampai akhir Oktober 2016, dari 50 RUU yang masuk program legislasi nasional prioritas 2016, hanya sembilan RUU yang bisa diselesaikan. Artinya, hanya 18 persen pencapaian,” tutur Rian.
Caleg PSI dari Dapil Jakarta ini juga menyebutkan, laporan kinerja DPR untuk tahun sidang 2016 – 2017.
“Dari 49 RUU yang masuk program legislasi nasional prioritas 2017, hanya tujuh RUU yang bisa diselesaikan, atau hanya 15 persen pencapaian,” katanya.
Rian mengaku sangat tak bisa menerima pengesahan revisi UU tersebut di tengah hangatnya kasus korupsi e-KTP yang dalam dakwaannya menyebutkan banyak nama di Senayan yang ikut mencicip dan menikmati uang haram e-KTP.
Pengesahan pasal-pasal kontroversial ini menurutnya sangat layak dipertanyakan. Pertama, apakah layak bila DPR menggunakan tangan aparat hukum menghadirkan pihak-pihak, terutama pihak yang akan dianggap ‘merendahkan’ DPR?.
Padahal di saat yang sama DPR ingin berlindung menggunakan UU yang dibuat sendiri, menghindari proses penyidikan dengan meminta izin dari organ internalnya sendiri?
Kedua, apa batasan dan cakupan dari tindakan ‘merendahkan’ DPR? “Apakah tulisan kritis ini juga bisa dikatakan merendahkan? DPR sebagai pembuat UU telah membuat aturan yang ambigu,” kata Rian mempertanyakan.
Dan yang ketiga, apakah DPR tidak mengetahui bahwa pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi pernah memutus bahwa penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak perlu mendapatkan izin dari MKD, melainkan cukup dari Presiden?
Rian berargumen, dalam pertimbangan putusan, MK mengatakan bahwa bisa saja anggota MKD yang akan memeriksa izin merupakan pihak yang bersebrangan dengan anggota DPR yang terjerat kasus pidana.
“Terdapat resiko penyalahgunaan wewenang, bila MKD diberikan wewenang izin tersebut,” katanya.
Menurut pria yang pernah setahun menjadi guru di pedalaman terpencil NTT ini, apa yang dilakukan anggota Dewan saat ini menunjukkan bagaimana kualitas mereka.
Rian mengingatkan, tugas anggota DPR adalah legislator, atau pembuat Undang-Undang.
Namun, menurutnya, dengan pencapaian target legislasi yang jauh di bawah standar, itu sudah menunjukkan tidak bekerja-nya DPR sebagai sebuah sistem.
“Apakah layak dan pantas DPR membuat pasal kontroversial yang melindungi diri mereka sendiri? Apakah layak mereka membuat UU yang mengamankan kepentingan mereka semata?” tanyanya, penuh gugatan.
Menyadari para anggota dewan yang mengesahkan revisi tersebut juga anggota partai politik, Rian berharap semoga partai politik terus berbenah, dan bisa mengembalikan fungsi DPR sebagai pembuat legislator yang berpihak pada publik sekaligus mengembalikan kepercayaan publik.