Partai Solidaritas Indonesia (PSI) akan terus mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah bertahun-tahun dibahas DPR. Hal tersebut disampaikan Plt. Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, saat menjadi keynote speaker diskusi online bertema “Kekerasan Berbasis Gender Terus Meningkat, Bagaimana Negara dan Masyarakat Berperan?” untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia.
“Urgensi pengesahan RUU PKS semakin besar saat kita membaca data Komnas Perempuan yang menyatakan kekerasan berbasis gender meningkat 63% selama pandemi COVID-19 dibandingkan sebelum pandemi,” ujar Dea, pada Senin 8 Maret 2021.
Selama ini, lanjut Dea, PSI telah melakukan aneka cara untuk mendorong DPR RI agar segera mengesahkan RUU P-KS. Misalnya, beberpa kali menggelar diskusi publik terkait RUU P-KS dengan sejumlah pemangku kepentingan, aktif bergabung dalam aksi protes turun ke jalan, menyatakan sikap lewat siaran pers, hingga melobi elite parpol yang ada di Senayan.
Dea mengingatkan untuk kali ini, DPR RI jangan menunda lagi pengesahan RUU P-KS yang sudah diusulkan sejak 2016, sebagai bukti kepedulian pada nasib perempuan.
Perdebatan panjang dan tarik ulur alot mewarnai perjalanan RUU P-KS. DPR RI kembali memasukkan RUU tersebut dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021, setelah sempat menariknya dari Prolegnas Prioritas pada 2020 lalu.
“PSI sangat berharap para anggota DPR bisa memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk segera mengesahkan RUU PKS. Mohon diingat kembali, RUU ini sudah resmi diusulkan sejak 2016. Silakan buktikan kepedulian pada nasib perempuan dengan segera menghasilkan UU yang berkualitas. Jangan ditunda lagi. Kita berlomba dengan waktu,” tandas doktor Ilmu Hukum tersebut.
Pada kesempatan yang sama, juru bicara Direktorat Perempuan dan Anak DPP PSI, Imelda Berwanty Purba, membagi pengalamannya sebagai penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Dia berujar, kekerasan dalam ranah apa pun pada perempuan harus dilawan, alih-alih memandangnya sebagai aib yang harus ditutupi.
“Buat saya, kejahatan atau perilaku salah itu tidak boleh didiamkan, karena semakin didiamkan dia akan terus merajalela dan akan memakan korban-korban lain. Waktu itu saya putuskan dare to speak up, berani melapor,” ucap Imelda.
Dari pengalamannya itu, Imelda berharap perempuan-perempuan lain untuk tidak takut lagi bersuara dan mengambil langkah hukum apabila menjadi korban kekerasan. Juga kepada masyarakat luas untuk lebih peduli pada nasib perempuan korban kekerasan, bukan justru menutup mata.
“Saya mendorong masyarakat untuk ‘dare and care’. Dare to speak, harus berani menyuarakan (kekerasan yang dialami) ini, dan jangan diam ketika mengetahui orang-orang terdekat kita, tetangga kita, saudara kita, jangan cuek, harus berani melaporkan. Care (peduli pada perempuan korban kekerasan lain) untuk menawarkan bantuan, setidaknya mendampingi atau menemani ke tempat-tempat yang harusnya kita tuju untuk penanganan lebih lanjut,” imbuhnya.
Diskusi yang dimoderatori Jubir PSI, Rian Ernest itu, turut menghadirkan Karen Pooroe. Penyanyi berdarah Maluku itu bercerita soal kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung konflik dengan mantan suaminya.
Karen menuturkan, selama berjuang mencari keadilan, dia berhadapan dengan proses birokrasi yang berbelit-belit, sekali pun itu ada di lingkungan institusi penegak hukum.
“Saya melaporkan pada 2019, 2021 baru disidangkan. Ini proses yang luar biasa melelahkan,” ungkap dia.
Tak selalu dalam lingkup keluarga, diskusi tentang kekerasan berbasis gender juga menjangkau sisi-sisi lain. Salah satunya di dunia kerja, yang bagi banyak perempuan dianggap tidak menjamin mereka terbebas dari praktik kekerasan dan diskriminasi. Kesimpulan itu diungkap oleh aktivis perempuan, sekaligus pakar hukum dan HAM, R. Valentina Sagala.
Untuk mengakomodasi masalah kekerasan berbasis gender yang makin kompleks, terutama di dunia kerja, menurut Valentina, pemerintah perlu meratifikasi ILO Convention 190 yang merupakan instrumen perjanjian internasional terbaru. Sehingga bisa diterjemahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
“ILO Convention 190 secara spesifik adalah konvensi tentang elimination on violence and harrasment di dunia kerja. Jadi ini baru banget, karena dia menempatkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan violence, apa yang disebut harrasment, karena kita sering blunder dengan dua kata itu. Dan dia menghilangkan istilah ‘at work place’ menjadi ‘in world of work’” ungkap Senior Independent Expert Legal itu.
“ILO Convention 190 belum diratifikasi pemerintah saat ini, dan kita sedang bekerja keras supaya ini segera diratifikasi dan dijadikan UU. Nanti kalau ILO Convention 190 ini dijadikan UU, akan menjadi instrumen terbaru yang paling komprehensif untuk sektor-sektor privat,” pungkasnya.