Oleh: Tsamara Amany
Sejak membaca buku Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia karya Dr. Neng Darra Affiah, saya melihat bahwa memang perempuan Indonesia selalu bergerak ke arah progresif.
Pada Kongres Perempuan tahun 1928, Nahdatoel Fataat, organisasi perempuan muslim memiliki tuntutan-tuntutan seperti perbaikan undang-undang perkawinan agar suami tak mudah berlaku sewenang-wenang, dan tetap membiayai anak setelah bercerai. Selain itu, mereka juga meminta perempuan dibolehkan naik sepeda, dan memiliki potongan rambut pendek.
Karena itu, Bung Karno menyambut baik Kongres Perempuan 1928 atau Kongres Kaum Ibu sebagaimana Bung Karno menuliskannya dalam Suluh Indonesia Muda. Dirinya menegaskan bagaimana Islam tak pernah merendahkan derajat perempuan. Bung Karno memberi contoh Sayyidah Fatimah, putri Rasulullah SAW, sebagai contoh perempuan yang diagungkan oleh Islam.
Ia juga menceritakan bagaimana Turki memiliki perempuan tangguh seperti Halide Edip Hanum. Jika membaca tulisan-tulisannya tentang Hanum, terlihat sekali kekaguman Bung Karno terhadap sosok perempuan ini.
Memang, Halide Edip Hanum atau Halide Edip Adivar melegenda karena perjuangannya dalam menjunjung hak-hak perempuan. Dirinya menulis banyak artikel pendidikan tentang dunia perempuan di media cetak, Tevfik Fikret, Tanin pada tahun 1908. Tulisan-tulisannya yang tajam untuk membela kaum perempuan membuat Kementerian Pendidikan Turki menggajinya untuk membangun sebuah sekolah perempuan di Konstantinopel.
Bung Karno selalu mengharapkan Indonesia memiliki tokoh-tokoh perempuan sekaliber Halide Edip Hanum.
Sebenarnya jika kita tarik kembali dan melihat pada tahun 1923, perdebatan antara tokoh perempuan muslim seperti Rahmah El Yunussiah dan Rasuna Said mengenai pandangan mendidik perempuan harus dilihat sebagai hal yang positif.
Tentu saja tidak semua organisasi perempuan ketika itu memiliki pemikiran sejalan dengan Nahdatoel Fataat. Tidak semua juga memiliki pandangan-pandangan layaknya Rahmah dan Rasuna. Tapi, setidaknya ini menunjukkan bahwa perempuan muslim Indonesia sejak pra kemerdekaan sudah berpikir mengenai bangsanya.
Bayangkan saja, organisasi perempuan muslim Indonesia sudah memiliki tuntutan-tuntutan progresif seperti yang dikemukakan Nahdatoel Fataat sejak tahun 1928, sementara itu perempuan Saudi Arabia baru bisa menonton sepak bola di stadion pada tahun 2018 ini. Harian Kompasmenyebutnya sebagai “Gol Bersejarah”.
Ini bukti nyata bahwa perempuan Indonesia sudah lebih maju dibanding perempuan Saudi Arabia. Di era Pangeran Muhammad bin Salman ini Saudi Arabia mungkin akan lebih terbuka bagi kaum perempuannya.
Sementara itu, di Indonesia upaya menciptakan kebijakan-kebijakan pro perempuan dari kalangan Islamis tak pernah berhenti.
Pada tahun 1997, Musyawarah Alim Ulama NU di Lombok melahirkan maklumat tentang diperbolehkannya perempuan menduduki jabatan-jabatan publik seperti walikota, gubernur, bahkan Presiden. Bahkan, GP Ansor, organisasi kepemudaan yang diisi oleh pemuda-pemuda NU pun kini tak hanya memiliki Banser. Mereka juga menciptakan Fatayat Banser (Fatser) bagi para perempuan.
Indonesia sudah melahirkan banyak pejuang perempuan hebat seperti Kartini, Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika, dan banyak lagi.
Memang betul apa yang dipikirkan Bung Karno. Indonesia bagaikan sayap burung. Dua sayap itu harus diisi oleh perempuan dan laki-laki. Bung Karno percaya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki yang memikirkan hak bersama sebagai bangsa akan mengantarkan Indonesia ke puncak yang tinggi. Namun, kini pertanyaannya adalah, apakah perempuan Indonesia di era milenial bisa menjadi bagian dari sayap burung yang ikut menerbangkan Indonesia sampai ke puncaknya?
