Bank Indonesia (BI) menetapkan kebijakan biaya layanan QRIS sebesar 0,3 persen yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2023. Tarif ini dikenakan bagi merchant UMKM dan tidak boleh dibebankan kepada pembeli. BI beralasan penetapan biaya layanan QRIS tersebut untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran untuk masyarakat.
Terkait kebijakan tersebut, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mempertanyakan dasar penetapan biaya layanan QRIS serta penggunaannya. Kendati banyak dikatakan kecil nilainya, tetap akan mengurangi pendapatan usaha UMKM dan berpotensi memperlambat capaian target pengguna QRIS yang ditetapkan Pemerintah untuk penerapan cashless.
Ketua DPP PSI Kokok Dirgantoro mempertanyakan apa dasar BI menerapkan aturan ini dan akan digunakan untuk apa biaya layanan tersebut. Hal yang ditakutkan dari kebijakan ini nantinya malah berpotensi membebani usaha pedagang terutama pedagang skala mikro. Apalagi pengguna QRIS di skala usaha mikro kecil menengah saat ini jumlahnya tidak main-main ada 25,4 juta pedagang.
“Jangan sampai pelaku usaha mikro yang masih berusaha untuk bangkit setelah melewati masa pandemi malah berpotensi kekurangan pendapatan gara-gara aturan tersebut,” ujarnya.
Kokok menambahkan, “Pengenaan biaya MDR ini akan mengakibatkan harga barang yang diual mengalami kenaikan. Pelanggan hanya memiliki dua pilihan yakni tetap menggunakan QRIS dengan kenaikan biaya atau beralih menggunakan transaksi secara tunai atau cash. Hal ini tentunya kontradiktif dengan target Bank Indonesia yang ingin mendorong transaksi digital dengan jumlah pengguna QRIS mencapai 45 juta pengguna pada 2023.”
Menurut data Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), pada Desember 2022 QRIS sudah dimanfaatkan oleh sekitar 28,76 juta pengguna (user). Jumlahnya meningkat 4,6% dibanding November 2022 (month-on-month/mom), serta tumbuh 92,5% dibanding awal tahun lalu (year-to-date/ytd).
Pertumbuhan tersebut juga diiringi dengan semakin banyaknya merchant QRIS. ASPI mencatat, pada Desember 2022 ada sekitar 23,97 juta pedagang yang melayani transaksi via QRIS, meningkat sekitar 5% secara bulanan (mom), serta tumbuh 58,2% dibanding posisi awal tahun (ytd).
Namun, volume dan nilai transaksi QRIS di setiap merchant secara rata-rata masih cenderung rendah. Menurut ASPI, hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya merchant yang kurang aktif atau tidak menjadikan QRIS sebagai pilihan utama dalam melakukan transaksi.
“Dengan kebijakan biaya layanan, apakah tidak semakin menambah keengganan UMKM untuk menggunakan QRIS dan makin menjauhkan Pemerintah dari target digitalisasi UMKM serta target pengguna QRIS. Semoga dasar kebijakan ini dapat dibuka terang benderang dan disinkronkan dengan kebijakan strategis terkait transaksi digital,” tegas Kokok