Juru Bicara DPP PSI, Nanang Priyo Utomo, meminta para santri lebih giat lagi menanamkan literasi agama dengan memanfaatkan media sosial. Pasalnya, di era digitalisasi informasi ini, orang-orang cenderung mempelajari agama secara tekstual dan mengabaikan konteks.
“Dengan munculnya era digitalisasi yang sangat memudahkan seseorang mengakses ilmu agama, membuat orang itu lebih mudah untuk mendapatkan ilmu agama secara tekstual sehingga terkadang konteksnya tidak dipahami, maka peran santri memperkuat literasi agama dengan budaya pesantren tadi,” kata Nanang, dalam diskusi online “Kiprah Santri di Era Digital”, pada Jumat 22 Oktober 2021.
Selain itu Nanang menyebut, digitalisasi informasi memang memudahkan orang belajar ilmu agama, tapi tidak lantas membuat orang tersebut menguasai literasi agama.
Oleh karenanya, lanjut Nanang, santri lulusan pesantren yang sudah tentu dibekali literasi agama yang kuat harus bisa mengambil peran untuk mengatasi tantangan tersebut.
“Hal ini patut dikhawatirkan karena dengan mudahnya mengakses ilmu (agama) itu, maka nilai literasinya menjadi lemah. Padahal dunia santri itu adalah dunia yang terkenal dengan kuatnya literasi,” imbuhnya.
Lemahnya literasi agama di kalangan pembelajar daring itu, tambah Nanang, terjadi karena ada dua prinsip dasar pembelajaran dalam Islam yang hilang. Pertama, tidak dibimbing oleh ustaz atau guru agama yang kompeten dan kapabel. Dan kedua, mereka yang belajar agama di media sosial cenderung berpuas diri dengan satu referensi tunggal yang mereka baca.
“Para santri belajar satu ilmu di pesantren itu bisa bertahun-tahun, sementara anak sekarang dengan berbagai kemudahan di era digital ini, dalam 3 atau 4 hari itu sudah merasa menguasai satu ilmu. Seminggu baca google sudah merasa pintar melebihi orang-orang yang mondok 5 atau 10 tahun,” lanjut kader Nahdlatul Ulama itu.
Diskusi yang digelar DPP PSI untuk memperingati Hari Santri itu, turut menghadirkan pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU) bidang Humas dan HI, Ifa Ashilatul Kharomiyah, sebagai pembicara.
Perempuan yang disapa Maya itu menuturkan, Hari Santri yang diperingati tiap tahun sejak 2015 merupakan bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi kaum santri dalam membangun negeri.
“Kita patut bersyukur bahwa negara sudah mengakui kontribusi santri untuk negeri,” ujar Maya.
Kontribusi kaum santri itu sendiri tak terlepas dari karakter pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren. Menurut Maya, para santri dituntut untuk tidak hanya mencari ilmu, melainkan juga mempraktikkan dan menyebarkan ilmu dalam bingkai akhlakul karimah.
Dia pun menambahkan, budaya pondok pesantren sekarang sudah banyak berubah, terutama dalam menempatkan posisi santri perempuan yang lebih setara dengan santri laki-laki.
“Kalau dulu, santri perempuan itu di belakang, dan dalam urusan pesantren sendiri biasanya tidak ikut campur. Tapi era sekarang sudah lebih terbuka untuk menerima perempuan dan kiprahnya,” ujar salah seorang perwakilan Indonesia di forum 2nd ASEAN-India Youth Summit 2019 itu.
Maya melanjutkan, kader-kader muda perempuan NU yang tergabung dalam PP IPPNU juga membuktikan diri mampu beradaptasi dengan perkembangan dunia digital, terutama untuk kepentingan dakwah.
Misalnya, PP IPPNU menginisiasi program Daiyah Fun Camp, yang tujuannya menyiarkan dakwah Islam dalam bentuk konten-konten yang menarik.
“Kita mengkarantina para daiyah yang terpilih untuk bisa menghadirkan konten yang menarik dan sesuai dengan perkembangan zaman dan syariat Islam,” ungkap Maya.
Hadir juga Kepala Divisi IV Persaudaraan Profesional Muslim (PPM) Aswaja, Abdul Rasyid, dalam diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Mary Silvita, itu.
Dalam paparannya, Abdul Rasyid mengungkapkan pengalaman uniknya ketika memperkenalkan sistem teknologi informasi (TI) kepada pengurus-pengurus pondok pesantren di bawah naungan NU.
Revolusi industri yang berlangsung sangat cepat, menurutnya, membuat sebagian besar Kiai dan pengurus pesantren NU kesulitan memahami pengoperasian teknologi siber dan teknologi otomatisasi seperti sekarang.
“Dulu banyak pengurus RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah) yang mengelola pondok pesantren se-Indonesia kaget karena perubahan era dari 2.0 langsung melompat ke 4.0, jadi sebagian dari mereka ada yang masih nge-blank,” ujar pria yang turut menjadi pendiri PPM Aswaja itu.
“Pernah memberi pelatihan di Jawa Timur, Kiai-kiai di pesantren Jawa Timur malah tidak konsen di pelatihannya, malah ngobrol sendiri-sendiri. Akhirnya, solusinya kita mencari orang-orang pesantren bukan Kiai, tapi dia menguasai bidang IT,” pungkasnya.