Partai Solidaritas Indonesia (PSI) prihatin terhadap ditetapkannya Azis Syamsuddin sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dana alokasi khusus (DAK) di Lampung Tengah. Nama Wakil Ketua DPR RI tersebut sebelumnya telah disebut-sebut dalam dakwaan Jaksa di kasus suap Robin, eks penyidik KPK yang menjadi makelar perkara bersama pengacara Masykur. Dari lima perkara yang disebutkan dalam dakwaan, ada nama Azis Syamsuddin yang disebut jaksa sempat menyetor uang Rp3 miliar kepada Robin.
“Ini menyedihkan sekaligus menyakitkan, menampar keras wajah DPR RI. Lembaga ini sebelumnya telah dikritisi karena kinerjanya yang rendah, gajinya terlalu besar dan ketidak sensitifannya terhadap kondisi rakyat yang diwakili. Jangan lupa, ini kali ketiga seorang Pimpinan, sekali lagi Pimpinan DPR RI ditangkap karena kasus Korupsi sejak 2014,” demikian pernyataan Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulis, Sabtu 25 September 2021.
Sepanjang 2014-2019, korupsi politik adalah kasus yang paling banyak ditangani KPK. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) per 15 September 2019, terdapat 23 anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Hal ini seakan membenarkan anggapan awam bahwa DPR RI telah dijadikan tempat berlindung para koruptor dan sumber perlawanan balik terhadap perjuangan anti korupsi.
“PSI berulangkali mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak memilih Partai Politik dan Calon Legislatif yang terlibat ataupun toleran terhadap korupsi. PSI juga senantiasa bersikap ketika ada mantan napi tipikor ikut kontestansi pilkada, nyaleg atau diangkat menduduki jabatan publik,“ lanjut Bimmo.
Menurut data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) sekitar 56 persen dari 575 anggota dewan terpilih periode 2019-2024 merupakan petahana. Artinya, anggota dewan periode 2014-2019 masih mendominasi kursi dewan yang terhormat di DPR periode 2019-2024 ketimbang anggota yang baru.
“Kontaminasi perilaku korup sesama rekan anggota legislatif tidak terbendung dan kesalahan fatal mereka seakan termaafkan. Bila demikian, bagaimana bisa menghasilkan Undang-undang yang anti korupsi? (UU) yang tidak rentan korupsi dan bisa mencegah perilaku koruptif” tutup Bimmo.