Mendobrak Tabu Politik Gender
Diskursus Koran Solidaritas, Edisi VIII Februari 2016
Persoalan Serius Perempuan Indonesia
Alih-alih memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, angka perolehan kursi kaum perempuan malah menurun. Peningkatan keikutsertaan perempuan dalam Pemilu dari angka 33,6 % pada tahun 2009 menjadi 37% pada tahun 2014, berbanding terbalik dengan perolehan kursi yang pada tahun 2009 sebanyak 18,2% menjadi 17,3% pada Pemilu 2014. Tuduhan serius jelas berbalik pada kaum perempuan, sudah diberi kesempatan tapi tidak digunakan sebaik-baiknya. Celakanya tidak sedikit kegagalan itu membuat perempuan berselisih paham diantara mereka. Sebagian menerima ini adalah kegagalan dalam mengisi ruang yang sudah disediakan oleh Konstitusi, ada yang menyalahkan soal kapasitas, ada juga yang tetap berkeras ini hanya soal waktu saja. Hanya sedikit yang menyediakan diri untuk secara mendalam melacak mengapa itu sampai terjadi.
Mari mulai dengan syarat minimal 30% jumlah perempuan dalam kepengurusan Partai Politik. Dalam berbagai survey, jarang sekali tulisan apalagi gerakan yang benar-benar melacak apakah proses verifikasi Kementerian Hukum dan HAM untuk Parpol baru dan verifikasi yang dilakukan oleh KPU terhadap semua calon Parpol peserta Pemilu benar-benar memastikan bahwa 30% perempuan di semua jenjang kepengurusan sesuai dengan fakta lapangan. Tentu secara administrasi terpenuhi, mungkin saja. Namun Politisi yang kita maksud disini bukanlah mereka yang dicomot KTP dan tandatangannya menjelang verifikasi KPU, tapi perempuan yang tau betul alasan mengapa dirinya berada dalam kepengurusan Parpol bersangkutan. Harus ada pertanyaan kualitatif tambahan selain “apakah benar ibu memiliki Kartu Tanda Anggota Partai?” atau “apakah sudah sesuai nama yang ada di KTP dan KTA anda dengan nama yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepengurusan Parpol?” Lalu semua urusan 30% keterwakilan perempuan di Partai Politik berhenti sampai disitu.
Rezim Laki-laki dalam Administrasi Partai Politik dan PEMILU
Lalu masa tenggat dari KPU tiba, Partai Politik yang sudah diumumkan bisa bertarung di Pemilu diberikan batas waktu untuk memasukkan nama-nama Calon Legislator di semua tingkatan, mulai Pusat hingga Kabupaten/Kota. Ada dua hal yang harus kita pahami bersama, pertama meloloskan sebuah Parpol menjadi peserta Pemilu adalah soal administrasi, sementara memenangkan pertarungan Pemilu adalah persoalan tingkat keterpilihan Caleg disetiap daerah pemilihan. Jadi tidak ada korelasi langsung antara keterlibatan perempuan di kepengurusan Parpol dengan nama-nama Caleg yang akan maju sebagai kontestan dalam Pemilu. Nama yang tercantum dalam kepengurusan tidak otomatis akan dicalonkan oleh Parpol pada saat Pemilu. Banyak perempuan yang selama ini diakomodir sebagai pengurus tapi tidak memiliki kesempatan untuk maju menjadi Caleg. Tidak lain karena tidak ada satu aturan yang mewajibkan Parpol untuk hanya mengambil perempuan dari kepengurusan Parpol. Akibatnya Parpol bisa saja mengambil ‘perempuan non-kader’ sebagai Caleg. Termasuk mengambil perempuan yang tidak punya pengalaman di bidang politik. Biasanya yang dipilih adalah mereka yang tidak berkeberatan ditempatkan di nomer urut caleg paling akhir.
Kedua, soal domestifikasi peran perempuan di partai politik. Disini letak sumbatan akses politik yang jarang dipersoalkan oleh kita semua. Dominasi laki-laki sebagai rezim administrasi Partai Politik masih berlangsung hingga saat ini. Banyak keputusan-keputusan penting partai tidak menyertakan kaum perempuan. Bisa kita lihat tontonan ketika MPR RI atau DPR RI akan mengambil sebuah keputusan penting. Rapat biasanya akan berlangsung sampai larut malam, bahkan pemungutan suara biasanya berlangsung menjelang Subuh. Perempuan dihadapkan pada persoalan menghadapi tuntutan ‘tidak pulang larut’ dari rumah, pada saat yang sama harus mengorbankan hak suaranya untuk memilih atau dipilih. Jika lebih dalam kita periksa, itu sebabnya jika ada organisasi yang sekretarisnya dijabat oleh laki-laki, maka parpol yang jadi juaranya.
