Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Mary Silvita, menyoroti diskursus yang muncul dari kampanye marketing Rabbani yang menghubungkan pakaian minim wanita dengan kejahatan pelecehan seksual. PSI menilai video kampanye tersebut akan berdampak buruk bagi proses pemulihan para korban pelecehan seksual.
“Rabbani sebagai brand pakaian Islami mestinya bisa lebih arif dan bijaksana dalam membangun narasi di ruang publik. Membuat video harus dengan riset sehingga tidak kontraproduktif. Bagi kami narasi menghubungkan kembali pilihan pakaian perempuan dengan kejahatan kekerasan seksual adalah sebuah kemunduran. Kita sebetulnya sudah mulai move-on ya dari pandangan toxic ini. Publik sudah semakin sadar bahwa memang tidak ada kaitannya pakaian wanita dengan kekerasan seksual. Bisa dilihat sendiri bahkan bayi saja bisa jadi korban kekerasan seksual. Santriwati di pondok pesantren yang berhijab dan bercadar pun jadi korban kejahatan pelecehan seksual. Jadi jangan lagi publik dibodohi dengan narasi menyesatkan yang mengarah pada penyalahan korban kekerasan seksual, sebab yang dirugikan nantinya tetaplah perempuan,” kata Mary dalam pernyataan tertulis, Selasa 3 Januari 2023.
Lebih jauh, Mary mengingatkan, proses pemulihan korban dari trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya sangatlah berat. Korban kekerasan seksual bahkan harus menanggung beban tersebut seumur hidup. Sehingga lingkungan yang kondusif dan dukungan dari masyarakat merupakan prasyarat penting bagi proses pemulihan ini.
“Untuk pulih dari trauma kekerasan seksual sudah sangatlah berat, kalau publik kita kompori lagi untuk melihat korban sebagai pihak yang salah, artinya kita sama sekali tidak menolong korban. Alih-alih menolong, yang demikian itu justru memperburuk stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual. Stigma inilah yang mempersulit para korban kekerasan seksual untuk pulih,” ujar lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah tersebut.
Selain tidak menolong, kampanye marketing yang menghubungkan pakaian dengan pelecehan seksual juga keliru dan tidak berdasar. Ruang Koalisi Aman Tahun 2019 merilis data survei tentang model pakaian apa saja yang dikenakan perempuan saat mereka mengalami pelecehan seksual. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas penyintas kekerasan seksual sedang mengenakan pakaian sopan saat mengalami pelecehan. Ada 17% responden yang merupakan menyintas menyatakan berhijab saat mengalami pelecehan seksual, di antaranya terdapat pula yang mengenakan cadar. Survei ini membuktikan bahwa semua perempuan berpotensi mengalami kekerasan seksual, apapun jenis dan pilihan pakaian mereka. Sehingga menghubungkan jenis pakaian yang dikenakan perempuan dengan kejahatan yang mereka alami sangat tidak relevan.
Sebelumnya, viral di media sosial unggahan reels Instagram Rabbani minggu lalu yang memuat narasi perbandingan perspektif perempuan dan laki-laki dalam memandang pelecehan seksual yang dikaitkan dengan pakaian minim perempuan. Video itu ditutup dengan kalimat ajakan “Karena itu, wanita sehendaknya menggunakan pakaian tertutup yang tidak memberikan kesempatan untuk seorang pria punya niat dan berpikir jorok. Bagi pria, seharunsnya menjaga dan meminimalisir pandangan dari hal-hal yang mengundang syahwat. Jadi menurut rabbaners, apakah pria yang salah atau wanitanya yang bodoh?”
Video tersebut kemudian mengundang kemarahan publik karena dianggap melanggengkan victim blaming.