Opini Koran Solidaritas Edisi 11, 2017
“Padi tumbuh tidak berisik”
(Tan Malaka, Naar de Republiek -1925)
Kanton 1925, ketika situasi dunia paska perang dunia pertama. Tan Malaka berupaya berfikir soal negeri dan bangsanya yang sedang dijajah Kolonial Belanda. Situasi dunia yang sedang tidak menentu, banyak negara miskin akibat kerugian perang, begitu juga populasi manusia yang berkurang akibat kematian.
Dalam situasi itu, Tan Malaka melahirkan beberapa tulisan progresif dan salah satunya adalah Naar de Republiek (Menuju Republik Indonesia). Posisi Republikanisme Tan Malaka yang akan menjadi pintu masuk kita menjelaskan soal Republikanisme Milenial.
Sebagai seorang warga dunia, Tan Malaka selalu berangkat dari analisis pergolakan dunia yang sedang terjadi. Dan Jelaslah bahwa memang situasi dunia sedang dirundung kegamangan paska perang usai. Problem Indonesia (pada saat itu masih disebut Hindia Belanda), adalah sebuah situasi kolonial yang telah terjajah selama 300 tahun lamanya. Dalam situasi ini, Tan Malaka melakukan dua hal besar pada waktu yang bersamaan. Provokasi kemerdekaan dan konsep sebuah negara. Naar de Republik, berfungsi atas dua hal tersebut.
Republik dalam bayangan Tan Malaka, adalah sebuah tatanan bernegara yang berporos langsung pada rakyat. Rakyat diletakkan sebagai subjek otoritas utama menentukan arah tujuan negara. Oleh karenanya, tentu rakyat membutuhkan sebuah wadah organisasi politik. Dan itu adalah sebuah partai politik yang terorganisir dengan baik, beserta platform perjuangan. Dalam penjelasannya partai yang dimaksud tidak harus masuk dalam sebuah politik elektoral, tetapi partai yang selalu melakukan pengorganisirian rakyat akar rumput.
Organisasi rakyat dalam Naar de Republiek, bukan sekedar berdasar analisis kelas Marxisme klasik. Di mana teori antagonisme antara proletariat (buruh/tani) dan borjuasi (pedagang/industrialis). Melainkan republik yang dibangun dengan kesadaran solidaritas nasional. Republik berdasar solidaritas nasional, adalah perhimpunan gerakan massa antara buruh, petani, kelas menengah pedagang (partikelir), dan kelas menengah terdidik (teknokrat).
Republik yang disuguhkan oleh Tan Malaka, adalah sebuah tatanan bangsa yang merdeka atas kehendak kolektif. Maka sematan kata solidaritas nasional menjadi penting dalam Naar de Republiek. Rakyat diartikan sebagai kelompok kolektif perjuangan kemerdekaan. Dalam hal ini Tan, membatasi kehendak bebas (individu) yang tersemat dalam tradisi pemikiran kaum liberal Eropa saat itu. Maka republik bukan saja sekedar wadah tawar-menawar kepentingan politik individu atau kelompok. Kendati, republik yang dibayangkan adalah mesin politik mutakhir yang mampu merobohkan benteng-benteng kolonialisme Eropa.
Tentu, pikiranya tidak datang tiba-tiba begitu saja. Sebagai generasi yang lebih dulu belajar ke Eropa sebelum Hatta dan Sjahrir, Tan Malaka lebih dulu belajar politik dan taktik perjuaangan. Sebenarnya, gagasan republik Tan cukup berarsir dengan Leon Trotsky dalam memaknai tugas dan fungsi negara.
Jika ditilik kembali dalam kacamata kini, pandangan Republik Tan Malaka tergolong pada posisi ideologis Libertarian-Socialist. Libertarian-Socialist cukup menjadi tren ideologi perlawanan sejak perang dunia pertama sampai pasca perang dunia kedua. Ideologi ini memperjuangkan kebebasan atau kemerdekaan, namun bukan berdasarkan basis individu tetapi azas kolektif atas tujuan berdirinya sebuah negara baru yang merdeka. Jika begitu Libertarian-Socialist menjadi sangat relevan dengan konsep ‘Solidaritas Nasional’ Tan Malaka.
Tawaran Baru
Mengurai Republikanisme Milenial setelah hampir satu abad terbitnya cetakan pertama Naar de Republiek, butuh bantuan kacamata post-modern untuk memahaminya. Ilmu pengetahuan dikejutkan dengan adanya digital deviden, di mana kemajuan teknologi telah merubah segala relasi sosial yang selama ini berlangsung dalam kehidupan dunia.
Dunia telah berubah sedemikian rupa, sehingga apa yang terjadi di pedalaman Amazon bisa kita nikmati dari pojok sofa rumah kita. Atau cerita dibalik biji kopi yang setiap pagi kita minum. Begitu juga relasi kuasa dan keabsahan informasi. Sebuah perdebatan politik dalam akun twitter, bisa berlangsung panjang hingga menjadi satu pristiwa politik yang insidental.