Perempuan milenial Indonesia harus meneruskan harapan Bung Karno ini. Tentu saja cara meneruskannya harus sesuai dengan perkembangan zaman saat ini dan sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh milenial itu sendiri.
Hasanuddin Ali (2017) menyebutkan ada tiga karakter yang dimiliki milenial. Pertama, milenial adalah pribadi yang connected. Artinya, mereka adalah generasi yang melek teknologi dan media sosial.
Kedua, milenial memiliki gaya berpikir yang kreatif. Sebenarnya pola pikir kreatif milenial lebih mudah disalurkan karena hidup di era digital. Karena itu, Hasanuddin Ali mencontohkan tumbuhnya start up sebagai bukti kreativitas milenial.
Ketiga, milenial sebenarnya generasi yang percaya diri. Hal ini mudah terlihat dengan banyaknya milenial yang berani mengungkapkan pendapatnya di media sosial. Majalah Time pada tahun 2013 juga menganggap milenial sebagai generasi “narsis”.
Di era kekinian ini, sudah banyak perempuan milenial yang mendirikan start up business seperti Diajeng Lestari (32) yang mendirikan HIJUP, atau Catherine Hindra Sutjahjo (35) yang mendirikan Zalora.
Bisnis digital sudah terkena aura segar perempuan milenial. Saya meyakini bahwa perempuan-perempuan milenial yang bergerak di bidang start upmemang memiliki karateristik milenial. Diajeng Lestari jelas sosok yang paham betul bisnis berbasis digital (connected), ia juga sosok yang bisa melihat peluang dari penjualan fashion muslimah (creative), dan berani mengambil keputusan untuk mendirikan bisnis ini (confidence).
Fakta ini membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki perempuan milenial hebat. Sayangnya, kebanyakan dari mereka masih bergerak di bidang bisnis.
Padahal, hari ini, bukan hanya bisnis yang membutuhkan pikiran-pikiran progresif perempuan milenial. Politik juga membutuhkannya.
Tidak salah jika berharap pada perempuan milenial. Faktanya, di dunia, banyak perempuan yang menjadi aktivis politik atau terjun ke politik pada usia milenial.
Margaret Thatcher mencalonkan diri sebagai anggota parlemen Inggris untuk pertama kali pada usia 25 tahun. Marsinah menggalang demonstrasi buruh pada usia 24 tahun. Kartini pun mengupayakan emansipasi perempuan di usia milenial. Kartini tak bisa melanjutkan perjuangannya karena meninggal dunia pada usia 25 tahun.
Mengapa tidak para perempuan milenial hari ini mendekatkan dirinya pada politik?
Data-data menunjukkan keterwakilan perempuan dalam politik masih rendah. Meski ada affirmative action 30% untuk pencalonan anggota legislatif perempuan, nyatanya hanya 17% yang menduduki kursi parlemen periode 2014-2019.
Jangankan perempuan milenial, bukankah jarang sekali kita melihat perempuan menduduki jabatan-jabatan strategis partai politik?
Kita memerlukan perempuan-perempuan yang memiliki visi, misi, dan program untuk duduk di kursi parlemen. Bukan perempuan yang sekadar duduk di parlemen karena memiliki hubungan kerabat dengan elite-elite partai politik.
Belum lagi, baru-baru ini, UU Pemilu yang diketok berlaku diskriminatif bagi perempuan. Keterwakilan 30% perempuan dalam partai politik hanya berlaku di tingkat pusat, tidak sampai tingkat daerah.
Inilah momentum perempuan milenial untuk mengisi politik Indonesia. Politik negeri ini membutuhkan sentuhan milenial. Indonesia butuh politik yang berbasis teknologi, menggunakan cara-cara baru yang out of the box, dan tokoh-tokoh yang berani bicara lantang ketika melihat ketidakadilan. Ketiga hal ini ada pada karateristik milenial.
Di awal saya katakan bahwa perempuan Indonesia selalu bergerak ke arah progresif, mulai dari menuntut hidup lebih layak, mendirikan sekolah, dan membangun start up. Bisakah pada era saat ini, para perempuan milenial bergerak ke arah yang lebih progresif lagi, dengan terjun ke politik dan menduduki jabatan-jabatan strategis di Republik ini?
Keberanian yang akan menjawab.
Tsamara Amany mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI)