Pada mulanya, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 –yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang No 11 tahun 2016– atau yang lebih dikenal dengan sebutan UU ITE dibuat untuk pengelolaan informasi dan transaksi elektronik serta pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
UU yang dibuat masa pemerintahan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini pada dasarnya melarang dua jenis perbuatan pidana. Pertama, larangan untuk berbuat kejahatan dengan menggunakan teknologi informasi (TI), terorisme, penipuan kartu kredit, pemerasan, pornografi, perjudian serta pencemaran nama baik. Kedua, bermaksud melarang perbuatan jahat dengan sasaran IT seperti peretasan, pencurian identitas serta kejahatan lainnya.
Namun, dalam perjalanannya, UU ITE dinilai menjauh dari tujuan tersebut. UU ITE menjelma menjadi alat bagi masyarakat untuk saling melaporkan penghinaan dan pencemaran nama baik ke polisi. Perkara UU ITE kemudian didominasi oleh kasus-kasus yang berawal dari perbedaan pendapat serta kegaduhan di media sosial. Akibatnya penerapan UU ITE lebih banyak diterapkan pada kasus yang berkaitan dengan pendapat atau ekspresi di dunia digital dibandingkan dengan kejahatan digital itu sendiri.
Kondisi ini mendapat sorotan keras dari berbagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap kebebasan berpendapat. UU ITE dianggap telah digunakan untuk membatasi ruang berpendapat dan penyampaian kritik oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus yang bermula dari penerapan UU ITE. Berdasarkan catatan Amnesti Internasional Indonesia, sepanjang tahun 2020 saja terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan total 141 tersangka menggunakan UU ITE. Kondisi ini juga diyakini menjadi penyebab indeks demokrasi dan indeks kebebasan sipil Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Menurut saya setidaknya ada 2 pasal krusial yang perlu direvisi yakni pasal 27 ayat (1) soal kesusilaan, pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pasal 28 ayat (2) soal ujaran kebencian dan SARA. Kedua pasal inilah yang selama ini disebut sebagai “pasal karet” karena dinilai terlalu luas lingkup pengaturannya dan belum didefinisikan secara baik sehingga menyebabkan rentan disalahgunakan.
Saya melihat setidaknya ada dua pilihan dalam melakukan revisi. Pertama, mengembalikan roh UU ITE kepada tujuan semula yakni mengenai pengelolaan teknologi informasi dan transaksi elektronik. Dengan memilih cara ini maka pasal-pasal karet yang multi interpretasi mesti dihapus sedangkan masalah penghinaan dan pencemaran nama baik di ruang siber dimasukkan ke Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KHUP) yang tentu saja juga harus melalui revisi. Bila memilih cara ini maka revisi UU ITE harus sejalan dengan revisi KUHP. Persoalan yang mugkin timbul dalam pilihan ini adalah soal waktu yang dibutuhkan akan cukup lama sedangkan kebutuhan revisi sudah sangat mendesak.
Kedua, tetap mempertahankan pasal 27 dan 28 UU ITE namun lebih difokuskan untuk memperjelas unsur-unsur dalam pasal tersebut yang tidak dapat diinterpretasikan secara sepihak. Sebagai contoh pasal 27 ayat 3 yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik secara daring. Dalam penerapannya unsur “penghinaan’ dan “pencemaran nama baik” ini bisa diartikan secara luas. Revisi dilakukan dengan mempertegas maksud dari penghinaan dan pencemaran nama baik itu sebagaimana yang dicontohkan oleh pasal 310-321 KUHP yang memuat secara jelas sehingga menutup ruang untuk multi tafsir.
Hal lain yang cukup krusial dalam revisi UU ITE adalah mengenai pentingnya penegasan bahwa pencemaran nama baik dan penghinaan sebagaimana termuat dalam pasal 27 dan 28 haruslah berupa delik aduan. Sehingga laporan yang diterima polisi adalah laporan yang langsung dilakukan oleh korban dan bukan oleh pihak yang mewakili. Sehingga tidak lagi terjadi asal lapor yang dilakukan atas dasar sentimen politik yang justru akan memperparah polarisasi politik kita ke depannya.
Selain itu, perlu juga ditegaskan mengenai perbedaan antara penghinaan terhadap personal dengan kritikan yang dilakukan kepada institusi pemerintahan. Penghinaan terhadap personal orang perorang menurut saya memang masuk ke dalam delik aduan di UU ITE. Namun ketika kritikan kepada institusi misalnya presiden sebagai institusi atau kelembagaan bagi saya bukanlah ranah UU ITE. Hal ini untuk mencegah UU ITE ini dijadikan sebagai alat pemukul bagi kekritisan rakyat kepada pemerintahannya di masa depan.
Pada akhirnya, saya sepakat bahwa revisi UU ITE adalah sebuah urgensi untuk saat ini demi mengusung kebebasan berpendapat. Namun, hendaknya jangan sampai pula revisi ini menimbulkan kekosongan hukum di kemudian hari sehingga media sosial kita penuh dengan kata-kata hujatan dan makian. Bagaimanapun juga, undang-undang yang lain terutama KUHP belumlah menjangkau ruang siber sebagai ranah hukumnya.
Kita dapat memahami bahwa kebebasan berbicara di negara kita dijamin oleh pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Namun, kita juga harus ingat bahwa hak untuk kebebasan itu juga dibatasi oleh ketentuan pasal 28J UUD 1945. Bahwa hak dan kebebasan kita juga harus tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang demi penghormatan kepada hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi keadilan.
Oleh karena itu disamping mendukung revisi terhadap UU ITE ini, saya juga mengingatkan kepada pemerintah dan DPR RI supaya berhati-hati dalam melakukan revisi. Pemerintah dan DPR RI saat ini bagaikan mendayung diantara dua karang. Antara berusaha mempertahankan kebebasan berpendapat namun juga harus mencegah munculnya kebablasan berpendapat. Mari kita kawal wacana ini secara bersama-sama sehingga kebebasan berpendapat tetap terjaga, demokrasi kita semakin bermartabat dan iklim bisnis secara eletronik pun semakin sehat.