Proklamasi Muhammadiyah

Fajar Riza Ul Haq

(Pengurus Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah dan Juru Bicara PSI)

 

“Praktikkan saja Pancasila, insyaallah baik syariat Islam maupun syariat agama lain itu akan tercakup di dalamnya. Jadi sudah cukup, kita jangan terus dihadapkan pada pertentangan istilah-istilah”.

Pandangan ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menanggapi wacana NKRI Bersyariah, salah satu rekomendasi Ijtimak Ulama IV yang dihelat Persaudaraan Alumni (PA) 212 awal Agustus lalu di Sentul, Bogor. Banyak pihak mempertanyakan urgensinya. Pihak pengusul minta agar diberi ruang diskusi.

Menurut  Koordinator Divisi Hukum PA 212 Hari Damai Lubis, wacana NKRI Bersyariah akan menjadi hal positif untuk membuktikan bahwa syariah tidak bertentangan dengan Pancasila. “Jangan beri ruang, kita ini NKRI Berpancasila”, tegas mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.

Istilah NKRI Bersyariah dikenalkan secara publik oleh Rizieq Shihab melalui bukunya yang berjudul “Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah” (Suara Islam Pers, 2012). Inilah platform perjuangan Front Pembela Islam.

Menurut Rizieq, tidak ada pernyataan bahwa Indonesia negara demokrasi dalam konstitusi. Mekanisme musyawarah dan mufakat yang dipraktekkan Nabi Muhammad justru berbeda hakekatnya dengan demokrasi. Inti argumen NKRI Bersyariah adalah mengembalikan Piagam Jakarta sebagai landasan bernegara (Wilson dalam Fionna, 2015).

Kepribadian Muhammadiyah

Munculnya kembali aspirasi untuk mengembalikan Piagam Jakarta dengan mengusung NKRI Bersyariah, utamanya paska pemilu lalu yang kental dengan intrumentalisasi politik identitas, mengulangi gerakan serupa pada awal masa Reformasi. Upaya partai-partai Islam di parlemen kala itu dengan dukungan beberapa ormas Islam pada periode Sidang Umum MPR tahun 1999 sampai 2002 menemui kegagalan. Justru Muhammadiyah bersama NU berada di garis depan menolak menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

Di bawah kepemimpinan Syafii Maarif pada periode itu, Muhammadiyah teguh berpendirian Piagam Jakarta tidak diperlukan lagi secara legal formal demi mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan. Yang terpenting, ruhnya diambil berupa tegakknya keadilan yang merata, tanpa diskriminasi. Pancasila juga harus membuka diri seluas-luasnya menerima sumber moral dari agama-agama (Maarif, 2009 : 311).

Pada Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar, Muhammadiyah secara resmi memproklamasikan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wasyahadah. Organisasi yang pernah dipimpin Ki Bagus Hadikusumo ini (1942-1953) meletakkan NKRI berdasarkan Pancasila sebagai hasil kesepakatan atau konsensus nasional (Darul Ahdi) seluruh komponen bangsa, termasuk umat Islam selaku penduduk mayoritas, sekaligus sebagai wujud kesaksian (Darus Syahadah) Muhammadiyah serta seluruh kekuatan bangsa agar Negara Pancasila tersebut benar-benar dibangun menuju cita-citanya.

“Keutuhan NKRI terjadi karena sikap kaum mayoritas yang mau mengorbankan kepentingannya,” ungkap Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas (Suara Muhammadiyah, 9/1/2019).

Menurut Haedar Nashir, dengan alam pikiran itu Muhammadiyah tidak bersetuju dan tidak memberi ruang bagi adanya ideologi, pemikiran, sikap, dan pandangan yang ingin mewujudkan bentuk dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan pandangan Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah.

Proklamasi Muhammadiyah bahwa Negara Pancasila adalah Darul Ahdi Wasyahadah berakar pada Kepribadian Muhammadiyah yang secara resmi diputuskan pada Muktamar ke-35 tahun 1962 di Jakarta.