Seluruh proses administrasi yang diakui sah dan resmi oleh KPU dan KPUD adalah surat yang dibubuhi tandatangan Ketua bersama dengan Sekertaris. Sehingga jabatan Sekertaris disini bukan peran administrasi semata, tapi ada peran yang sangat strategis dalam mengesahkan seluruh keputusan Parpol. Termasuk didalamnya pengesahan nama-nama Caleg berikut nomer urutnya. Dalam keseharian menjalankan organisasi kepartaian pun, perempuan jarang sekali menduduki posisi Bidang I yang biasanya adalah bidang yang mengurusi soal administrasi dan keanggotaaan yang merupakan mesin utama keabsahan organisasi. Disana SK Kepengurusan dibuat, dari sana sanksi hingga pemecatan dilakukan sebelum masuk ke Mahkamah Partai yang juga bisa dipastikan seluruh ketuanya adalah laki-laki.
Domestifikasi di Rumah Rakyat
Tidak cukup perempuan mendapatkan peran “dapur, sumur, Kasur” di rumah dan dalam lingkungan sosial. Benerapa orang perempuan yang dengan susah payah akhirnya bisa terpilih dan dilantik menjadi Wakil Rakyat pun masih menerima perlakuan diskriminatif melalui domestifikasi peran perempuan di Parlemen, yang notabene adalah rumah rakyat. Ketika aroma perseteruan antara kubu KIH dan KMP di sidang pertama MPR-RI, tidak satupun bicara tentang keterwakilan perempuan dalam susunan pimpinan DPR-RI. Suara 17% lebih perempuan Indonesia, suara Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tenggelam dalam riuhnya perseteruan dua kubu politik, yang hari ini juga sudah saling berjabat tangan satu sama lain.
Implikasinya mudah ditebak, meskipun ada keputusan MK yang mempertegas tentang keterwakilan perempuan di unsur pimpinan dan alat kelengkapan DPR, namun langkah Rieke Diah Pitaloka, Khofifah Indar Parawansyah, PERLUDEM dkk. yang mengajukan Judicial Review itu hanya dikabulkan sebagian. Domestifikasi dan Stereotyping kembali berulang, urusan ‘dapur-sumur-kasur’ dirumah asal, diterjemahkan menjadi pembatasan peran perempuan dalam pembagian Komisi DPR RI. Kebanyak aggota DPR Perempuan komisi yang membidangi urusan Perempuan dan Anak, Agama, Sosial, Tenaga Kerja, Pendidikan dan Pariwisata. Namun meskipun mengurusi bidang-bidang tersebut, tidak otomatis membuat mereka mampu menggerakkan kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan yang Pro Perempuan, rezim administratif itu sudah dipasangi gembok dari berbagai penjuru hingga sulit untuk diubah.
Fenomena ini makin diperparah dengan peran media massa (koran, televisi, majalah) yang juga tidak memberikan ruang yang banyak untuk perempuan. Perdebatan hangat dan strategis, kebanyak mengundang nara sumber laki-laki dan mempertegas diskriminasi gender di semua lini dan dari segala penjuru.
Mendobrak Tabu: Politik Generasi Milenial dan Perempuan PSI
Kita tinggalkan sejenak urusan afirmasi setengah hati itu. Sebuah fenomena baru sedang tumbuh, bonus demografi membawa sebuah kenyataan baru, fakta statistik yang menunjukkan bahwa pada tahun 2019, jumlah pemilih yang berada dalamm rentang usia 17-40 tahun berjumlah 62%. Dari jumlah itu, sekitar 58% diantaranya, hari ini berusia sekitar 15-29 tahun. Ini yang disebut generasi Y yang lahir tahun 80an dan yang terbaru adalah generasi yang lahir pada tahun 90an. Ada apa dengan generasi ini?
Karakterisitik generasi ini adalah “digital native” Bahasa, perilaku, gaya hidup adalah apa yang mereka temukan, diskusikan, baca dan praktikkan dalam berinterakis sesama generasi mereka. Mereka bahkan tidak perduli dengan tuduhan bahwa mereka adalah generasi “apatis dalam hal politik.” Bagi mereka Parpol sudah sangat tua, bahasa yang digunakan elit tidak dipahami oleh generasi mereka, Parpol bahkan lebih asing dari Bahasa asing yang mereka adopsi. Mereka adalah generasi digital yang ketika terbentur pertanyaan, secara cepat bisa menemukan jawabannya dari benda dalam genggaman tangan yang bernama Gadget.