Riuh dan hiruk pikuk kosmopolitan, membuat orang menjadi semakin sibuk. Segala sesuatunya diukur atas ketepatan dan kecepatan. Maka informasi bohong pun tidak bisa dilawan, seperti jamur di musim hujan. Dan kita mengerti, mereka yang menjalani rutinitas seperti diatas ada dalam rentang usia 18-35 tahun. Atau, apa yang lebih mudah kita disebut Gen-Millennial (Generasi Milenial).
Dalam kondisi itulah Republikanisme Milenial hadir sebagai satu tawaran baru atas konsep republik yang paling mutakhir. Republikanisme Milenial secara ideologi bertumpu pada dua hal, politik kewarganegaraan dan negara kesejahteraan positif. Sedangkan secara sosiologi kekuasaaan, disokong oleh Gen-Millennial (populasi) dan kemajuan teknologi dan ilmu penghetauan (informasi).
Konstruksi warga negara bukan saja dilihat sebatas administratif, seperti halnya KTP atau Passpor. Politik Kewarganegaraan dipandang terbentuk dalam proses komunitarian. Organisasi atau komunitas kewarganegaraan, tidak bisa lagi dipandang secara parsial atas hak-hak individu anggota atau kepentingan kolektif organisasinya saja. Organisasi komunitarian juga harus bisa membayangkan isu-isu krusial yang melampaui ruang gerak pengorganisiran.
Dalam contoh kongkrit adalah apa yang telah dilakukan oleh change.org. Satu sisi gerakan itu terlihat sebatas dunia digital, tapi disisi lain gerakan petisi change.org bisa membatalkan sebuah perencanaan kebijakan publik. Politik konvensional kerap menilai itu sebatas tim hore anak-anak muda, yang berekspresi lewat media sosial. Tapi sesungguhnya itu adalah kekuatan politik alternatif masa depan. Dan Gen-Millennial dalam kerangka membangun pondasi itu.
Republikanisme Milenial memandang horizon kewarganegaraan dalam sebuah spektrum isu yang bisa beririsan satu sama lain. Jika meminjam istilah John Rawls dalam terma ‘origin position’, bahwa sebuah perjuangan politik kewarganegaraan harus berangkat dari posisi asali. Di mana posisi asali akan menjadi orientasi perjuangan, dan bagaimana publik secara luas bisa terlibat aktif maupun pasif.
Dengan bantuan facebook dan twitter misalnya, setiap individu warga negara memiliki ruang yang sama dalam membangun kritik dan dukungannya terhadap seorang figur publik. Contoh di Indonesia, gerakan 121 yang mengerahkan ribuan orang turun kejalan atau gerakan bunga ke Balai Kota tidak lepas dari pengaruh sosial media, juga generasi milenial yang terlibat aktif.
Dalam Republikanisme Milenial negara bukan saja didefinisikan sebagaimana teori-teori klasik tata negara. Negara dimaknai dalam sebuah imajinasi politik yang bisa melakukan distribusi kesejahteraan, penciptaan keadilan serta media aktualisasi intelektual. Negara adalah sebuah ruang yang perlu diisi oleh Gen-Millennial, dengan membawa agenda perjuangan kewarganegaraan. Terlepas atas siapa pun yang sedang berkuasa, proses pembobotan politik kewarganegaraan harus tetap berlangsung. Negara adalah ruang dialog, bukan absolutisme.
Meski begitu, pengorganisiran struktural masyarakat juga tetap memiliki peran penting dalam konteks Indonesia. Gen-Millennial memiliki kecenderungan rasional dan keingintahuan yang tinggi atas hal-hal baru. Pengorganisiran itu akan menemukan formatnya masing-masing; bisa dalam bentuk diskusi ringan bulanan, melakukan hobi bersama atau mengerjakan projek-projek menarik secara berkelompok. Metode pendidikan alternatif bisa menjadi jembatan antara hasrat Gen-Millennial dalam politik dan mewujudkan keadilan sosial progresif.
Boleh jadi banyak politisi senior akan memperolok-olok terma Republikanisme Milenial sebagai sebuah gagasan politik alternatif. Kendati satu hal yang harus mereka yakini, bahwa Gen-Millennial sedang meranjak vertikal dalam segala lini; ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan. Dan pada waktunya, institusi negara yang aristokrat berubah menjadi lebih merakyat. Di mana matinya kesombongan kekuasaan berjubah kemunafikan agama beserta kegelimangan harta dan tahta. Di situlah Republik kita dibangun, saat kesederhanaan dan afirmasi intelektual menjadi sumber inspirasi.
Abi Rekso Panggalih
Sekretaris Jenderal Pergerakan Indonesia