Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest mengatakan pembelian Alutsista oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menuai polemik karena menghabiskan anggaran ratusan triliun di tengah perekonomian Indonesia yang masih terhimpit akibat pandemi Covid-19.
“Bukan soal kenapa harus beli pesawat tempur, poinnya adalah biayanya besar banget dengan momen yang tidak tepat seperti sekarang. Apa yang disoroti hari ini adalah apakah tepat pembelian jor-joran alutsista pada saat kondisi ekonomi kita belum dalam keadaan terbaik sebagai imbas dari pandemi,” kata Rian Ernest dalam diskusi online “Butuh Banget Belanja Pesawat Tempur Rp 315 Triliun?” yang digelar DPP PSI, Senin 14 Februari 2022.
Diberitakan sebelumnya, pada Kamis 10 Februari 2022 Menteri Pertahanan Prabowo Subianto resmi menandatangani kesepakatan pembelian 42 unit jet tempur Dassault Rafale dengan perusahaan penerbangan Perancis, Dassault Aviation yang nilainya mencapai 8,1 miliar dollar atau sekitar Rp 116 triliun.
Di hari yang sama, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) juga menyetujui rencana penjualan 36 jet tempur F-15 ke RI. Nilainya mencapai US$ 14 miliar atau sekitar Rp 200 triliun.
Selain itu, Rian juga menyoroti masalah transparansi anggaran. Menurutnya, rakyat sebagai pembayar pajak sama sekali tidak pernah diberi tahu tentang urgensi pembelian Alutsista tersebut. Sehingga terkesan hanya Prabowo dan Tuhan saja yang tahu alasannya.
“Yang tahu kenapa beli Alutsista senilai ratusan triliun ini hanya Pak Prabowo dan Tuhan saja. Kita ingin uang-uang pajak hasil keringat kita jelas kenapa dibelikan Dassault Rafale, kenapa begini, begitu,” ujar pria lulusan Lee Kuan Yew School of Public Policy itu.
Namun demikian, Rian menegaskan jika sikap kritis PSI ini bukan berarti menolak modernisasi Alutsista. Sebaliknya, PSI justru mendorong belanja Alutsista harus benar-benar berpijak pada skala prioritas, efisien dan terukur, serta tak menabrak aturan.
“PSI sebenarnya tidak pernah anti modernisasi alutsista, kita ingin kok negara kita makin hebat, makin menimbulkan efek gentar bagi negara-negara lain, hanya memang yang PSI pertanyakan momentumnya. Keinginan Pak Prabowo yang begitu besar takutnya menabrak beberapa peraturan,” imbuhnya.
Diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Francine Widjojo itu, turut menghadirkan analis pertahanan dan militer, Connie Rahakundini Bakrie, sebagai pembicara.
Dalam paparannya, Connie menduga keputusan Prabowo Subianto yang membeli jet tempur senilai Rp 315 triliun itu melangkahi hasil rapat terbatas dengan Presiden Jokowi pada Desember 2021 lalu.
Kala itu, sebut Connie, Presiden Jokowi menginstruksikan Prabowo Subianto untuk menyelesaikan target Minimum Essensial Force (MEF) sampai 2024 dengan anggaran Rp 60 triliun.
“Beliau hanya bilang selesaikan MEF (Minimum Essensial Force), dananya hanya Rp 60 triliun. Rp 60 triliun itu hanya selesai sampai 2024 dan harus dibagi ketiga angkatan (AD, AL dan AU) dan Mabes TNI. Makanya pertanyaan saya nyambung ke pertanyaan Pak Rian, baru bayar Dassault Rafale saja kita sudah kekurangan sekitar Rp 8,4 triliun,” terang Connie.
Kemudian Connie mengungkapkan, selain jet tempur, Menhan Prabowo Subianto juga telah memborong kapal perang Fregat dan kapal selam Scorpene dari UK, Italia dan Jepang.
Pembelian Alutsisa secara besar-besaran ini, lanjut Connie, jelas melampaui kemampuan APBN dan bakal menambah beban utang negara.
Senada dengan Rian, pada persoalan ini, suara-suara kritis harusnya disikapi dengan kepala dingin. Sebab, hal itu merupakan upaya menegakkan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan uang rakyat.
“Ketika rakyat bertanya, jangan dianggap rakyat tidak setuju atau tidak cinta NKRI, karena ada asumi kayak gitu lho Mbak, ketika kita nanya seolah-seolah gak cinta NKRI, gak mendukung, bukan. Maksud saya, seperti yang Rian sampaikan, kita ingin yakin bahwa transparansi, good governance dan akuntabilitas itu ada,” tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Curie Maharani Savitri turut memberi tanggapan. Meski lumrah terjadi perdebatan pada setiap pembelian Alutsista, ucap Curie, Kemhan harus memperbaiki pola komunikasi publiknya.
“Sampai kapan pun, setiap kita beli alutsista pasti akan ada perdebatan seperti ini, dan memang harus diperdebatkan. Dan dari Kemhan sebaiknya juga harus ada komunikasi publik yang lebih baik terutama soal persepsi ancaman,” pungkas Staf Pengajar Departemen HI Binus University itu.
Prabowo Subianto tak kali ini saja membuat kehebohan belanja Alutsista ratusan triliun. Pertengahan 2021 lalu, Prabowo disorot karena mengajukan draft beleid rencana pemenuhan kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) untuk rencana strategis tahun 2020-2044 sebesar Rp 1.785 triliun.