Renungan Hari Lahir Pancasila: Benci kepada Ahok dan “Buahnya”

Hari ini adalah hari lahir Pancasila. Pada 1 Juni 1945 Soekarno melontarkan pertanyaan, “Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?”. Lalu Soekarno menjawab, “Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua”.

Pertanyaannya, benarkah suatu negara buat semua? Sudah 23 hari para saksi pelapor yang bersekutu melalui medium Whatsapp dan Facebook bersukacita memenjarakan seseorang, yang bahkan diakui oleh lawan politiknya berkinerjanya sangat baik dan teruji. Ia dipenjarakan dengan pasal karet penodaan agama. Bahkan di dalam putusan perkara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pada bagian pertimbangan majelis hakim halaman 605, berbunyi:

“Menimbang, bahwa terkait dengan soal pemilihan, oleh karena dikalangan umat Islam memang terjadi perbedaan pendapat tentang makna dari kata auliya sebagaimana telah diuraikan di atas, di mana sebagian dimaknai sebagai pemimpin dan sebagian dimaknai sebagai teman dekat, maka apabila ada orang yang mengikuti pendapat bahwa auliya adalah pemimpin, dan orang tersebut menyampaikan surat Al Maidah ayat 51 kepada sesama umat Islam dan meminta agar memilih pemimpin yang seagama, maka hal itu secara hukum adalah tidak dilarang dan itu bukan SARA, sama halnya orang yang meminta agar memilih pemimpin dari suku yang sama, dari asal daerah yang sama, dari ras yang sama, dari golongan yang sama atau dari partai yang sama, dalam alam demokrasi hal itu adalah tidak dilarang dan bukan SARA. Adapun yang dilarang dan menjurus SARA adalah apabila yang dilakukan itu bersifat menyerang kehormatan, menjelek-jelekkan, melecehkan, merendahkan atau menghina suku lain, agama lain, ras lain ataupun golongan yang lain”.

Pertimbangan wakil Tuhan di dunia ini sama saja dengan melegalkan ide bahwa golongan Non-Muslim akan selamanya menjadi warga kelas dua di republik ini. Karena, bila pertimbangan hakim ini diterapkan secara konsisten, maka secara matematika mustahil akan ada pejabat Non-Muslim yang akan terpilih, mengingat 85% rakyat Indonesia akan selalu memilih orang yang beragama Islam.

Ahok telah dipenjara fisiknya tapi idenya untuk Indonesia yang lebih baik akan selalu hidup bersama kita. Pertempuran melawan korupsi dan intoleransi akan terus berlanjut, baik dengan ataupun tanpa Ahok di sisi kita saat ini. Kita telah berjuang sekuat tenaga dan sebaik-baiknya, dan sejenak kalah di pertempuran. Kita akan bangkit di kemudian hari untuk melawan korupsi dan intoleransi.

Tulisan saya ingin mengangkat contoh orang yang benci kesumat terhadap Ahok. Kita mulai dengan seorang bernama Marwan Batubara. Sempet menjadi omongan karena sekitaran tahun 2007 saat dirinya menjabat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi DKI Jakarta, pernah digugat secara class action karena memberikan dukungan kepada pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta 2007 yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Muaranya, pada tanggal 23 Mei 2017, kompleks parlemen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang terhormat itu memberikan panggung kepada Marwan Batubara bersama Wakil Ketua Umum Gerindra Fery Juliantono, Nasir Djamil Komisi III DPR Fraksi PKS, dan Ismail Yusanto,  Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk meluncurkan suatu buku buku berjudul “Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok – Menuntut Keadilan untuk Rakyat”.

Jadi, ada Partai Gerindra, PKS , dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di sana. Ada pula Amien Rais di sana yang berpidato cukup lama. Bagi generasi yang lahir pada tahun 1990-an, Amien Rais merupakan “bidan” dari gerakan reformasi yang akhirnya menumbangkan Soeharto. Semua berkumpul untuk menyatukan suara menghujat Ahok. Harap dicatat, forum penghujatan kepada Ahok ini menumpang gedung yang merupakan representasi rakyat dan dibiayai keringat rakyat.

Itulah Ahok. Dicintai sekali dan bisa juga dibenci sekali. Terlepas baik dan buruknya beliau, semua orang sepakat (bahkan musuh politiknya sekalipun), bahwa kinerja beliau memang di atas rata-rata.

