Pro Kontra Sistem Proporsional Tertutup, PSI: Pilihan Rakyat Dikhianati, Partai Menentukan

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tegas menolak perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Demikian salah satu kesimpulan dalam diskusi publik “Pro Kontra Sistem Proporsional Tertutup” yang digelar DPP PSI.

“Untuk Pemilu 2024 mendatang, PSI menolak kalau kita kembali ke sistem proporsional tertutup. Namun sebagai diskursus publik, PSI senang karena ini muncul di saat banyak pemilih muda dan pemilih pemula yang membicarakan wacana ini di mana-mana, yang tadi abai jadi membicarakannya. Ini pendidikan politik yang bagus,” kata Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo, di Basecamp DPP PSI, Kamis 5 Januari 2023.

Satu dari sekian alasan penolakan PSI terhadap wacana itu, lanjut Bimmo, adalah sistem proporsional tertutup bisa menjauhkan rakyat dari individu yang mewakilinya, karena dalam sistem tersebut rakyat hanya memilih partai dan tidak memilih calon anggota legislatif yang diinginkan.

Dengan desain sistem proporsional tertutup, partailah yang berkuasa penuh untuk memilih dan menentukan kader-kadernya yang lolos ke DPR RI dan DPRD, bukan rakyat sebagai pemilih.

“Yang harus digarisbawahi dari sistem proporsional daftar tertutup itu lebih mengutamakan hegemoni partai, yang pada intinya menjauhkan rakyat dari individu yang mewakili rakyat,” tambahnya.

Karena itu, dalam waktu dekat PSI akan mengajukan diri sebagai Pihak Terkait dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya membatalkan wacana tersebut.

“Kami akan melakukan upaya hukum, ini ada Sis Francine dari LBH PSI, kita sebagai pihak terkait jadi kebawa-bawa. Ketika disengketakan ke MK, kita gak mau akhirnya Pemilu kita benar-benar menjadi sistem proporsional tertutup,” ucap master Ilmu Hukum dari Universitas Groningen, Belanda, ini.

Menguatkan pandangan Bimmo, anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menilai penerapan sistem Pemilu proporsional tertutup tidak cocok diterapkan untuk periode Pemilu 2024. Ada sejumlah pertimbangan, di antaranya adalah sistem hukum Pemilu yang ada sekarang tidak dirancang untuk sistem proporsional tertutup.

“Sistem hukum Pemilu kita tidak menopang untuk proporsional tertutup, hari ini. Kenapa? Satu, sistem proporsional tertutup mestinya kan memberi ruang daulat kepada anggota untuk ikut menentukan siapa di nomor urut 1, 2, dan seterusnya… karena ketika di surat suara mereka sudah tidak bisa apa-apa, hanya coblos tanda gambar partai, nyatanya itu tidak terjadi,” paparnya.

Hal lain, menurut Duta Demokrasi International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) 2017 itu, penegakan hukum untuk menindak praktik jual beli suara belum menjangkau konteks saat proses pencalonan dalam partai politik.

“Saat ini penegakan hukum yang ada adalah jual-beli suara saat proses, masa kampanye, pemungutan suara dan masa tenang, jadi adaptasi kerangka hukum kita tidak tersedia untuk sistem proporsional tertutup. Kalau dipaksakan, Pemilu 2024 bisa kacau-balau,” ujar Titi.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas, menyebut mayoritas publik masih menginginkan sistem proporsional terbuka, di mana mereka memilih langsung calon anggota legislatif.

“Pada opini publik, klir betul, di atas 70 persen menginginkan pemilihan anggota legislatif itu dipilih langsung oleh masyarakat, bukan oleh partai politik, kita survei di bulan Agustus 2022,” kata dia.

Selain itu, survei SMRC tersebut juga menemukan bahwa masyarakat merasa lebih terwakili oleh individu anggota DPR dan DPRD daripada partai politik.

Bicara soal sistem Pemilu, menurutnya tidak ada satu pun sistem yang paling baik dari satu yang lainnya. Proporsional terbuka atau tertutup memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.

“Kalau pemilihan tidak langsung (proporsional tertutup) biaya kampanye akan lebih efisien karena fokus pada partai-partai politik, lalu biaya Pemilu akan jauh lebih efisien juga. Tetapi parpol menjadi sumber masalahnya; kepercayaan publik kepada parpol belum tinggi, dan menurunkan minat masyarakat untuk terlibat dalam politik karena chance mereka untuk terpilih sangat kecil karena tergantung pada elite-elite parpol, susah terjadi kaderisasi secara dinamis,” terangnya.

“Dalam sistem terbuka saat ini, semua orang bisa kontestasi, maka itu lebih fair dari sisi pertarungan antar calon, tapi bagi parpol itu ruwet, susah mengontrol orang per orang di Parlemen misalnya, karena dia dinilai lebih representatif menurut konstituen ketimbang parpolnya,” pungkas peraih gelar Ph.D dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat.

 

Recommended Posts