Esensi Kemerdekaan

Hasil pemilu 17 April lalu, khususnya pada konteks pemilihan presiden, telah memperlihatkan kembalinya polarisasi politik sejak berakhirnya Pemilu 1955. Polarisasi bukan hanya fenomena media sosial atau pengalaman sekelompok kecil orang Indonesia perkotaan saja. Ini juga beresonansi dalam populasi Indonesia dan terhubung dengan arus pergulatan ideologi politik dalam sejarah Indonesia (Aspinall, 2019).

Ajakan Persaudaraan Alumni 212 agar umat Islam memperjuangkan NKRI Bersyariah merepresentasikan kembalinya arus aspirasi yang ingin mengawetkan polarisasi ideologi politik dengan menunggangi kekecewaan sebagian pemilih atas kekalahan politik pilpres.

Konteks pembeda polarisasi politik di Era Reformasi yang bermula dari Pilkada DKI Jakarta itu dibanding tahun 1950-an adalah kebangkitan populisme Islam yang berpusat pada konsepsi identitas “umat Islam” yang sempit.

Kelompok aspirasi politik 212 telah secara sistemik membangun narasi takfiri, mengeksklusi orang-orang Islam dari konsepsi “umat Islam”, yang tidak sejalan dengan pilihan politiknya dengan menggunakan instrumen agama.

Upaya menyeret-nyeret kembali Indonesia untuk larut ke dalam kontestasi ideologi politik dengan semangat mengeksklusi sesama warga negara merupakan bentuk pengkhianatan terhadap proklamasi kemerdekaan. Merusak fondasi keindonesiaan.

Sejarawan Ledge dalam Indonesia (1977: 1) menyebut momen proklamasi kemerdekaan sebagai simbol nasionalisme dan sumber semangat revolusioner bangsa Indonesia. Dengan begitu, merayakan kemerdekaan merupakan proses menyegarkan kembali nilai-nilai patriotisme, khittah bernegara yang berdaulat, komitmen Pancasila sebagai kiblat berbangsa, dan imajinasi keindonesiaan yang inklusif dalam alam pikiran kolektif warga negara.

Bagi Muhammadiyah, agenda terbesar republik ini yang sangat memerlukan energi kolektif bangsa adalah membumikan nilai-nilai Pancasila dalam praktek kehidupan bernegara. Menjadi bangsa beradab, berprikemanusiaan, dan berkeadilan tanpa diskriminasi.

Ini pekerjaan rumah yang belum bisa sepenuhnya terjawab setelah 74 tahun merdeka. Indonesia merdeka adalah ketika kemiskinan tidak lagi mendapat tempat, menyitir perkataan Bung Karno.

Mayoritarianisme Islam harus diterjemahkan ke dalam kesadaran bahwa umat Islam Indonesia memikul tanggungjawab paling besar untuk berkontribusi lebih dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan dan keadilan Pancasila.

Para pemimpin Muhammadiyah sudah sering menyampaikan kepada elit republik ini agar kesenjangan ekonomi segera dicarikan solusinya. Struktur ekonomi-politik yang eksploitatif wajib diluruskan.

Tidak bisa membumikan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi hanya dengan mengandalkan pendekatan temporal apalagi karikatif. Kita menentang cara-cara licik untuk mengksploitasi kesenjangan ekonomi demi mengobarkan sentimen politik kebencian terhadap pemerintah.

Namun, pemerintah juga mesti mengambil kebijakan di bidang ekonomi yang berkeadilan karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat dimana sebagian besar umat Islam berada di bawah garis kemiskinan.

Hanya dengan langkah ini upaya-upaya instrumentalisasi politik identitas atas nama ketidakadilan dapat dihalau. Wallahu’alam.

 

*) dimuat pertama kali di Republika, 26 Agustus 2019

Recommended Posts