Bisa saja buku Marwan ini kita diamkan. Kita anggap tidak penting, dikarenakan tidak didukung data mendalam, dan banyak hanya mengutip dari berita dalam jaringan, dan juga mengandung opini bernafaskan kebencian kepada Ahok. Tapi tidak bisa diabaikan juga, karena kita juga harus ingat pelajaran sejarah. Ingat kata-kata Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi Jerman, salah seorang arsitek genosida bangsa Yahudi di Eropa, “Bila Anda menceritakan kebohongan dengan cukup besar dan terus mengulanginya, orang-orang akhirnya akan mempercayainya”. Partai Gerindra dan PKS jelas-jelas telah mencoba membungkus hal itu secara meyakinkan dengan membuat peluncuran buku ini di rumah rakyat. Propaganda semacam ini (dengan bungkus reliji) sudah terbukti sukses pada kontestasi pilkada DKI yang baru saja dilewati.

Karena begitu banyak pernyataan yang aneh di dalam buku itu, saya hanya akan tuliskan tanggapan di poin yang sangat mengganggu saja. Poin yang cukup mengganggu akan saya abaikan, terutama yang hanya curhat dan opini kebencian. Kan susah juga bila orang sudah sangat membenci. Kita hargai saja.

Saat saya mulai membaca isi yang ada, bahkan pada kata pengantar dari Amien Rais saja sudah ada fakta yang aneh. Halaman vi – alinea 3 “… sebab Ahok telah beberapa kali menfasilitasi konglomerat untuk membesarkan kerajaan bisnisnya, antara lain dengan … memberi izin reklamasi Teluk Jakarta”

Mungkin Amien Rais kurang teliti, seluruh izin prinsip untuk reklamasi ditandatangani oleh Fauzi Bowo dan pendahulunya. Artinya, mengapa Perusahaan A mendapatkan Pulau X, itu bisa ditanyakan kepada Fauzi Bowo. Dasar hukum reklamasi juga sudah jelas berdasarkan Keputusan Presiden 1995 yang masih berlaku sampai dengan hari ini, meski memang namanya bidang hukum tentu ada perdebatan. Tapi soal penentuan pihak-pihak pemegang izin mungkin bisa ditanyakan ke Fauzi Bowo.

Halaman vi – alinea 4 “… belakangan ternyata lahan Kalijodo dikembangkan oleh konglomerat tertentu”

Mungkin Amien Rais kurang teliti, lahan Kalijodo adalah lahan Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Lahan yang diubah menjadi taman itu sukses dilakukan dengan dana pihak swasta. Gratis tanpa se-sen pun dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Alhasil, warga dapat menikmati taman itu untuk publik sambil menyadari anggaran yang ada dari pemerintah provinsi (Pemprov) DKI dapat dialokasikan untuk anggaran lain yang lebih bermanfaat. Taman Kalijodo adalah milik DKI. Titik.

Halaman vii – alinea 2 “Jika proyek reklamasi bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka yang mengelola bukanlah konglomerat, tetapi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN harus mengambil peran dominan dalam pengelolaan lahan reklamasi, karena itulah yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945”

Mungkin Amien kurang teliti, seluruh lahan hasil reklamasi adalah milik Pemprov DKI.

Halaman viii – alinea 2 “… Ini bisa kita lihat dari beberapa proyek infrastruktur berjalan tanpa dana APBD, melalui skema dana non-budgeter”

Apa yang dimaksud Amien dengan non-budgeter? Betul, ada proyek untuk kepentingan umum warga DKI yang tidak dibiayai oleh APBD, melainkan oleh swasta. Dari aturan yang ada, ini merupakan kompensasi atas pembangunan reklamasi serta pelampauan tinggi bangunan. Formula perhitungan sangat jelas dan akan dievaluasi oleh pihak ketiga yang ahli menilai fisik barang sebelum dilakukan serah terima kepada Pemprov DKI.

