Juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bidang Kepemudaan dan Perempuan, Dara Adinda Nasution, menyayangkan maraknya kampanye pernikahan dini yang belakangan ini terjadi.
Pernyataan Dara merujuk pada pernikahan yang terjadi antara dua remaja di Bantaeng, Sulawesi Selatan yang berlangsung Senin (23/4). Remaja perempuan, SY (14), menikah dengan pasangannya, FA (15).
“Pernikahan adalah sesuatu keputusan yang luhur yang seharusnya diambil dengan penuh pertimbangan dan matang,” ujar Dara, ketika dikonfirmasi, Rabu (25/4/2018).
Menurutnya, pernikahan itu sebenarnya terlarang. Hal itu, jelas dia, lantaran dalam pasal 7 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Tetapi, pasangan SY dan FA bersikeras dan mengajukan dispensasi yang akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Agama setempat dengan alasan menghindari zina.
Ia mengkhawatirkan pernikahan dini akan menimbulkan sejumlah masalah, seperti putus sekolah, ketidaksiapan fisik dan mental, ketidakcukupan finansial, kematian ibu dan bayi, serta kemiskinan.
Dara juga mengutip laporan BPS tahun 2016 yang menyebutkan bahwa anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun (pengantin anak) memiliki tingkat pencapaian pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan yang belum menikah, khususnya setelah sekolah dasar (SD).
Selain itu, anak yang menikah lebih muda memiliki pencapaian pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang menikah lebih tua.
“Saya tentu saja menghormati hak pasangan tersebut untuk menikah, apalagi kalau tujuannya adalah untuk menghindari perzinahan,” katanya.
“Tetapi, pada dasarnya, pernikahan semacam itu seharusnya hanya dilakukan dalam keadaan darurat dan bukan sesuatu yang dipromosikan,” imbuhnya lagi.
Di sisi lain, ia menyebut perlunya secara khusus adanya kampanye di kalangan remaja tertentu yang seolah-seolah mendorong para remaja untuk menikah secepatnya. Implikasi menikah muda itu sangat panjang dan serius. Jika ini dijadikan tren, kata dia, Indonesia berpotensi gagal memetik manfaat dari bonus demografi.
Lebih lanjut, ia menilai Indonesia membutuhkan anak-anak muda yang produktif dan mampu mengoptimalkan potensi dalam dirinya. Kalau generasi muda menikah terlalu dini, semua potensi itu akan sia-sia.
Menurut sensus terakhir, tingkat pernikahan dini di Indonesia memang masih merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan 25 persen perempuan muda (20-24 tahun) mengaku menikah sebelum usia 18 tahun.
“Kalau tujuannya menghindari zina, pernikahan bukanlah jawaban tunggal. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan anak muda untuk menghindari zina, misalnya berorganisasi, belajar, mengaji, dan lain-lain. Lagipula, memangnya isi kepala anak muda hanya seks?” jelas Dara.
“Zina tentu saja dilarang dalam agama-agama, termasuk Islam. Tapi, kemiskinan yang sangat mungkin terjadi karena pernikahan dini yang tidak terencana juga menjadi sumber bencana. Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, begitu kata hadits Nabi Muhammad SAW,” pungkasnya.