PSI Tolak Keras Rencana Pembatasan Masa Hunian Rusun di Jakarta

Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD Provinsi DKI Jakarta mendesak pemerintah daerah mengkaji ulang rencana pembatasan masa hunian di rumah susun (Rusun).

Rencana ini akan berlaku bagi masyarakat terprogram maupun masyarakat umum.

Wakil Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta Bun Joi Phiau mengatakan, pihaknya menolak rencana pembatasan masa penghunian di Rusun yang digaungkan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Provinsi DKI Jakarta.

Wacana tersebut dianggap memberikan dampak bagi masyarakat penghuni Rusun, karena tidak ada jaminan bahwa perekonomian mereka naik setelah 6-10 tahun menghuni unitnya.

“Kami menolak wacana pembatasan masa hunian di rusunawa yang diusulkan dalam rapat Komisi D,” kata Bun Joi pada Minggu (9/2/2025).

Bun mengatakan, DPRKP Provinsi DKI Jakarta mengusulkan adanya pembatasan masa hunian maksimal 10 tahun untuk warga terprogam dan enam tahun untuk masyarakat umum.

Usulan tersebut digaungkan dalam rangka mengatasi beberapa permasalahan mulai dari antrian panjang untuk mendapatkan unit rusun hingga adanya warga yang menunggak pembayaran sewa dan denda mereka.

Menurut Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, sebanyak 17.031 unit rusun di Jakarta memiliki tunggakan sebesar Rp 95 miliar. Hal itu terdiri dari tunggakan bayar sewa, denda, listrik dan air.

“Seharusnya, Pemprov DKI Jakarta membuat suatu kebijakan yang menyasar kepada warga-warga dengan tunggakan, baik sewa hunian, denda sewa, listrik, dan air di rusun-rusun yang ada,” ucap Anggota Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta ini.

Kata dia, beberapa solusi yang bisa dipikirkan sebenarnya sudah disampaikan oleh Pemprov DKI. Salah satunya adalah melakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran penghuni untuk membayar tunggakan-tunggakan mereka.

Bun juga mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk memperketat pengawasan terhadap warga Rusun. Hal ini dilakukan agar mereka dipastikan membayar tunggakan-tunggakan mereka.

“Pemprov DKI juga harus memikirkan suatu mekanisme yang bisa digunakan untuk mengawasi para warga dalam hal tepat waktu membayar sewa, denda, listrik, dan air yang mereka gunakan. Hal ini bisa mengurangi potensi telat bayar yang sekarang menjadi masalah,” jelasnya.

Bun juga menyarankan DPRKP untuk membagi-bagi beban pengelolaan kepada pihak-pihak terkait agar meringani keterbatasan keuangannya.

“Kemudian, Pemprov DKI juga bisa meminta kepada PAM Jaya untuk menagih langsung air yang digunakan di rusun-rusun itu kepada para penghuni, sehingga tidak membebani keuangan Dinas Perumahan,” katanya.

Bun meminta agar Pemprov DKI Jakarta tidak menerapkan suatu kebijakan sapu jagat yang berdampak kepada semua penghuni rusun, bahkan yang tidak bersalah karena segelintir warga menunggak pembayaran mereka.

“Kebijakan ini tidak adil apabila diterapkan. Tidak semua penghuni rusun statusnya menunggak. Pemprov DKI harus mengurungkan kebijakan ini dan memikirkan skema lain yang di satu sisi dapat menyelesaikan masalah mereka tapi di sisi lain juga tidak semakin membebani masyarakat dalam keadaan ekonomi yang sulit seperti sekarang,” tegasnya.

“Alih-alih membatasi masa hunian, Pemprov DKI harusnya berpikir untuk menambah unit-unit rusun lagi ke depannya. Hal itu penting untuk mengatasi keterbatasan lahan dan mahalnya harga tempat tinggal di Jakarta. Kita juga sedang membicarakan kemampuan generasi mendatang memiliki tempat tinggal mereka sendiri yang terjangkau,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, DPRKP Provinsi DKI Jakarta mengungkap, banyak penghuni rusunawa di Jakarta yang menunggak. Adapun per 31 Januari 2025, tercatat 17 ribu unit dengan total tunggakan mencapai Rp 95,5 miliar.

“Kami merekap tunggakan selama dia menetap di rusun. Ada yang menunggak sampai 50 hingga 58 bulan. Kalau mereka nunggak, datanya akan terekap terus,” kata Sekretaris DPRKP DKI Jakarta Meli Budiastuti kepada wartawan.

Berdasarkan pencatatan DPRKP DKI, penunggakan mencakup warga kategori penghuni rusunawa terprogram dan kategori umum.

Pada warga terprogram, tunggakan tercatat pada 7.615 unit dengan total tunggakan Rp 54,9 miliar yang terdiri dari tunggakan sewa hunian Rp 27 miliar, denda sewa Rp 9,3 miliar, listrik Rp 567 juta, dan air Rp 18 miliar.

Sementara pada kategori umum, tunggakan di 9.416 unit dengan total tunggakan Rp 40,5 miliar yang terdiri dari tunggakan sewa hunian Rp 28,2 miliar, denda sewa Rp 4,9 miliar, listrik Rp 98,1 juta, dan air Rp 7,22 miliar.

Meli mengakui bahwa sesuai aturan, penghuni yang menunggak akan terkena sanksi administratif, mulai dari teguran, peringatan, penyegelan, hingga pengosongan secara paksa.

Namun, Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) DPRKP DKI Jakarta sulit mengeksekusi pengosongan paksa kepada penghuni yang menunggak.

Sebab, penghuni terprogram berdalih bahwa mereka sejatinya tak ingin tinggal di rusunawa bila hunian mereka sebelumnya tak digusur atau direlokasi.

“Akhirnya dengan mereka tetap menunggak, sanksi administrasi jalan tapi enggak sampai dieksekusi, dan itu mengundang juga masyarakat (kategori) umum lainnya. Masyarakat umum, meskipun dia niat tinggal di situ, tapi ada juga yang penghasilannya mungkin pas-pasan,” jelas Meli.

“Pada saat mereka udah dapet surat untuk mengosongkan secara paksa aja, mereka kadang-kadang melakukan pengaduan ke anggota dewan. Jadi, kami tidak bisa menerapkan itu,” tambahnya.

Oleh sebab itu, Pemprov DKI akan melihat kemampuan ekonomi para penunggak rusunawa dengan mengacu data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).

Apabila dianggap masih tergolong mampu, mereka akan dipaksa untuk mengosongkan hunian ketika tak kunjung melunasi tunggakan.

“Kami akan bertahap dengan memprioritaskan masyarakat umum dulu, karena mereka atas keinginan sendiri untuk tinggal di rusun. Kalau memang dia layak untuk dibantu, ya kita akan terus pertahankan. Tapi kalau dia tidak layak dipertahankan dengan tunggakan, pastinya kita akan lakukan eksekusi,” imbuhnya.

 

Sumber: https://wartakota.tribunnews.com/2025/02/09/dianggap-tidak-adil-psi-tolak-keras-rencana-pembatasan-masa-hunian-rusun-di-jakarta

Recommended Posts