Juru bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI), Furqan AMC mengapresiasi langkah maju Presiden Joko Widodo yang telah memerintahkan 17 kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian untuk menuntaskan rekomendasi tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM). Arahan presiden tersebut akan ditegaskan dengan Instruksi Presiden (Inpres) dalam waktu dekat.
“Langkah maju Presiden ini membungkam keraguan sejumlah pihak terkait keseriusan pemerintah menangani pelanggaran HAM masa lalu,” tegas Furqan AMC.
\Presiden Joko Widodo juga akan membentuk satuan tugas untuk mengevaluasi dan mengendalikan pelaksanaan setiap rekomendasi tim PPHAM.
Furqan berharap kemeterian/lembaga terkait bisa bergerak cepat menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo.
“Langkah maju Presiden adalah sebuah kebijaksanaan dan kearifan untuk semua korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, karena itu besar harapannya kementerian dan lembaga terkait dapat melaksanakan instruksi presiden dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya,” harap Furqan.
Beberapa kementerian dimaksud antara lain Kemenko Polhukam, Kemenko Pembangunan Manusia & Kebudayaan, Kementerian Hukum.& HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Luat Negeri, serta Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat (PUPR).
Presiden sebelumnya telah menegaskan bahwa langkah non yudisial ini tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
“Kebenaran tetap harus diungkap, tapi pemulihan hak dan kehidupan korban HAM harus didahulukan” tegas Furqan AMC, yang juga aktivis 98 ini.
Lebih lanjut, Furqan menjelaskan, ada ratusan ribu korban dan keluarga korban selama puluhan tahun telah diabaikan haknya sebagai warga negara, didiskriminasi dalam kehidupan sosial politik, dibatasi lapangan kerjanya, bahkan ribuan di antaranya ada yang terusir dari tanah air tercinta.
Adapun 12 pelanggaran HAM berat yang dimaksud adalah peristiwa 1965-1966; penembakan misterius (1982-1985); peristiwa Talangsari, Lampung (1989); peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis, Aceh (1989).
Kemudian, peristiwa penghilangan orang secara paksa (1997-1998); kerusuhan Mei (1998); peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II (1998-1999); peristiwa pembunuhan dukun santet (1998-1999); peristiwa Simpang KKA, Aceh (1999); peristiwa Wasior, Papua (2001-2002); peristiwa Wamena, Papua (2003); dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh (2003).