Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merasa ikut prihatin dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan. Kasus asusila itu diduga melibatkan mantan anggota Dewan Pengawas (Dewas) BPJS TK berinisial SAB, dengan Rizky Amelia, yang tak lain adalah asisten ahli di jajaran Dewas BPJS TK.
Untuk itu, DPP PSI mengadakan diskusi publik dengan mengusung tema “Melawan Predator Seks: Berkaca Dugaan Kekerasan Seks di Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan”, Selasa (08/01/2019).
Caleg PSI, sekaligus Jubir PSI Bidang Perempuan, Dara Adinda Nasution, menuturkan, menyatakan secara terbuka bahwa partainya siap membantu Amel, panggilan akrab Rizky Amelia, termasuk bantuan hukum, dan soal membuka pilihan kepada Amel untuk berkarier di PSI. Pasca-berita dugaan pemerkosaan terhadap Amel heboh, ia tak hanya jadi pusat pemberitaan, yang bersangkutan justru diberi sanksi berupa skorsing oleh Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan.
“Harus ada upaya short-term yang kita (PSI) lakukan, kita menawarkan bantuan kepada Mbak Amel di bidang hukum, di LBH Jangkar Solidaritas. Kita juga siap menyediakan bantuan psikolog, kita juga menawarkan Mbak Amel bisa bekerja di PSI dengan lingkungan kondusif tanpa stigmatisasi terhadap Mbak Amel,” ujar Caleg PSI dari Dapil Sumatera Utara III ini.
Lebih jauh, kasus yang dialami Amel, itu memperlihatkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sudah 2 tahun mandek di DPR, mendesak untuk segera disahkan.
“Dari kasus Amel ini kita melihat bahwa betapa RUU PKS itu semakin urgent untuk disahkan. RUU PKS sudah dua tahun mangkrak di DPR, di Komisi VIII,” kata Dara di Basecamp DPP PSI, Jakarta Pusat.
Ia juga menilai, kasus Amel ini sebagai ujian bagi komitmen partai-partai yang ada di DPR sekarang, terutama terhadap perlindungan korban kekerasan seksual.
“Kita sih berharap RUU PKS bisa disahkan sebelum Pemilu, kalau belum juga disahkan sebelum Pemilu, berarti kita mempertanyakan komitmen partai-partai yang sudah ada dalam melindungi korban kekerasan seksual,” imbuhnya.
Tumpuan PSI dalam memaksimalkan perlindungan terhadap perempuan, ada pada pengesahan RUU PKS, karena menurut Dara, payung hukum yang ada sekarang belum cukup kuat membaca banyak kasus kekerasan seksual. Ia memakai contoh pasal 285 KUHP tentang Perkosaan.
“Soalnya kalau pasal 285 (KUHP) tentang Perkosaan harus ada ancaman kekerasan fisik, kalau perkosaan dilakukan dalam keadaaan tidak sadar, kan tidak ada tanda-tanda perlawanan jadi kita melihat payung hukum yang sekarang itu nggak cukup melindungi korban-korban kekerasan seksual.”
“RUU PKS punya cakupan arti kekerasan seksual yang lebih luas, seperti pemerkosaan, eksploitasi seksual yang melibatkan relasi kuasa seperti yang dialami Mbak Amel. Jadi kalau misal definisinya diperluas, akan lebih banyak kasus-kasus (kekerasan seksual) yang bisa dipayungi,” kata alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia itu.
Selain masalah struktural atau ketiadaan payung hukum, nasib korban pemerkosaan sangat mungkin semakin jauh dari keadilan, manakala aspek kultural dalam masyarakat ikut melakukan stigmatisasi kepada korban.
“Dalam kasus Mbak Amel dan perempuan-perempuan lain, juga ada masalah kultural. Bagaimana korban disalahkan, blaming victim, tidak dipercaya, revictimisasi, yang sebetulnya membuat dia menjadi korban untuk kedua kali,” terangnya.
Dara juga mengulang komitmen PSI tentang perlindungan terhadap perempuan yang berkali-kali dinyatakan di depan publik, jika partainya lolos ke Senayan. “PSI sebagai partai perempuan, yang memang 45 % Caleg kita perempuan, pengurus partai kita juga, kita akan menjadikan RUU PKS ini sebagai salah satu prioritas utama kalau PSI lolos ke DPR”
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, aktivis perempuan dari LBH APIK, Ratna Bantara Munti ikut mengamini pernyataan Dara. “Kasus pemerkosaan yang dialami oleh Amel ini, merupakan fenomena gunung es. karena itu, RUU PKS memang sangat penting disahkan, karena ada 9 jenis kekerasan seksual dalam RUU tersebut.”
Ade Armando, akademisi UI dan koordinator Kelompok Pembela Korban Kekerasan Seksual (KPKS), mengungkapkan fakta lain tentang respon Dewan Pengawas BPJS TK atas kasus yang melibatkan salah satu anggotanya. Menurutnya, Dewas BPJS TK tak bersedia menemui rombongan KPKS yang datang membawa surat pernyataan KPKS terkait kasus Amel ini. Lalu, surat pernyataan tertanggal 7 Januari 2019 itu pun dibagikan kepada rekan-rekan wartawan.
“Dari 7 anggota Dewan Pengawas BPJS TK, tak seorang pun yang bersedia menemui kami, dan menerima surat yang kami bawa. Di mana tanggung mereka sebagai penyelenggara negara?” tegas Ade yang mendampingi Amel itu.