Penegakan hukum ternyata tumpul ketika terjadi di lingkungan penegak hukum itu sendiri. Meski salah satu alasan viralnya tagar #percumalaporpolisi adalah laporan dan aduan agar polisi yang melanggar hukum juga mendapat hukuman.
Terlebih ketika terpidana kasus penerimaan suap, anggota Polri Brotoseno, dapat bertugas kembali setelah menjalani masa hukumannya karena dianggap berkelakuan baik dan berprestasi, meski nyata-nyata telah merugikan negara dengan menerima suap dan merusak citra lembaga kepolisian sebagai penegak hukum yang seharusnya bebas korupsi.
“Tidak ada toleransi dalam bentuk apapun terhadap korupsi. Apalagi dengan alasan berkelakuan baik dan berprestasi. Penegak hukum seharusnya menghukum koruptor, tapi ini justru mempertahankan koruptor sebagai aparatnya,” kecam Rian Ernest, Direktur LBH Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Juru Bicara DPP PSI dalam keterangan tertulisnya 3 Juni 2022.
Brotoseno yang juga mantan penyidik KPK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dalam kasus korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat, yang dijatuhi pidana penjara 5 tahun berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta nomor 26/Pid.Sus-TPK/2017/PN Pn.Jkt.Pst tanggal 14 Juni 2017. Kemudian yang bersangkutan bebas bersyarat di tanggal 15 Februari 2020.
Dalam putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) nomor PUT/72/X/2020 tanggal 13 Oktober 2020 AKBP R. Brotoseno terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf (b) dan (c) serta Pasal 13 ayat (1) huruf (a) dan (e) Peraturan Kapolri Nomor 14 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia (Kode Etik Polri).
Pasal 13 ayat (1) huruf (a) Kode Etik Polri secara tegas menyatakan bahwa setiap anggota Polri dilarang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi.
“PSI berharap Polri bisa terus menjadi lembaga penegak hukum yang bebas korupsi, termasuk tegas meniadakan koruptor sebagai aparatnya,” imbuh Rian.