Partai-partai yang Melukai Kepercayaan Publik

APAKAH ada hubungannya antara mark up dana reses anggota Dewan dengan poligami?

Bisa jadi ada hubungannya jika ada anggota dewan yang rajin mengumpulkan sisa dana reses apalagi menaikkan dana reses untuk digunakan sebagai biaya menikah lagi.

Tetapi bisa juga tidak ada kaitannya karena dua fenomena ini terjadi di dua partai politik yang berbeda. Dari dua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan di belantara politik tanah air, publik disajikan sebuah hikmat kebijaksanaan dalam pengelolaan manajemen kepartaian.

Setiap arah kebijakan partai pasti mengundang sikap pro dan kontra. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meluncurkan program solidaritas tiga pihak bagi para kader yang mampu secara moril dan material memuliakan anak yatim dan menikahi para janda.

Aturan poligami ini tercantum dalam program UPA poin 8 yakni meminta kadernya untuk memprioritaskan janda jika ingin melakukan poligami (Kompas.com, 30/09/2021).

Sasaran anjuran untuk berpoligami ditujukan kader laki-laki yang mampu dan siap beristri lebih dari satu serta mengutamakan pilihan kepada janda (aromil) atau awanis.

Ketua Dewan Syariah Pusat PKS Surahman Hidayat menjelaskan, poligami dalam ajaran Islam diperbolehkan asalkan laki-lakinya mampu dan layak.

Anjuran untuk berpoligami ini ditujukan untuk membantu fakir miskin dan anak yatim. Tidak ketinggalan pengurus PKS perempuan ikut mengkaji program poligami ini. Tidak ada protes dari kader-kader perempuan PKS.

Bahkan PKS membuat aturan atau etika dalam program UPA yang memperbolehkan poligami tersebut. Tidak ketinggalan, PKS telah membentuk Komisi Bina Keluarga Sakinah yang mayoritas pengurusnya adalah perempuan.

Usai program PKS ini diketahui publik, pergunjingan pun terjadi. Tagar selamatkan janda atau #SaveJanda menjadi ciutan yang ramai dibicarakan netizen di media sosial.

Upaya menolong kehidupan seorang janda tidak harus dengan cara menikahinya dengan menjadikannya sebagai istri kedua, ketiga atau keempat.

Lebih bermartabat, jika ingin menolong kehidupan seorang janda adalah dengan memberi beasiswa pendidikan untuk anak-anak dari janda tersebut (Viva.co.id, 1 Oktober 2021).

Sejak saat itu, “kegenitan” PKS menjadi bulan-bulanan publik. Imbauan PKS yang menyatakan kader pria boleh berpoligami utamanya dengan janda dinilai hanya akan memperburuk stigma janda.

Pendiri komunitas #SaveJanda Mutiara Proehoeman menilai program tersebut justru sangat merendahkan perempuan yang berstatus janda. Komunitas #SaveJanda beranggapan seharusnya PKS sebagai partai politik lebih peka terhadap beban berlapis yang dialami perempuan berstatus janda di Indonesia akibat stigma negatif terhadap mereka (Cnnindonesia.com, 30/09/2021).

PKS cabut anjuran poligami

Respona pengurus PKS tergolong cepat usai terjadinya gelombang kecaman dari publik terutama keriuhan di media sosial.

Selang sehari usai diumumkan, Ketua Dewan Syariah Pusat PKS Surahman Hidayat mencabut Tazkirah Nomor 12 tentang Solidaritas Terdampak Pandemi yang salah satu poinnya anjuran berpoligami.

Seperti tidak ingin “kehilangan” muka, Surahman menyebut alasan pencabutan anjuran poligami karena masukan dari pengurus, anggota, dan masyarakat.

Tidak lupa PKS juga meminta maaf karena telah membuat kegaduhan publik dan melukai hati sebagian hati masyarakat Indonesia (Pks.id, 30 September 2021).

Seperti ingin meluruskan pernyataan sebelumnya yang sempat membuat kontroversi, Surahman juga mengatakan bahwa PKS ingin fokus meringankan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi dengan membagikan 1,7 juta paket sembako bagi masyarakat yang kesulitan ekonomi.

Komisi Nasional (Komnas) Antikekerasan terhadap Perempuan pun meminta PKS berbenah diri meskipun telah mencabut anjuran poligami.

PKS tidak cukup mencabut aturan tanpa melakukan langkah perbaikan dan mengedepankan perspektif keadilan gender.

Komnas Perempuan juga meragukan alasan awal anjuran berpoligami telah mendapat kajian dari pengurus perempuan PKS.

Jangan-jangan klaim tersebut hanyalah justifikasi dari keinginan kader laki-laki yang ingin berpoligami (Cnnindonesia.com, 1/10/2021).