Apakah mereka Asosial atau apolitis? Jangan salah, kesadaran mereka adalah kesadaran yang sangat humanis. Bisa terjadi hakim menjatuhkan hukuman kepada seseorang dari dalam ruang sidang pengadilan. Namun pada saat yang sama diakui sebagai pahlawan di media sosial. Yah mereka adalah generasi digital, multi talented, kreatif, mandiri, tidak suka dengan formalism, tapi juga punya solidaritas sosial meskipun dengan spektrum lebih luas dan mendunia. Jadi jangan bicara soal kesetaraan gender pada mereka, bisa jadi secara teoritik mereka baca dari sumber yang lebih valid dengan konteks yang lebih kontemporer.
Berbicara dengan generasi ini tidak mudah, sudah banyak guru-guru sekolah akhirnya mengambil jalan kekerasan karena tidak bisa beradu argumentasi dengan mereka. Siapkah kita jika tiba-tiba pertanyaannya adalah “jika UU Parpolnya, UU Pemilunya dan Praktik kekuasaannya sangat diskriminatif, kenapa tidak boikot Pemilu?” Ini tentu provokatif tapi tidak menutup kemungkinan keluar dari nalar rasional generasi milenial.
PSI Memutus Belenggu Politik Perempuan
Sebagai generasi yang rasional dan dibimbing oleh referensi luas dari dunia digital. Mereka bisa paham (contoh) bahwa banyak persoalan yang muncul akibat persoalan diskriminasi yang berlangsung sistemik dan terstruktur ini. Contoh paling nyata adalah persoalan prostitusi bukan? Prostitusi muncul karena akses ekonomi kebanyakan dikuasai oleh laki-laki, sehingga akumulasi kekayaan menjadi timpang, perempuan yang secara sosial sudah mengalami diskriminasi, secara politik dikerdilkan perannya melalui domestifikasi, juga mendapatkan nasib tidak adil di dunia kerja. Akibatnya ekonomi juga dikuasai laki-laki, uang terakumulasi menjadi ketimpangan gender dalam kesejahteraan. Perilaku konsumtif mungkin jika dipicu oleh kelonggaran finansial. Demikian juga dengan prostitusi, terjadilah transaksi dimana laki-laki menjadi konsumen, dan perempuan menjadi penyedia jasa. Karena di sektor barang dan produksi, peran perempuan selalu disubordinasikan dibawah laki-laki. Tentu hasilnya akan berbalik jika uang lebih banyak dikuasai kaum perempuan. Posisi konsumen akan berpindah ke tangan perempuan, dan laki-laki akan menjadi penyedia jasa.
Lalu perempuan dituding pembawa murka Tuhan dimuka bumi, sementara statistik terus mencatatkan laki-laki dalam daftar panjang pelaku korupsi dan kriminalitas di Indonesia. Dalam hal ini Gen Y dan Z akan bereaksi berbeda, bahkan bisa saja berseberangan dengan nalar elit bahkan Negara. Itu untuk menggambarkan bahwa berbicara dan memahami Bahasa dan nalar Gen Y dan Z membutuhkan kedekatan yang bukam hanya dalam arti ‘mengerti’ tapi juga secara usia merupakan bagian dari mereka. Jangan lupa, jumlah mereka pada PEMILU 2019 yang akan datang adalah 58% dari jumlah pemilih.
Waktu tinggal 3 tahun menuju PEMILU 2019. Perjuangan kaum perempuan dihadapkan pada dua pilihan: Meneruskan ambisi keterwakilan Perempuan melalui langkah seperangkat fasilitas bernama Afirmasi tersebut? Tentu dengan perbaikan-perbaikan yang masih mungkin dilakukan. Atau memusatkan tenaga dan pikirannya untuk ikut melahirkan kekuatan baru yang menetukan, kekuatan generasi Millenial Indonesia. Caranya adalah dengan berbicara dengan Bahasa yang mereka mengerti.
Ini yang kemudian paling penting di apresiasi dengan keberanian Grace Natalie, Isyana Bagoes Oka, Novarini, Suci Mayang dan Danik Eka dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Muncul dengan brand ‘muda’ PSI sudah menarik garis pemisah generasi yang tegas dengan membatasi usia kepengurusan partainya hanya boleh bagi mereka yang berusia tidak lebih dari 45 tahun. Tidak hanya itu, kuota minimal mereka untuk perempuan adalah 40% minimal. Yang paling penting adalah dalam pembentukan kepengurusan provinsi, salah satu diantara jabatan Ketua dan Sekretaris wajib diisi oleh perempuan. PSI berpendapat tidak mungkin memenuhi keterwakilan 30% perempuan tanpa memberi posisi dan peran yang penting kepada perempuan di parpol.
