Kita segera meninggalkan 2017. Sederet catatan dan renungan sudah bisa dibentangkan. Termasuk menyangkut soal besar bangsa Indonesia: korupsi. Pun kita ingat, 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti-Korupsi Internasional.
Pada tahun ini, kita mencatat sejumlah kepala daerah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kebanyakan dari mereka dicokok karena terlibat patgulipat soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pada level sistem kerja birokrasi, masih maraknya korupsi juga dipicu dari belum diterapkannya praktik transparansi perencanaan dan anggaran secara baik.
Pada September lalu, KPK menyatakan, penerapan perencanaan dan penganggaran dengan sistem elektronik (e-planning dan e-budgeting) oleh pemerintah daerah di Indonesia baru 42 persen. Padahal, dalam sebuah surat edaran, Mendagri Tjahjo Kumolo telah menganjurkan penggunaannya sejak September 2016.
Secara sederhana, e-planning dan e-budgeting dan merupakan sistem keuangan dan perencanaan online yang dibuat agar setiap orang bisa mengakses anggaran yang disusun pemerintah daerah. Walhasil, upaya penggelapan dana bisa diminimalkan.
Data memprihatinkan yang diungkap KPK itu bisa ditafsirkan beragam. Tapi, PSI menduga, banyak daerah yang belum menerapkan sistem elektronik karena para pejabat setempat takut sulit ‘bermain’ anggaran. Transparansi, dalam bentuk e-budgeting dan e-planning, niscaya mempersempit ruang gerak para perampok duit rakyat.
Anjuran Mendagri yang tertuang dalam surat edaran jelas tidak cukup. Tidak punya kemampuan memaksa. Pekan ini, Presiden Jokowi kembali menegaskan pemerintah tengah menyiapkan peraturan presiden (perpres) mengenai e-planning, e-budgeting, dan e-procurement. PSI mendukung rencana tersebut dan berharap perpres itu segera terbit agar ada payung hukum yang lebih kuat dan bersifat memaksa.
Saat melansir rencana ini, Oktober lalu, Presiden Jokowi menyatakan Perpres ini akan mengurangi operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap kepala daerah. Perpres ini akan membuat dimensi pencegahan korupsi lebih bergigi.
Pada aras individual, masih maraknya korupsi membuktikan bahwa Indonesia sangat butuh sosok-sosok bersih di eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Untuk eksekutif, misalnya, PSI memimpikan kehadiran puluhan atau bahkan ratusan “Nurdin Abdullah” yang baru.
Bupati Bantaeng yang progresif dan inovatif itu menunjukkan bahwa politik bisa menjadi gelanggang untuk mengikhtiarkan kebaikan bersama, menjadi jembatan untuk mencapai kesejahteraan kolektif. Politik, di tangan Nurdin, tak menjadi peranti mencuri duit rakyat. Ini yang membuat PSI tak ragu mendukungnya sebagai calon gubernur Sulawesi Selatan pada Pilkada 2018.
Tak mengherankan jika Nurdin diganjar Bung Hatta Anti-Corruption Award 2017. Ini sebuah penghargaan bergengsi. Pada 2013, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok juga menerimanya saat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ahok dinilai telah membuat program-program sistematis dalam upaya pemberantasan korupsi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Saya kutip saja catatan penyelenggara Bung Hatta Anti-Corruption Award atas kinerja Nurdin, “Di tahun pertama kepemimpinannya, Nurdin melakukan pembenahan dan peningkatan kapasitas aparat pemerintah dengan menerapkan pola assessment dengan melibatkan Universitas Indonesia dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) Jatinangor, Jawa Barat. Nurdin melakukan sistem pendaftaran terbuka (open recruitment) sejak 2009 dan rotasi Kepala Dinas secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari “zona nyaman korupsi”. Nurdin sudah banyak mengganti pejabat yang bekerja tidak benar atau terbukti korup: Kepala Badan Kepegawaian Daerah sudah berganti empat kali…”
Pemberantasan korupsi jelas bukan kerja ringan. Membutuhkan niat dan kerja bersama. Membutuhkan solidaritas semua komponen bangsa Indonesia.
Peringatan Hari Anti-Korupsi Internasional 9 Desember selayaknya menjadi pengingat: hal paling mencemaskan dari korupsi adalah hilangnya rasa percaya (trust) sesama anak bangsa, bahwa masing-masing kita tidak mencuri hak orang lain.
Ketua Umum PSI Grace Natalie