Yang diuntungkan siapa? Ya warga DKI sepenuhnya. Yang dirugikan siapa? Ya swasta, karena pada rezim yang lalu tidak pernah hal ini dimintakan. Kalaupun diminta, itu adalah tidak resmi, tidak jelas formula perhitungan, dan tidak jelas juga penerimaannya. Bisa saja masuk ke kantong oknum-oknum korup. Harusnya Amien melihat dari sisi yang lain. Kalau dulu ada dana-dana dari pihak swasta yang mengalir secara haram ke pribadi, sekarang ada seorang yang bernama Ahok di depan warga DKI yang meminta imbalan lebih nyata dan bermanfaat dan semuanya dibuat terang dan tercatat di dalam aset Laporan Keuangan Pemprov DKI.

Aneh sekali bila Amien Rais mengaitkan ini dengan istilah non-budgeter zaman Soeharto dahulu, yang merupakan uang yang entah digunakan untuk apa dan tanpa pertanggungjawaban apapun. Ini adalah bentuk political framing yang keji. Berpolitik kurang sehat.

Halaman xiii – alinea 4 “Pada awal 2016, dalam kasus penggusuran Kalijodo, Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Wijaya mengungkapkan bahwa APL telah menggelontorkan dana sebesar Rp. 218 miliyar untuk proses penggusuran Kalijodo. Pemberian dana tersebut atas permintaan Ahok, dengan kompensasi: APL akan mendapatkan hak atas proyek triliyunan rupiah atas proyek reklamasi Teluk Jakarta. Lahan Kalijodo sendiri saat ini diakui sebagai milik Sinar Mas.”

Proses penggusuran dilakukan oleh Pemprov sendiri. Sehingga tak masuk akal bila ada pihak swasta yang turut mengerjakan proses penggusuran. Apalagi bila disimulasikan angka tersebut, biayanya adalah Rp. 15,5 milar per m2. Sebuah angka khayalan yang bombastis.

Halaman 5 – sub bab Ahok Menyudutkan Islam

Marwan mencari kesalahan dengan mengungkit pembongkaran masjid di Baitul Arif di Jatinegara dikarenakan lahan tersebut akan digunakan untuk rusun. Kemudian, pada rusun yang baru tersebut diadakan masjid yang baru. Marwan sepertinya tidak teliti bahwa pada masa Ahok lah dibangun 1) Masjid di kompleks Balaikota DKI Jakarta dan 2) Masjid Agung provinsi DKI Jakarta, Masjid Raya Hasyim Asy’ari di Daan Mogot.

Halaman 6. Alinea 2. “Ahok telah mengganti sebagian pejabat Muslim dengan pejabat-pejabat non-Islam melalui pola lelang jabatan atau pola lain, seperti Lurah Susan, Lurah Grace, dan sebagainya. Tak hanya itu, kepala sekolah Muslim di DKI juga banyak yang diganti dengan alasan lelang jabatan. Hasilnya, banyak kepala sekolah yang beragama Kristen”.

Ini pernyataan yang sangat menarik. Kita lihat bahwa Marwan ingin menggiring bahwa seolah-olah lelang jabatan adalah suatu hal yang salah. Apakah ada yang salah dengan lelang jabatan? Lelang jabatan adalah sebuah proses yang membantu memastikan orang-orang terbaik lah yang akan menduduki posisi tertentu!.

Pernyataan Marwan juga jelas menyiratkan bahwa ia tidak terima bila ada Lurah yang beragama non-muslim. Ia juga tidak terima bila ada kepala sekolah non-muslim. Apakah seperti ini pandangan seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta 2004-2009 dan Dewan Perwakilan Daerah Sumatera Utara 2009-2014 yang terhormat? Apakah pandangan seperti ini juga diamini oleh Amien Rais yang adalah mantan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999-2004, sehingga Amien memberikan kata pengantar di buku Marwan, dan juga hadir di peluncuran bukunya? Saya tidak dapat membayangkan perasaan para pendiri republik ini. Apakah pantas buku yang berisi narasi seperti ini diluncurkan di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, rumah bagi seluruh warga negara Indonesia, apapun suku agama dan rasnya?

Halaman 35 – Alinea 4 “BPK menilai Ahok melanggar Pasal 13 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 Pasal 2 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 13 UU No. 2/2012 dan Pasal 2 Perpres itu menyebutkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum (rumah sakit) diselenggarakan melalui tahapan perencanaan persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil.”

Yang dilakukan Ahok sudah benar karena sesuai dengan Pasal 121 Perpres 40 Tahun 2014, dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Hal ini sudah dijelaskan kepada BPK pada saat Ahok diperiksa November 2015.