PSI kini memusatkan kampanyenya pada digital media, Bahasa yang sama dengan yang digunakan 58% generasi millennial yang akan menjadi penentu siapapun yang mereka kehendaki untuk menang pada Pemiliu 2019 mendatang. Sebagai parpol baru PSI tentu tidak sesumbar, namun dari konsistensi mendisiplinkan diri, rasanya PSI bisa dilihat sebagai sebuah gerakan serius untuk mengakhiri diskriminasi kaum perempuan Indonesia.
Tuntut 30% Kursi Parlemen untuk Perempuan
Tidak banyak waktu tersisa untuk perempuan mempersiapkan arah gerakan politiknya. Menebak arah partai politik yang semakin kering dari isu-isu kesetaraan gender, dengan melihat hasil perolehanm kursi perempuan dari Pemilu ke Pemilu, tampaknya kaum perempuan memang harus khawatir. Konteks lokal tidak kalah parahnya, Peraturan Daerah yang makin menegaskan diskriminasi yang tadinya bersifat sosial dan budaya, kini dilegalkan melalui hukum dan juga ekomi. Ini jika tidak dianggap bahaya, maka tentu harapan masih kita titipkan pada Gen Y dan Z, generasi baru Indonesia, generasi mayoritas dalam Pemilu 2019, kepadamulah nasib perempuan Indonesia kita titipkan.
Dari kantor DPP – PSI sebuah suara yang lebih keras terdengar, tentu tidak lama lagi Undang-undang Partai Politik dan Pemilu sebentar lagi akan dibahas di DPR. Sebagai partai baru harusnya cukup aman jika bersikap biasa-biasa saja. Karena banyak diam, artinya tidak merecoki partai-partai senior yang ada di Senayan. Namun bukannya memilih diam, PSI tidak kalah garangnya dalam menolak Revisi UU KPK, juga dalam beberapa insiden intoleransi mereka tampil ke depan. Kutipan pidato politik pertama Grace Natalie, Sang Ketua Umum jelas sekali
“Saya gunakan kesempatan baik ini, untuk mengajak seluruh anak muda Indonesia, generasi Y, generasi Z, generasi yang selama ini diabaikan, kepada kalian PSI berbicara malam ini. Bersama seluruh kekuatan perempuan Indonesia, PSI menunggu solidaritas kalian, kaum muda dan perempuan, solidaritas untuk mempersiapkan sebuah kelahiran baru. Kelahiran Indonesia yang lebih baik” (Grace Natalie, 14 November 2015)
Dalam persoalan perempuan ini, PSI mengambil pilihan cukup berani dengan menyatakan dengan tegas, bahwa “Afirmasi akan terasa adil jika bukan hanya bicara soal keterwakilan perempuan, tapi perempuan harus diberi waktu dan peran yang sentral, jangan pertarungkan perempuan dan laki-laki di gelanggan yang sama, UU Pemilu dan kemudian MD3 yang akan datang wajib menyebutkan bahwa 30% kursin parlemen di semua tingkatan diperuntukkan untuk Perempuan” demikian kata Isyana Bagoes Oka salah seorang Ketua DPP PSI.
Novarini menambahkan bahwa “PSI mengajak seluruh kaum perempuan, tidak perlu masuk PSI jika belum percaya pada kami, tapi setidaknya untuk menuntut kuota 30% kursi itu adalah tuntutan bersama kaum perempuan.” Rasanya PSI memang tidak main-main, dalam menutup pidationya, Grace dengan lantang menyatakan “Download terus DNA kebajikan dan keragaman, Upload terus virus Solidaritas Indonesia ke seluruh penjuru negeri. Mari bersama kita tebarkan benih kebajikan, semai terus bunga-bunga keragaman. Karena sesungguhnya, kami bukan siapa-siapa, tanpa kamu semua.”
PSI telah mengarahkan tuntutan politiknya untuk menjawab lemahnya Afirmasi 30% dari sisi kebijakan dan praktiknya. PSI bicara dengan Bahasa Gen Y dan Z, rasional dan praktis, jika tidak bisa pakai yang lama – kita buat saja yang baru, jika ruang politiknya tidak ada – kita bangun ruang politik kita sendiri.
Selamat Hari Perempuan Internasional
Merdekalah Perempuan Indonesia!