PSI, Partai Anak Muda yang Menolak Sikap Apolitis

Keberlanjutan sidang skandal korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) 2011-2012 kini menemui babak baru. Setelah 6 tahun ditangani oleh  Polri dan Kejaksaan Agung, mulai 1 maret 2017 lalu akhirnya dilimpahkan ke PN Tipikor Jakarta Pusat. Tentu ditengah rilis  berbagai lembaga survei yang menempatkan partai politik di urutan terendah dalam hal tingkat kepercayaan publik.

Seperti; Jurnal Politik LIPI tahun 2016 yang merilis tingkat kepercayan publik pada partai politik berada di titik terendah dengan hanya mendapat 41,6%. Pun dengan rilis yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun 2016 yang juga menyebutkan  tingkat kepercayan publik pada partai politik berada di urutan terbawah dengan persentase 52,9%. Terkuaknya mega skandal korupsi e-KTP ini semakin memperkuat argumen publik bahwa tak satupun partai politik yang layak di percaya lagi ditengah korupsi yang semakin hari semakin sporadis.

Lebih lagi rilis yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) yang melakukan survei yang menyebutkan DPR menjadi lembaga yang paling korup di Indonesia. Karena peran sentralnya dalam pembuatan undang-undang, penyusunan anggaran, dan lemahnya pengawasan terhadap setiap kebijakan pemerintah semakin menurunkan tingkat kredibilitas DPR di mata masyarakat.

Sebab, megakorupsi e-KTP tersebut tidak hanya dilakukan oleh perwakilan satu atau dua anggota partai politik saja. Tapi melibatkan hampir seluruh refrensentasi partai politik di DPR. Lihat saja nama-nama populer anggota DPR periode 2009-2014

Anak Muda Politis

Diam tentu bukan pilihan bijak di tengah korupsi di Indonesia yang semakin hari semakin sporadis. Apatis terhadap politik yang kini kotornya mirip kubangan lumpur juga bukan sikap bagus. Apalagi pasrah begitu saja menerima keadaan tentu bukan pilihan terbaik yang harus diambil. Sebab, pada setiap sistem demokrasi di berbagai belahan duni ini termasuk Indonesia, partai politik merupakan elemen utama dalam melahirkan eksekutif dan legislatif.

Tak dapat dipungkiri pula partai politik di Indonesia saat ini di isi oleh generasi yang secara struktur, rekrutmen anggota dan kepengurusan hampir memiliki skema sama yang terpatron pada satu tokoh tertentu. Lebih lagi, menjadi politisi “kutu loncat” di partai politik menjadi hal yang lumrah asal kepentingan terakomodasi dan saling menguntungkan.

Secara nyata terlihat jelas, tak ada kebaruan dalam tata cara berpolitik ditengah feodalisme partai yang semakin hari semakin korup. Akibatnya kita sering menyaksikan persimpangan antara perkataan dan perbuatan para elit-elit partai tersebut.  Persimpangan jalan antara jargon partai dan keputusan politik yang diambil yang jauh dari kepentingan rakyat.

Artinya, pilihan terbaik saat ini adalah mencari formula baru untuk memperbaiki politik yaitu dengan masuknya anak-anak muda dari generasi millenial ke dalam partai politik. Sebab, secara empirik pun, ketika kita membaca literasi sejarah perubahan politik Indonesia. Anak muda selalu memiliki peran tersendiri dan tidak pernah lepas dari perubahan dalam setiap memutus garis kekuasaan yang diktator dan korup.

Meski tidak dapat dipungkiri titik permasalahan utama ketika anak-anak muda masuk ke gelanggang politik adalah menyebar sendiri-sendiri di berbagai partai politik yang sangat kental dengan sistem feodalisme, pun patronase yang kuat pula. Akibatnya perjuangan yang terbangun selama ini jauh dari cita-cita awal karena lebih banyak kepentingan elit-elit partai tempat mereka bernaung. Akibatnya rasa ego tidak bisa dihindari ditengah sikap pragmatis individu demi karir politik yang lebih menjanjikan.

Akibatnya kita sering menyaksikan diberbagai kesempatan di media, mereka yang dulunya anak-anak muda yang progresif kini malah berkelahi demi memperjuangkan kepentingan elit partainya masing-masing. Parahnya lagi beberapa diantara anak-anak muda yang dulunya idealis, kini  terjebak di dalam tahanan KPK karena tidak mampu melihat batas. Batas yang menjadi cita-cita politik mereka sebenarnya adalah memperjuangkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

PSI dan Batas

Segala sesuatunya harus mengenal yang namanya batas. Batas ini pulalah yang di coba di tarik oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengkampanyekan diri sebagai partai anak muda. Bagaimana tidak, di dalam struktur kepengurusan PSI dibatasi dengan usia maksimal 45 tahun dan belum pernah masuk ke partai politik manapun. Artinya lahirnya PSI adalah upaya anak-anak muda untuk menarik batas tersebut untuk berjuang bersama-sama di partai yang sama tanpa intervensi strata struktural di partai politik yang sudah ada.

Lebih lanjut, secara tegas di berbagai kesempatan dalam pidato politiknya ketua umum PSI, Grace Natalie mengatakan; “Bahwa di PSI tidak mengenal yang namanya patronase (ketokohan), di PSI semuanya setara dan yang paling penting adalah apa yang akan didedikasikan untuk negeri ini”

Ucapan Grace ini tentunya bukan sebuah pepesan kosong semata, Hal ini dibuktikan dengan gagasan kebaruan dalam cara berpolitik yang memberikan panggung untuk anak-anak muda menjadi pengurus struktur inti di PSI. Anak-anak muda yang bebas dari dosa politik masa lalu yang masih mencekam hingga hari ini.

Itu artinya, Anak-anak muda tidak boleh lari dari gelanggang politik. Anak-anak muda tak boleh pula bersikap apolitis dengan sikap acuh, cuek apalagi apatis terhadap partai politik. Sebab, bukankah cara terbaik membersihkan kubangan lumpur yang kotor adalah dengan memasukinya bersama-sama sembari membersihkannya dari dalam?.

Patar H Silitonga

Ketua PSI Kota Medan

 

Sumber: https://www.qureta.com/post/psi-partai-anak-muda-yang-menolak-sikap-apolitis

Recommended Posts