Halaman 42 – alinea 3 “Ahok pun menerbitkan Instruksi Gubernur No. 167/2014 tentang Perubahan Batas Waktu Penyampaian SPM Tahun Anggaran 2014, yang isinya khusus SPM pengadaan tanah untuk kepentingan umum diperpanjang sampai 29 Desember 2014 pukul 18.00. Anehnya, Instruksi Gubernur ini berlaku pada tanggal ditetapkan 22 Desember 2014, yang kebetulan bertepatan dengan kelengkapan penyerahan berkas SPM Sumber Waras”

Instruksi Gubernur yang mengatur batas waktu penyampaian Surat Perintah Membayar suatu anggaran merupakan suatu kebijakan internal di Pemprov DKI yang bertujuan mempermudah pemrosesan pembayaran. Kebijakan internal dapat saja diubah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sesuai dengan hukum yang berlaku, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 21, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Artinya, pembayaran masih sah dan dapat dilakukan sampai dengan akhir 31 Desember.

Halaman 57. Sub Bab Ahok terlibat dalam kasus tanah BMW.

Marwan kembali berkhayal. Apabila memang benar Ahok adalah konsultan Podomoro dan staf ahli Gubernur, dari mana Marwan bisa simpulkan bahwa Ahok terlibat? Ini hanya konspirasi tak berdasar. Permasalahan tanah BMW ini bisa ditanyakan kepada Sutiyoso dan Foke beserta jajarannya. Terutama jajaran pejabat yang pada tanggal 8 Juni 2007 melaksanakan Berita Acara Serah Terima (BAST) antara PT Agung Podomoro dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas tanah seluas + 26,5 ha tersebut.

Halaman 71. Alinea 4. “Terlepas dari lambannya (sengaja?) Polri mengusut kasus Tanah Cengkareng Barat ini, satu hal yang pas adalah bahwa Gubernur sebagai pimpinan Pemrov DKI Jakarta dak bisa lepas tangan dan menimpakan kesalahan kasus korupsi tersebut hanya kepada anak buah. Ahok-lah yang justru paling bertanggungjawab atas rencana korupsi yang terungkap oleh BPK tersebut, sebesar Rp 648 miliar!”

Tuduhan Marwan ini sangatlah tidak masuk akal. Ahok sendirilah yang melaporkan hal ini kepada KPK dan Polri. Masa iya seorang yang berniat jahat, berinisiatif melaporkan dirinya sendiri. Itu namanya menggali kuburannya sendiri, Bung! Lagi pula, tak mungkin semua hal yang dilakukan oleh 70 ribu PNS Pemprov DKI dapat dilimpahkan kepada Ahok. Benci kepada Ahok boleh saja, tapi harus realistis dan logis!

Harusnya Marwan lebih fair menulis dan mencoba menelisik lebih lanjut keterlibatan oknum Badan Pertanahan Nasional dalam penerbitan sertifikat di atas tanah yang dikuasai pihak DKI. Teliti juga pihak swasta yang menjadi kuasa dari penjual tanah kepada DKI. Teliti mengapa kasus ini mandek, tapi bukan dari sisi Ahok. Karena Ahok pun sangat ingin kasus ini segera terungkap. Beliau sendiri melaporkan hal ini kepada KPK dan Polri dan sampai sekarang mandek. Tulisan Marwan di buku ini hanya mau menjadikan Cengkareng sebagai medium menembak Ahok. Strategi yang sangat lemah. Propaganda kelas teri!.

Halaman 78. Alinea 4. “Padahal, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI, Endang Widjaja telah berani menginformasikan adanya penyelewengan pelaksanaan CSR oleh Ahok Centre. BPKP menginformasikan bahwa, dari 43 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI, baru 4 SKPD yang melaporkan kerja sama dengan perusahaan swasta melalui program CSR untuk membantu dalam pengerjaan proyek DKI. Pengerjaan program- program tersebut dikerjakan oleh Ahok Centre”

Tidak ada bukti atas tuduhan ini. Link berita dalam jaringan yang dijadikan catatan kaki oleh Marwan juga berisi deskripsi tentang LSM Centre for Democracy and Transparency (CDT) atau sering disebut Ahok Center. Tidak ada bukti apapun bahwa lembaga ini menyelewengkan CSR. Staf dari CDT, Natanael dalam berbagai kesempatan menjelaskan bahwa dana CDT untuk membantu masyarakat dikeluarkan dari dana pribadi Ahok dan bukan dari dana CSR Swasta. Satu-satunya peran yang pernah diambil CDT adalah menjadi pengawas pada pendistribusian penyerahan barang (tempat tidur, kursi, kulkas dsb) dari Dinas Sosial kepada masyarakat di rumah susun.

