“Kalau kamu di PSI kamu akan banyak belajar hal baru. Sama seperti magang dulu sama Ahok,” begitu kata seorang teman di Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kemudian membuat saya serius berpikir untuk menerima tawaran bergabung dengan partai politik baru ini
Saya sering menceritakan bahwa momen magang bersama Ahok adalah momen yang mengubah hidup saya dan mendorong saya untuk berpolitik. Magang bersama Ahok memang membuat saya belajar banyak hal baru. Saya bukan tipe orang yang suka berada dalam instansi yang tak ada tantangannya sama sekali dan mengerjakan hal yang itu-itu saja. PSI menawarkan kebaruan bernama politik anak muda. Tak heran jika saya pun kepincut.
Ini bukan soal perasaan saja. Faktanya, di dunia, selain populisme kanan yang menggunakan isu anti-imigran dan anti-Islam, politik anak muda juga sedang naik daun. Semua berawal dari kemenangan Emmanuel Macron, pemuda usia 39 tahun, melawan Marine Le Pen. Eropa sempat berada dalam ketakutan ketika Le Pen diprediksi akan memenangi Pemilu Presiden Prancis. Le Pen, sama seperti Trump, menggunakan isu anti-imigran dan anti-Islam untuk meraup suara orang-orang yang kecewa dengan situasi Prancis. Ceritanya sama seperti di Amerika, mereka merasa imigran mengambil lapangan pekerjaan mereka dan membuat mereka hidup semakin sulit.
Macron mengambil sikap pula terkait isu anti-imigran ini. Ia menempatkan imigran pada porsinya. Jika Le Pen ingin tampil sebagai pelindung rakyat Prancis dari imigran, Macron merasa imigran seharusnya bisa diajarkan mengenai bahasa dan budaya Prancis. Berbeda pula dengan Le Pen, Macron ingin ada integrasi dengan umat Muslim di Prancis. “Kalau kita mengikuti Le Pen, kita akan membuat perang sipil!” kata Macron (New York Times, 5/5/2017).
Pendekatan moderat tetapi disertai dengan keberanian dan kelantangan Macron ini membuahkan hasil. Dirinya menang telak pada Pemilu Presiden putaran kedua sebesar 63%. Semua ini tak akan berhasil ia raih jika ia tak berani mengambil risiko mundur dari kabinet Presiden Hollande dan mendirikan partai politik baru bernama en Marche! En Marche baru berdiri selama 14 bulan. Partai politik yang ketika berdiri ditertawakan oleh partai-partai mapan lainnya di Prancis dalam waktu cepat bisa mendapatkan 200.000 anggota. Dalam Pemilihan Legislatif Prancis, partai baru ini bahkan berhasil meraih kemenangan sebesar 43% atau 301 kursi dari 577 kursi yang tersedia di parlemen.
Bukan sekadar soal kemenangan besarnya, tapi siapa yang menduduki kursi tersebut. Para calon legislatif en Marche diseleksi dari 19.000 orang yang mendaftar secara online. Mereka semua orang baru, belum pernah mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Pemilihan Legislatif lalu adalah yang pertama kalinya mereka maju mencalonkan diri untuk melayani rakyat Prancis.
Latar belakangnya sangat menarik. Ada yang guru, dokter, pilot, pegawai negeri sipil, petani, pemadam kebakaran, mantan pemain golf, dan lain-lain. Hebatnya lagi, 50% dari calon legislatif en Marche adalah perempuan! Sungguh benar apa yang dikatakan oleh The Economist bahwa ini adalah “a second French revolution”; “Revolusi Prancis kedua.” Tapi apakah kebangkitan anak muda hanya terjadi di Prancis?
Rusia juga mengalami hal yang sama. Sayangnya tidak seperti Prancis, kebangkitan anak muda di Rusia melalui tantangan lebih berat karena harus melawan kediktatoran Vladimir Putin. Alexei Navalny, pria muda berusia 41 tahun, adalah tokoh utama dalam gerakan melawan Putin. Navalny dan banyak anak muda lainnya muak dengan korupsi yang kerap dilakukan rezim Putin. Bersama anak muda lainnya, Navalny mengorganisasi massa untuk turun ke jalan menuntut keadilan bagi Rusia. Slogan mereka: “Korupsi mencuri masa depan kita.”
Perjuangan Navalny tak mudah. Karena ini ada segerombolan orang yang menyiram mukanya dengan air keras hingga ia harus pergi ke Spanyol untuk operasi mata agar bisa mendapatkan penglihatannya kembali. Hak berpolitiknya direnggut karena kemungkinan besar ia tak akan bisa mencalonkan diri sebagai penantang Putin. Kremlin akan berupaya untuk membuatnya tak berada di kertas suara.
Bukan hanya di Prancis dan Rusia, kebangkitan politik anak muda juga bisa dirasakan dengan terpilihnya anak-anak muda pro demokrasi di parlemen Hongkong dan munculnya sosok seperti Jesse Klever dengan partai hijaunya di Belanda. Namun, kisah Macron dan Navalny secara khusus menunjukkan kepada kita bahwa kekuatan intoleransi dan korupsi bisa dilawan dengan kekuatan anak muda. Anak muda mampu mengubah wajah politik suatu bangsa.
Spirit perlawanan terhadap intoleransi dan korupsi yang dibawa oleh Macron dan Navalny sebenarnya sesuai dengan spirit perlawanan PSI pula. Sejak awal, PSI secara tegas menyatakan: anti-intoleransi dan anti-korupsi. Dua masalah besar yang berpotensi merusak bangsa kita.
En Marche yang didirikan Macron pun punya banyak kemiripan dengan PSI. Rata-rata anak muda PSI orang baru, tidak pernah menjadi pengurus dari partai politik lainnya (bahkan ini menjadi syarat kepengurusan). Latar belakangnya pun macam-macam. Ada yang mantan jurnalis, mantan aktivis, mahasiswa, dan lain-lain. Bukan berasal dari keluarga elite politik. Semoga kita bernasib sama seperti en Marche. Memang, ini semua tergantung pada anak muda di Indonesia. Ketika anak muda di belahan dunia sana bangkit untuk “menyelamatkan” negaranya, bukankah ini juga waktunya untuk kita bangkit?
Dasar negara dengan ideologi khilafah masih jadi perbincangan. Persekusi terhadap mereka yang berbeda masih terjadi di mana-mana. Triliunan uang pajak rakyat menjadi bancakan dalam kasus e-KTP. Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membersihkan Indonesia justru dilawan hak angket.
Ini tandanya intoleransi dan korupsi masih aman-aman saja. Kalau sudah begini, waktunya kita mengikuti langkah Macron dan Navalny. Atau dalam istilah lebih mudah yang sering digunakan Widji Thukul: LAWAN!
Tsamara Amany
Ketua Bidang Eksternal DPP PSI, Mahasiswi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Pendiri LSM Perempuan Politik, Penulis buku “Curhat Perempuan: Tentang Jokowi, Ahok, dan Isu-isu Politik Kekinian”
Sumber: GEOTIMES