Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dokter Christian Widodo, yakin pemerintah akan berhati-hati saat kelak memutuskan vaksin Covid-19 digunakan di Indonesia. Jika resmi didistribusikan ke masyarakat, berarti vaksin tersebut sudah melalui serangkaian uji klinis yang ketat.
“Berbagai tahapan sudah dilewati, mulai dari tahap eksplorasi, tahap praklinis, uji klinis, persetujuan badan pengatur (lisensi), manufaktur (produksi) dan kontrol kualitas. Pemerintah pasti telah mencermati hal-hal tersebut,” kata Anggota DPRD Provinsi NTT itu, dalam keterangan tertulis, Rabu 28 Oktober 2020.
Christian menambahkan, “Semua fase ini tentu juga sudah melewati tahapan di laboratorium, hewan dan sampai pada manusia di tahap uji klinis. Terhadap reaksi simpang (atau bahasa awam efek samping) yang langsung diakibatkan oleh komponen-komponen dalam vaksin sudah dilakukan telaah secara tuntas pada fase uji klinis atau biasa disebut pra-lisensi yaitu fase sebelum mendapat persetujuan badan pengatur (fase Lisensi).”
Lebih jauh, legislator ini menerangkan, tahapan paling krusial dari sebuah proses pembuatan vaksin ada pada tahap uji klinis atau pra-lisensi. Menurutnya, tahapan itu menguji efek samping vaksin terhadap kesehatan penerima. Jika lolos, baru mendapat persetujuan untuk diproduksi massal dan diedarkan.
“Fase uji klinis (pra-lisensi) ini terdiri dari 3 fase yang saya rangkum secara sederhana, yaitu pada fase 1 sekelompok kecil orang akan menerima vaksin, biasanya berkisar 20-100 sukarelawan sehat. Vaksin yang lolos fase ini bisa dibilang aman, namun harus diteliti lebih lanjut,” imbuhnya.
Christian menambahkan, pada fase 2, studi klinis diperluas, vaksin diberikan pada orang dengan karakteristik tertentu dengan mempertimbangkan rentang usia, jenis kelamin, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk memantau keamanan vaksin, potensi munculnya reaksi simpang, respons imun tiap orang (imunogenisitas), dosis optimal dan jadwal pemberian vaksin. Jumlah orang yang berpartisipasi biasanya ratusan.
Lebih jauh, pada fase 3 tahap uji klinis, vaksin diberikan kepada ribuan orang dan melibatkan populasi yang lebih beragam. Tujuannya untuk menilai efikasi dan pengamatan lebih jauh terhadap keamanannya. Efikasi adalah kemampuan vaksin untuk memberi manfaat bagi individu yang diimunisasi.
Dia memaparkan, “Manfaat yang dimaksud adalah manfaat fisik yang sehat, jiwa yang sehat, dan manfaat terhadap kesejahteraan sosio-ekonomi dibandingkan dengan risiko kemungkinan terjadinya KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi).”
Dari serangkaian uji klinis ketat yang mesti dilewati di atas, Christian yakin vaksin Covid-19 yang ditentukan pemerintah dan IDI nanti benar-benar aman disuntikkan ke masyarakat. Namun, ia meminta masyarakat bersabar dan tidak menebar pesimisme.
“Kita semua boleh yakin bahwa ketika pemerintah dan IDI memperbolehkan vaksin Covid-19 digunakan maka bisa dipastikan bahwa vaksin tersebut aman. Yang harus kita lakukan sebagai masyarakat adalah sabar menunggu proses yang sedang berlangsung ini. Masyarakat harus bisa menahan diri dan menahan jempol untuk tidak menyebarkan berita-berita yang dapat menimbulkan keresahan dan memadamkan semangat untuk hidup normal kembali seperti dulu kala. Kita harus terbiasa membaca sebuah berita secara komprehensif,” kata Ketua DPW PSI NTT itu.
Ia mencontohkan, pengaruh persebaran berita di media sosial, turut mempengaruhi opini masyarakat. “Beberapa hari yang lalu, saya membaca berita di sebuah media masa dengan judul ‘Korea Selatan kelabakan lihat warganya meninggal satu per satu setelah disuntik vaksin’. Berita ini dikaitkan dengan rencana pemberian vaksin Covid-19, padahal jelas berbeda. Yang dilakukan pemerintah Korea Selatan pada saat itu melakukan berbagai cara untuk meningkatkan daya tahan tubuh warganya, salah satunya dengan memberikan vaksin flu kepada 19 juta orang,” kata Christian.
Lebih jauh, ia menilai pemberitaan itu menyesatkan karena faktanya vaksin flu tidak bisa digunakan untuk menyembuhkan Covid-19.
“Perlu dicatat vaksin flu bukan vaksin Covid-19 dan itu dalam rangka meningkatkan daya tahan tubuh, bukan dalam rangka menghilangkan Covid-19 dari Negeri Ginseng. Belum lagi kita tidak memperoleh data pasti apa penyebab kematian orang yang divaksin flu tersebut. Bisa saja orang tersebut meninggal karena serangan jantung, stroke dan sebagainya. Kita juga tidak mengetahui umur orang yang meninggal tersebut, berapa jumlah pasti orang yang meninggal atau penyakit penyerta lain (komorbiditas) seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus, dan sebagainya yang dimiliki orang tersebut,” ucap dia lagi.
Pada awal masa pandemi, pemerintah Indonesia sudah menetapkan Covid-19 sebagai bencana non-alam. Tidak ada negara yang menyiapkan diri secara baik menghadapi bencana pandemi ini. Ini terbukti dari sampai hari ini banyak negara besar yang masih berjibaku mencari formula penanganan yang tepat.
Karena itu, Christian meminta semua pihak tidak saling menyalahkan dalam penanganan pandemi Covid-19.
“Ini bukan saat yang tepat untuk menyebarkan pesimisme terhadap vaksin, menyalahkan satu sama lain, seperti pemerintah menyalahkan masyarakat karena tidak taat pada protokol kesehatan, masyarakat menyalahkan pemerintah karena ekonomi keluarga yang semakin sulit, masyarakat menyalahkan medis karena tidak mendapat pelayanan (yang kita semua tahu bahwa mereka sangat kelelahan dan kewalahan),” tuturnya.
Terakhir, daripada saling menyalahkan, Christian mengajak masing-masing pihak mengambil bagian dan memaksimalkan peran dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
“Ini adalah saatnya kita bahu-membahu bekerja sama mengatasi pandemi ini. Semua pihak menjalankan peran masing-masing sebaik-baiknya. Biarkan pemerintah dan IDI bersinergi untuk mendapatkan hasil maksimal, masyarakat sabar menunggu vaksin sambil tetap taat pada protokol kesehatan, biarkan tenaga medis bekerja semaksimal mungkin dan para ilmuwan memutar otak melanjutkan tahapan uji klinis ini sampai vaksin bisa diproduksi dengan aman,” pungkasnya.