PSI dan Anak Muda Bicara Pancasila

Memperingati Pekan Pancasila, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar diskusi Solidarity Lecture bertajuk “Apa Kata Anak Muda tentang Pancasila”, Jumat (2/6) di Jakarta. Hadir sebagai bintang tamu Afi Nihaya Faradisa dan Gloria Natapradja Hamel, dipandu oleh Tsamara Amany.

Afi (18), nama pena pelajar Banyuwangi, kerap menulis status yang menghebohkan di Facebook dan Instagram. Gloria (17) anggota Paskibraka 2016 yang digugurkan karena dianggap bukan warga negara Indonesia. Tsamara (21) penulis muda yang kini masuk dunia politik lewat PSI.

“Galau rasanya, aksi-aksi intoleransi marak, padahal bingkai dasar negara kita Pancasila,” kata Ketua Umum PSI Grace Natalie membuka diskusi. Berefleksi pada pidato Bung Karno tentang lahirnya Pancasila, seharusnya tidak ada lagi intoleransi, apalagi persekusi, lanjut Grace.

Menurut Gloria, setiap orang mempunya cara hidup dan perspektif berbeda-beda. “Pancasila adalah wadah untuk mencakup segala keberbedaan itu, dikemas dalam cinta,” kata Gloria. Bagi Afi, Pancasila adalah ruh dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

“Bung Karno menggali Pancasila dari keseharian masyarakat kita ratusan tahun lamanya, apakah sekarang kita masih memiliki Pancasila?” tanya Tsamara. Baik Afi maupun Tsamara melontarkan jawaban yang kompak, “Kalau tidak bagaimana kita bisa duduk bersama di sini?”

Tsamara mengutip survei Kementerian Agama, 10 persen anak muda berpotensi terpengaruh paham radikal. “Perlu pendekatan melalui perilaku nyata untuk mensosialisasikan Pancasila,” kata Afi. “Ini negara saya, bagaimana mencintai dan berlaku sesuai Pancasila,” tandas Gloria.

Tentang adanya banyak kelompok yang memaksakan kebenaran, Gloria menyayangkan karena bangsa ini sudah 72 tahun merdeka. “Adat istiadat mengajarkan untuk menyayangi siapapun,” kata Gloria. Menurut Afi, konsep kebenaran berputar-putar di kalangan penganutnya saja.

“Seperti halnya Piagam Madinah, kita punya konsensus Pancasila, tapi ada yang ingin merongrong,” kata Tsamara. Dari pengamatan Afi, di kalangan pesantren paham radikal kurang berkembang. “Orang yang mendalami agama, tidak instan, tidak mudah goyah,” kata Afi.

Fenomena post-truth atau merebaknya hoax, kata Gloria, dilatari oleh kemalasan menggali kebenaran. Dikuatkan lagi dengan tingkat literasi yang sangat rendah, kata Tsamara. “Kita harus membangun bahasa kita, kadang sulit mencari kosakata saat menulis caption,” lanjut Gloria.

Kalau saja Bung Karno masih hidup dan melihat kondisi saat ini, kata Afi, pasti miris. “Generasi sekarang bermodal jari dan kuota menghancurkan bangsa, menodai perjuangan berdarah-darah dulu,” kata Afi. “Beliau pasti baper, tujuan semulia itu kini jadi perpecahan,” sambung Gloria.

Seandainya para founding fathers masih ada, Afi minta agar jangan hanya bertumpu pada generasi muda.

“Berikan teladan,” kata Afi. “Mau minta maaf, merasa malu, tapi kami tidak akan khianati perjuangan, akan mengajak teman-teman yang pincang sekalipun,” kata Gloria.

“Bagaimana agar Pancasila dipahami tidak seperti doktrin pada masa Orde Baru, kurang fun?” tanya Tsamara. Menurut Gloria, penyampaiannya selama ini terlalu baku. “Kita hanya diajari menaati Pancasila, tidak mencintai Pancasila,” lanjut Gloria.

Untuk menjaga Pancasila, Gloria mengajak generasi muda bergerak karena bangsa ini tidak bisa dipimpin sendirian. “Satu orang yang bisa mempengaruhi seribu orang, baru bermakna,” kata Gloria. “Jangan tunggu sampai Indonesia rusak, mari maju sama-sama, berkontribusi,” kata Afi.

Dewan Pimpinan Pusat
Partai Solidaritas Indonesia

Recommended Posts