Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu yang dituntut yaitu pengurus parpol minimal 30 persen perempuan, baik di tingkat pusat hingga kecamatan.
Berdasarkan Pasal 173 ayat 2 huruf e UU Pemilu, minimal 30 persen perempuan pengurus parpol hanya di tingkat pusat. Namun aturan itu tidak berlaku untuk pengurus di tingkat bawah. Hal itu dinilai menghambat perkembangan demokrasi.
“Padahal posisi kepengurusan parpol memegang peranan penting dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan strategis suatu parpol, termasuk keputusan strategis pencalonan anggota legislatif, presiden, gubernur, dan sebagainya,” kata PSI dalam berkas yang dikutip dari website MK, Senin (28/8/2017).
Dengan aturan yang ada sekarang, maka semakin berat bagi PSI untuk mendorong kebijakan yang telah disusun terkait kepentingan perempuan dalam politik. Partai yang dimotori Grace Natalie itu menyatakan sudah memiliki 40 persen pengurus perempuan di tingkat kecamatan hingga pusat.
“Ketentuan ini menggangu dan menghambat tujuan untuk memperjuangkan terwujudnya kesetaraan laki-laki dan perempuan di dalam politik dan mendorong lebih banyaknya keterlibatan perempuan di dalam politik,” ujarnya.
Menurut PSI, kebijakan affirmatif action keterlibatan perempuan sebagai pengurus di seluruh kepengurusan parpol, adalah sebuah keharusan. Melihat realitas tersebut, sudah saatnya ketentuan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga harus tertuang secara normatif dalam UU Pemilu.
“Menyatakan Pasal 173 ayat 2 huruf e UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai ‘menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan’,” tuntut PSI. (asp/bis)
Sumber: Detik