Perayaan Imlek resminya baru diadakan terbuka pada tahun 2000. Itu berkat keberanian Presiden kita waktu itu; seorang kiai yang berbudaya, demokratis, dan identik dengan humornya: K.H. Abdurrahman Wahid. Beliau, Bapak Bangsa kita itu, meneken Keppres no. 6/2000 yang mencabut peraturan yang diteken Soeharto, yang melarang perayaan Imlek secara terbuka. Pada perayaan Imlek tahun 2000 itu, sejak Indonesia merdeka, seorang Presiden hadir dalam perayaan Imlek yang diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Sebab itulah, seorang ulama yang akrab dengan sapaan Gus Dur itu, menjadi simbol toleransi di negeri ini.
Keberanian cucu pendiri NU itu juga, kiranya yang menjadi inspirasi lahirnya Partai Solidaritas Indonesia. Di tahun kami PSI berdiri, intoleransi yang dulu samar-samar terjadi di balik layar, merebak muncul ke permukaan. Ironisnya, hingga hari ini, wajah intoleransi terus menjelma menjadi sebuah unggahan viral di media sosial, dan berujung pada klarifikasi. Intoleransi adalah bahaya laten bagi kaum minoritas dan mereka yang terpinggirkan akibat stigma (baca: tuduhan sepihak terkait latar belakangnya).
Bagaimana Kita Mencari Solusi
Sebagai agen perbaikan dengan semangat kontra narasi intoleransi, kami PSI, membutuhkan solidaritas bersama menegakkan spirit Pancasila dan Bhinneka atas rongrongan “mereka” yang terus mencoba mengusik. Kita dapat memulainya dengan tidak lagi menjadi pihak yang diam, yang mengamini pepatah klasik: “yang waras ngalah”. Jika hal-hal berbau intoleransi atas minoritas dan mereka yang terstigma terjadi di sekitar, kita mesti berani menegur dan atau menindaknya. Apalagi dalam situasi bersama, satu saja diam dan takut, maka semua ikut diam. Sebaliknya, satu berani berdiri menghadapi, yang lain akan tergugah pula. Itulah solidaritas yang kami cita-citakan dan terus tegakkan.
Di balik kontra narasi intoleransi, hal yang terpenting dan teramat fundamental ialah membentuk pola pikir secara bersama, yakni dengan medium pendidikan. Kami PSI, selain menyaring kader yang memiliki spirit anti korupsi, juga terus melatih keberanian menghadapi intoleransi. Kedua hal fundamen ini juga bahkan saya terapkan di dalam keluarga, sejak jauh-jauh hari sebelum aktif di PSI, berkat didikan Ibu saya tercinta, dan juga teramat terasa oleh ayah saya yang wartawan, yang selalu mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Membangun jejaring kontra narasi, membentuk lingkup pendidikan anti intoleransi, adalah dua penyokong sikap kita menghargai minoritas dan mereka yang terpinggirkan akibat stigma. Saya yakin, kelak beberapa fundamen tersebut dapat menjadi solusi bagi kehidupan toleransi dan perdamaian kita di negeri ini.
Bagaimana Kita Bersikap
Setelah terbentuk kesadaran yang baik, hal terpenting lainnya dari insan yang selalu mengalami perbaikan di dalam dirinya, adalah aktif-proaktif; melatih diri bersama-sama secara bertahap dan berkelanjutan. Bagaimana sebuah lingkup yang telah mengalami progresivitas pemikiran akan perdamaian dan toleransi tersebut, menjadi lebih aktif dan peka, tak hanya keluar pihak yang lain, tapi juga di antara kita. Terus mencoba budaya tanding yang sehat. Terus bertukar pemikiran dan humor-humor yang segar. Dengan begitu, niscaya keseimbangan akan terbangun secara dinamis di dalam menghadapi segala tantangan intoleransi.
Namun, kebalikan dari poin barusan, titik puncak intoleransi dan stigma adalah persekusi. Bagaimana suatu lingkup atau kerumunan massa, dihinggapi provokasi oleh individu intoleran dan gemar memberi stigma bagi mereka yang dianggap “lain”. Bahaya laten persekusi bahkan bisa saja berujung menjadi sebuah kejahatan kemanusiaan besar dan teramat destruktif. Sejarah pernah mencatatnya dalam tiap-tiap dekade di berbagai negara dunia.
Setelah kesadaran, keberanian, dan kewaspadaan kita terbentuk dan terlatih dalam dalam menghadapi pihak “mereka” yang mengancam dengan buah pikir intoleran. Hal terpenting yang mesti selalu kita waspadai justru dengan bermawas diri. Janganlah terus kita berkubang dalam lumpur perlawanan dan mengabaikan pentingnya ruang islah, sebagai wujud perdamaian yang riil.
Mencegah, menghadapi dan merangkul adalah tiga tekad penting kita dalam bersolidaritas menghadapi intoleransi dan stigma.
Perayaan Imlek dan figur Gus Dur telah menjadi simbol hari ini. Siapkah kita menjadi simbol berikutnya?