Opini Koran Solidaritas, Edisi IX – April 2016
Oleh: Rocky Gerung
Partai adalah pembuluh darah demokrasi. Ia mengalirkan nutrisi ke dalam tubuh politik. Karena itu, bila ia tersumbat, maka tubuh politik jatuh sakit.
Memang, politik tak terbagi habis dalam partai. Karena itu ada “calon independen”, ada “golput”. Tetapi itu hanya memperlihatkan ketakcukupan sistem politik dalam mewadahi aspirasi rakyat melalui partai. Bukan membatalkan perlunya partai sebagai peralatan demokrasi.
Namun secara hakiki, demokrasi tetap lebih primer ketimbang partai. Artinya, demokrasi tak boleh berakhir seandainya pun seluruh partai tak berfungsi. Demokrasi adalah “inner beauty” politik, sedangkan partai adalah kosmetik.
Kita kini ada dalam suasana “anti partai”. Yaitu ketakpercayaan publik terhadap partai. Orang melihat partai sebagai rampok, calo, bromocorah. Tentu karena ada yang tak bersih dalam praktik partai, yaitu korupsi, arogansi, inkonsistensi, dan seterusnya.
Tetapi sebetulnya, sinisme itu bukan tertuju pada partai sebagai institusi, melainkan pada sifat oligarki di dalam partai, maupun antar partai. Pada sifat itulah partai menelantarkan demokrasi. Tentu feodalisme dan politik dinasti juga tak disukai publik, kendati merupakan praktik kepartaian nyata di sini.
Feodalisme menutup kritisisme dalam partai karena pemimpin partai dipilih untuk dipuja, bukan dipilih karena ia visioner. Dalam partai yang dinastik, ketua partai adalah sekaligus pemilik partai. Sirkulasi politik dan kaderisasi dijalankan untuk mempersiapkan anggota dinasti. Praktek feodalisme dan dinastik itu membuat politik tak tiba di rakyat. Politik menjadi sangat eksklusif, dan rakyat sekedar dihitung sebagai pengikut.
Tetapi praktik kepartaian yang paling menjengkelkan adalah ketika suara rakyat dijadikan sekedar alat tukar tambah antar elite partai, untuk kepentingan materil jangka pendek. Itulah praktik oligarkis. Demokrasi menjamin partisipasi melalui partai. Tetapi partai hanya peduli pada transaksi oligarkis.
Akibatnya, tak terjadi sirkulasi elite. Kaderisasi tak ada gunanya bila potensi menjadi kader sudah dibatasi oleh “kurikulum oligarki”. Kecuali bagi para oportunis, ideologi partai tak ada artinya karena politik dijalankan sepenuh-penuhnya hanya untuk kepentingan transaksi. Pendalaman dan perspektif ideologi tak diperlukan.
Politik memerlukan kritik untuk menjaga netralitas ruang publik. Yaitu untuk menjamin agar demokrasi tak dimonopoli oleh satu golongan. Tetapi ideal ini tak mungkin terjadi bila ada oligarki. Oposisi tak bekerja pada situasi oligarki. Suara publik tidak diagregasikan sebagai kepentingan, tetapi dimanfaatkan oleh klik oligarki untuk transaksi pragmatik antar partai. Inilah yang Anda saksikan sebagai kedangkalan politik: dua partai yang berselisih secara ideologi dapat bersekutu untuk kepentingan tukar-tambah politik di daerah.
Tentu ada inkonsistensi ideologis dalam praktik tukar-tambah semacam itu. Dengan kata lain, kepentingan pragmatis materil telah membatalkan identitas ideologi partai. Kalau demikian, untuk apa sebuah partai bersikeras menganut ideologi pada saat kompetisi elektoral? Distingsi ideologi ia tawarkan di forum kampanye, tetapi oportunisme yang ia sajikan setelah berkuasa.
Oligarki menyebabkan hasil pemilu berjarak dengan kebijakan pasca pemilu. Artinya, suara rakyat pada saat pemilu, diterjemahkan hanya demi kepentingan strategis elite oligarki setelah pemilu. Jadi, keinginan rakyat tak tersambung dengan kebijakan partai. Itulah penghinaan terhadap rakyat.
Maka disitulah politik memburuk: saat pemilu, sang politisi mengemis suara rakyat. Saat berkuasa, ia tukar- tambahkan suara itu tanpa ijin rakyat. Sebelum pemilu ia adalah pengemis, setelah terpilih ia jadi calo.
Apa yang salah dalam kaderisasi politik kita? Pada pengertian yang paling dasar, kita telah salah menerjemahkan “political animal” sebagai “binatang politik”. Kita tak paham bahwa politik adalah ide tentang keadilan. Politisi tugasnya maha agung karena ia harus mendistribusikan keadillan. Jadi “political animal” itu bukan “binatang politik”, melainkan “binatang yang berpolitik”.
Artinya, manusia berada satu tingkat di atas binatang, karena ia menjalankan hal yang tak dapat dilakukan binatang, yaitu mendistribusikan keadilan. Jadi, berpolitik mengandaikan dua kualitas: diri yang merdeka, dan diri yang adil. Hanya pada nilai-nilai itu sebuah generasi dapat tiba di masa depan.
Karena itu, politik hari ini memerlukan kepemimpinan intelektual. Yaitu kapasitas untuk membaca masa depan dan mengkonsepsikannya sebagai jalan generasi.**