Pengamat politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan berpendapat revisi UU MPR, DPR, DPD & DPRD (UU MD3) pantas untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Memang pasal 122 huruf k UU MD3 itu harus digugat,” kata Djayadi ketika dikonfirmasi, Sabtu (24/2/2018).
Djayadi menanggapi langkah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengajukan uji materi (judicial review), kemarin.
Dia menjelaskan pasal 122 huruf k UU MD3 mengatur mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Aturan itu anti demokrasi karena akan membuat DPR atau anggota DPR dapat memperkarakan atau menghukum rakyat yang bersuara keras dan kritis kepada DPR.
“Makna merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR di situ juga bisa sangat subyektif, sehingga bisa menjadi pasal karet tergantung keinginan anggota DPR,” ujarnya.
Menurutnya, aturan itu juga akan mencegah atau membuat surut rakyat yang kritis kepada DPR, membuat masyarakat takut karena khawatir nanti dihukum kalau melakukan kritik atau bersuara keras.
Selain itu, lanjut dia, aturan itu memperlakukan rakyat sebagai musuh DPR.
“Aturan itu juga tumpang tindih dengan aturan pidana soal pencemaran nama baik. Selain itu, fungsi MKD DPR seharusnya mengurusi etika anggota DPR, bukan mengurusi etika masyarakat seperti yang diatur dalam pasal 122 huruf k tersebut,” kata Djayadi.
Sebagaimana diberitakan, Jumat (23/2/2018) kemarin, PSI mengajukan judicial review UU MD3 ke MK.
Gugatan itu diajukan PSI setelah mengetahui hasil polling di akun media sosial PSI yang menyatakan 91 persen responden mendukung pengajuan gugatan tersebut.
“Karena desakan publik yang tercermin dari hasil polling, PSI mewakili kepentingan anggota dan publik akan ke MK,” ujar Ketua Umum PSI, Grace Natalie.
Bagi PSI, sejumlah pasal kontroversial dalam Revisi UU MD3 yang disahkan DPR dan Pemerintah akan menjadikan DPR sebagai lembaga yang adikuasa, anti-kritik, dan kebal hukum.
Beberapa pasal kontroversial tersebut adalah Pasal 73, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota dewan, serta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut.
Pasal 122 huruf k, mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. [rok]