Dewan Pimpinan Daerah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Timor Tengah Utara menolak Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Hal ini disampaikan oleh Sekertaris DPD PSI Yanuarius To saat menggelar kopi darat perdana (Kodarda) PSI yang bertempat di Sekertariat DPD PPSI kabupaten TTU, Sabtu (24/02).
Sikap penolakan itu dilakukan karena menurut PSI, UU MD3 merupakan kemunduran demokrasi dan merusak sendi sendi demokrasi. Menurutnya pembentukan UUMD3 itu semata-mata untuk sangat merampas hak-hak rakyat. Salah satu hak yang dirampas adalah hak mengemukakan pendapat yang termaktub dalan UUD 1945 pasal 19, 20, 28 serta Undang – undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pandapat di muka umum.
“Kalau UU (MD3) ini disahkan maka DPR menjadi lembaga superior yang anti kritik, DPR sebagai wakil rakyat tidak boleh kebal kritik” ujarnya seraya menambahkan “(apakah) DPR selama ini sudah efisien?” Katanya penuh tanya.
Oleh karenya ia berharap agar pemerintah tidak membatasi interaksinya dengan masyarakat. Cara yang paling tepat adalah dengan selalu membuka komunikasi dengan masyarakat, dan menerima setiap kritik yang ada demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
“DPR sebagai perwakilan rakyat (seharusnya) tidak membatasi ruang komunikasinya dengan rakyat demi tercapainya cita cita Indonesia jaya,” Pintanya.
Sebelumnya, PSI merupakan salah satu partai yang memiliki concern penuh terhadap UU MD3. Berdasarkan laporan dari antaranews.com tepatnya Jumat (23/2/2018) kemarin, PSI mengajukan judicial review UU MD3 ke MK.
Gugatan tersebut diajukan PSI setelah melihat hasil polling yang dilakukan melalaui akun media sosial PSI menyatakan bahwa 91 persen responden mendukung pengajuan gugatan tersebut.
“Karena desakan publik yang tercermin dari hasil polling, PSI mewakili kepentingan anggota dan publik akan ke MK,” ujar Ketua Umum PSI, Grace Natalie.
Mantan jurnalis ini juga menyatakan bahwa ada sejumlah pasal yang kontroversial dari revisi UU MD3 yang disahkan DPR yang akhirnya menjadikan parlamen sebagai lembaga adikuasa, anti kritik, bahkan kebal hukum.
Beberapa pasal kontroversial tersebut adalah Pasal 73 mengenai permintaan DPR RI kepada Polri untuk memanggil paksa bahkan dapat dengan penyanderaan terhadap setiap orang yang menolok memenuhi panggilan para anggota dewan, serta Polri wajib melakukan permintaan tersebut.
Berikutnya adalah Pasal 122 huruf K tentang wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk dapat mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Pasal lainnya adalah Pasal 245 yang menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan MKD. (Kens)