Proyek pembangunan jalan dan jembatan di Sumatera Utara senilai Rp 2,7 triliun yang didanai secara multiyears atau tahun jamak, dinilai bermasalah dan menabrak aturan. Sebab, masa jabatan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi, bakal berakhir pada 2023 sebelum pembiayaan proyek tersebut selesai.
Demikian menjadi salah satu kesimpulan dalam Solidarity Talk “Mengapa PSI Sumut Gugat Gubernur Edy Rahmayadi?” yang difasilitasi DPP PSI.
“Untuk apa multiyears? Ini masa jabatan Gubernur sudah mau berakhir dan proyek ini dipaksakan, harus, tidak bisa tidak. Ada apa di balik ini semua? Bukan berarti kita anti terhadap pembangunan di Sumut ini, bukan,” kata Ketua DPW PSI Sumut, HM Nezar Djoeli, Senin 13 Juni 2022.
Nezar melanjutkan, dalam ketentuan perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) jelas diterangkan bahwa proyek multiyears tidak boleh melampaui akhir tahun masa jabatan pejabat pemerintah.
Namun, tambah Nezar, untuk menjalankan proyek senilai triliunan rupiah itu, Gubernur Edy tampak mengabaikan semua ketentuan dan peraturan yang ada. Jadi, dia menduga ada kepentingan terselubung Gubernur Edy di balik proyek ambisius itu.
“Dalam peraturan perundang-undangan dan Permendagri, bahwa salah satu poin pentingnya itu tidak boleh kegiatan tersebut (proyek yang didanai secara multiyears) berakhir pada masa jabatan Gubernur. Nah sekarang pertanyaannya, ketika Gubernur sudah tidak menjabat lagi di 2024, bagaimana nasib kawan-kawan kontraktor? Kalau saya bilang, proyek ini sarat akan kepentingan,” imbuhnya.
Untuk memuluskan proyek pembangunan 450 Km jalan, 71 jembatan dan 4.500 meter persegi drainase di Sumatera Utara itu, pihak Pemprov harus membayar secara bertahap kepada kontraktor pemenang tender. Dengan perincian, Rp 500 miliar dibayar di tahun 2022, Rp 1,5 triliun di 2023, dan Rp 700 miliar di tahun 2024.
Sementara, masa jabatan Gubernur Edy selaku penanggung jawab tertinggi proyek berakhir pada bulan September 2023. Di sinilah letak permasalahannya.
Tak hanya itu, proyek mahal yang menjadi program Gubernur Edy ini pun, menurut Nezar, tidak ada dalam rancangan KUA-PPAS maupun termaktub di Perda APBD Sumatera Utara 2022.
“Kami lihat di dalam KUA-PPAS apakah diusulkan eksekutif ke legislatif, ternyata tidak ada. Kami cek lagi di dalam Perda APBD apakah ada proyek kegiatan tahun jamak Rp 2,7 triliun yang dilelangkan LPSE ini, rupanya tidak ada juga. Kami cek di dalam pidato Gubernur, juga tidak ada. Nah inilah dasar kami melakukan gugatan. Mohon maaf, saya sebut ini proyek siluman,” ucap dia.
Jika proyek ini tetap dipaksakan, tambah Nezar, dia khawatir akan banyak persoalan hukum yang muncul di kemudian hari. Proses perencanaan dan penganggaran yang tidak berjalan secara transparan adalah penyebabnya.
“Ini akan bersinggungan dengan persoalan-persoalan hukum, mulai dari menentukan pejabat pembuat komitmen (PPK). Bahkan saya mendapat informasi, baru hari Jumat pekan lalu, mereka baru saja menandatangani kontrak Rp 2,7 triliun itu, dan mereka lagi bingung menyiasati seperti apa sistem penagihan dan pengerjaannya,” terang Nezar.
Dia juga menegaskan, kritikan dan gugatan PSI Sumut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, bukan berarti PSI anti-pembangunan. Upaya hukum ini sebagai pengingat bahwa dua Gubernur Sumatera Utara terdahulu pernah ditangkap KPK.
“Kita gak mau pemerintah Sumatera Utara ini kehilangan kepercayaan rakyat terhadap eksekutif dan legislatif, cukuplah pengalaman yang lalu-lalu yang tidak mengenakkan terjadi di Sumut,” tutur mantan anggota DPRD Sumut ini.
Narasumber lain, Direktur LBH PSI Sumut, Rio Darmawan Surbakti, menjelaskan bahwa proyek pembangunan jalan dan jembatan Pemprov Sumut tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Dalam materi gugatan di PTUN Medan, Gubernur Edy diduga melanggar pasal 9 ayat (1), pasal 10 ayat (1) dan pasal 18 ayat (1) UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Pasal 18 ayat (1) menerangkan, badan dan/atau pejabat pemerintah dikategorikan melampaui wewenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau batas berlakunya kewenangan. Nah, Pak Edy sekarang kan selaku Gubernur Sumut akan berakhir di 2023, proyek tersebut dianggarkan dengan menggunakan APBD 2024, tentunya berdasarkan UU tersebut ya termasuk melanggar asas pemerintahan yang baik,” papar Rio.
Selain itu pula, Gubernur Edy diduga melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri No 77 / 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, dan melanggar Permendagri No 27 / 2021 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2022.
Terkait perkembangan gugatan, Rio mengatakan, setelah melewati 3 kali proses dismissal atau penelitian atas gugatan, Majelis Hakim PTUN menyatakan gugatan PSI Sumut telah sempurna dan dapat diterima, dan layak dilanjutkan ke persidangan.
“Alhamdulillah, setelah tiga kali proses dismissal, gugatan kita dianggap sempurna dan diterima, dan dapat disidangkan,” tandas Rio.
Untuk diketahui, PSI Sumut tetap pada pendiriannya dan meminta Majelis Hakim PTUN menganulir keputusan Gubernur yang tertuang pada SK Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/935/KPTS/2021 tentang Penetapan Pekerjaan Rancangan dan Bangunan (Design And Build) Pembangunan Jalan dan Jembatan Provinsi Di Sumatera Utara Untuk Kepentingan Strategis Daerah Provinsi Sumatera Utara.