Pemerkosaan Anak di Brebes Berakhir pada Mediasi, PSI: Laporan Polisi Harus Tetap Diproses Tuntas

Anak perempuan usia 15 tahun menjadi korban pemerkosaan bergilir oleh 6 orang di Brebes pada akhir Desember 2022. Keluarga korban tak langsung melaporkannya ke kepolisian karena dimediasi dan didamaikan LSM dengan disaksikan kepala desa setempat.

“Esensi keadilan restoratif adalah menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula melalui penyelesaian perkara tindak pidana secara adil. Kepentingan korban dan kepentingan hukum harus tetap diutamakan, apalagi korbannya masih usia anak. Ini bukan delik aduan dan harus ada efek jera atas tindakan biadab para pelaku,” tegas Francine Widjojo, Direktur LBH Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam keterangannya pada wartawan 17 Januari 2023.

Persetubuhan terhadap anak tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali jika pelakunya masih berstatus anak dengan mengacu pada peraturan yang berlaku. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 23 jo. Pasal 4 ayat (2) huruf (c) UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Selain itu, restorative justice atau keadilan restoratif di mana suatu perkara dapat ditutup jika telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan, bisa diterapkan antara lain pada tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Hal ini mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

Para pelaku pemerkosaan terhadap anak tersebut dapat dijerat pasal berlapis atas dugaan tindak pidana berikut:

Pertama, Pasal 76D jo. Pasal 81 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak karena dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda maksimal Rp 5 miliar.

Kedua, Pasal 6 huruf (c) UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengatur bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.

Kemudian Pasal 15 ayat (1) huruf (f), (g), dan (j) UU TPKS bahwa ancaman pidana ditambah 1/3 jika dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu, dilakukan terhadap anak, dan/atau dilakukan terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Ketiga, Pasal 76J ayat (2) jo. Pasal 89 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang melarang setiap orang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya, diancam pidana penjara 2 sampai 10 tahun dan dendan Rp 20 juta sampai Rp 200 juta.

“Pemulihan terhadap korban atas traumanya agar berjalan dan diutamakan. Selain sanksi pidana penjara dan denda, para pelaku juga wajib memberikan restitusi,” tutur Francine.

LBH PSI pada Juli 2022 mendampingi anak korban pencabulan berulang kali di Depok yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri dan divonis 20 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan restitusi hampir Rp 80 juta.

 

Recommended Posts