Nah, dari beberapa poin di atas, maka saya serahkan kepada pembaca yang budiman untuk menyikapi niatan Marwan Batubara menuliskan buku tentang Ahok. Buku itu adalah buah dari kebencian dia terhadap Ahok.

Sebagai penutup, saya ingin menceritakan tentang satu buah lagi kebencian terhadap Ahok, Amien Rais. Ia adalah seorang tokoh reformis 1998, yang berani tegak melawan militer. Namun pada 2014, ia terbalik mendukung Prabowo yang pada 1998 merupakan tokoh militer yang diduga terkait dengan penculikan. Ia mengatakan “Jadi, Pak Prabowo ini pernah jadi cawapres resmi Megawati 5 tahun lalu (2009). Sudah selesai semua, dan sekarang tiba-tiba bongkar-bongkaran?”.

Dalam berbagai kesempatan, Amien menyampaikan kebencian dia kepada Ahok (dan juga kepada Bapak Joko Widodo). Terkait kasus penodaan agama, bahkan Amien mengatakan bahwa pengadilan harus memutus Ahok bersalah. Kehadiran Amien pada peluncuran buku Marwan jelas merupakan manifesto dari kebencian ia terhadap Ahok. Buku yang berisi pernyataan yang mendiskreditkan WNI non-muslim. Non-Muslim dianggap tidak boleh jadi lurah dan kepala sekolah. Memalukan.

Namun akhirnya, fakta hukum juga membongkar karakter Amien sesungguhnya. Pada hari Lahir Pancasila ini, KPK mengeluarkan fakta hukum mengejutkan. Amien Rais, yang merupakan pendiri dari Partai Amanat Nasional dan sekarang adalah Ketua Dewan Kehormatan Partai PAN, diduga terlibat pada kasus kegiatan pengadaan alat kesehatan guna mengantisipasi kejadian luar biasa tahun 2005 pada Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Berdasarkan surat tuntutan jaksa KPK pada kasus ini, Nuki Syahrun (yang merupakan adik ipar dari mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Sutrisno Bachir) memerintahkan seseorang untuk transfer sebagian keuntungan PT Indofarma kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan kedekatan dengan Siti Fadilah. Salah satunya adalah Amien Rais. Menurut jaksa KPK, rekening Amien Rais enam kali menerima transfer uang. Setiap kali transfer, Amien menerima Rp 100 juta. Rekening Amien Rais tercatat pertama kali menerima pada 15 Januari 2007. Amien Rais terakhir menerima pada 2 November 2007. Fakta yang dibacakan oleh jaksa KPK tentu bukan merupakan kabar burung, karena sudah melewati tahapan dan investigasi mendalam disertai dengan data pendukung.

Saya menjadi teringat kata Amien pada saat peluncuran buku Marwan Batubara tentang khayalan korupsi Ahok, “Mudah-mudahan buku yang ditulis ini jadi membuka mata KPK dan lainnya. Saya heran, mudah-mudahan nggak berlaku lagi pencuri kecil dihukum berat dan pencuri besar dilepaskan, nanti akan timbul kehancuran.” Mari kita tunggu KPK segera bertindak ya, Pak Amien Rais!

Kepada Amien Rais: Kebencian terhadap Ahok sah-sah saja di iklim demokrasi. Hanya kebencian itu jangan hanya menggunakan perasaan dan political framing. Saudara selaku mantan Ketua MPR pasca reformasi tidak selayaknya hadir pada peluncuran buku yang berisi pernyataan mengkelasduakan WNI dari agama non-Islam. Ingat Bung, Gusti Ora Sare.

Pancasila adalah pondasi bangsa dan negara Indonesia. Sebuah rumah untuk seluruh golongan. Selamat Hari Lahir Pancasila!

Rian Ernest

Wakil Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DKI Jakarta

Recommended Posts