Jelang pemilihan umum serentak di 2024 mendatang, pengelolaan manajemen kepartaian tanpa mengedepankan azas kepatutan dan keadilan dengan segala perspektifnya sama saja dengan membawa partai ke dalam krisis kepercayaan.

Pemilu mendatang sangat jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Orientasi pemilih di pemilu mendatang lebih cenderung dinamis dengan mengedepankan sensitivitas keadilan dan logikan berpikir yang bisa diterima dengan nalar.

Bonus demografi di 2024 tidak saja melahirkan pemilih yang kritis tetapi juga “nyinyir” dengan isu-isu menyangkut keadilan, gender, lingkungan, sosial dan lain-lain.

Salah membawa kebijakan partai maka sama saja menempatkan partai dalam lingkup dan segmentasi yang sempit.

Kebijakan PKS ibarat salah launching produk fashion. PKS me-launching old fashion sementara yang sedang ngetren adalah casual dan sporty fashion. Akibatnya, produk busana tidak laku dan dijauhi calon pembeli.

Kali ini saya meminjam istilah putri saya yang tengah menekuni kuliah fashion bussiness di Australia.

Partai butuh ketegasan

Di saat masyarakat jengah dengan “kelakuan” partai-partai yang ada, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menunjukkan ketegasan yang selama ini absen dalam manajemen kepartaian.

PSI dengan berani memecat kadernya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Viani Limardi.

Alasannya, Viani yang anggota Komisi D DPRD DKI itu diduga melakukan penggelembungan pelaporan penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kegiatan reses.

Selain itu, Viani juga dianggap tidak memberikan teladan dalam hal kepatuhan aturan ganjil genap berlalulintas di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Pemecatan Viani dilakukan per 26 September 2021 kemarin. Sontak saja, Viani tidak terima dengan pemecatan dan berencana melakukan gugatan hukum.

Publik merasa terperangah mengingat kesalahan Viani ini sebetulnya “lumrah” dilakukan oleh kader-kader di partai-partai lain.

Yang membedakan, di partai-partai lain semua orang bersikap “tahu sama tahu”. Sementara, PSI tak mau kompromi.

Permainan me-mark up laporan reses jamak dilakukan oleh anggota Dewan sejak zaman kuda gigit besi. Demikian pula soal arogansi anggota dewan yang melanggar aturan lalu lintas. Itu hal yang biasa selama ini.

Saya jadi teringat dengan debat kusir yang terjadi antara orang yang mengaku anggota dewan (padahal sudah tidak terpilih lagi) dengan polisi lalu lintas di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan beberapa tahun yang lalu.

Kejadian ini direkam dengan dengan kamera dan ditayangkan di acara kriminal stasiun televisi swasta.

Dengan sikap tidak mau tahu dan ingin menang sendiri, (mantan) anggota dewan ini merasa berhak dan boleh memutar kendaraan di penggal jalan yang dilarang untuk memutar.

Sebagai anggota dewan (sekali lagi mantan) dirinya merasa berjasa ikut menggelontorkan dana APBN bagi kepolisian.

Penonton siaran acara ini menjadi mahfum betapa berkuasanya anggota dewan, termasuk dalam menerabas larangan lalu lintas. Itu pun dengan surat izin mengemudi (SIM) yang kedaluarsa.

Andai kebijakan seperti PSI ini diterapkan juga di partai-partai lain maka transparansi, akuntabiltas dan pertanggungjawaban kepada pemilih tidak lagi sekedar menjadi “kredo” kosong dalam tata kelola kepartaian.

Partai harus berani menjadi contoh kebaikan untuk edukasi literasi politik bagi calon pemilih. Sebuah investasi politik jangka panjang.

Partai seolah melindungi kadernya

Selama ini majelis kehormatan partai, apapun partainya, baru akan menjatuhkan sanksi tata tertib partai setelah proses hukum selesai. Alasannya, menghormati asas praduga tak bersalah.

Padahal, tuntasnya proses peradilan umum membutuhkan waktu yang tidak sebentar sementara dampak degradasi kepercayaan dari konstituen dan simpatisan berproses dengan cepat.

Ambil contoh kasus rasuah yang menjerat mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Partai Golkar seharusnya tidak perlu menunggu proses peradilan Azis tuntas. Fakta-fakta persidangan mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa yang kasusnya terkait dengan Azis bisa jadi dasar pemecatan Azis.

Golkar seperti galau, begitu takut kehilangan satu orang Azis. Padahal di luar sana mungkin banyak kader-kader lain yang kapasitasnya jauh lebih mumpuni daripada Azis Syamsuddin.

Dewan pengurus pusat partai terkesan begitu “melindungi” kader-kadernya yang bersalah. Para elite partai juga berharap ingatan kolektif publik akan hilang dengan berjalannya waktu.

Padahal kasus-kasus yang menyita perhatian publik begitu sulit dilupakan bahkan menjadi “rekam jejak” yang mudah dimunculkan di era sekarang ini.

Publik tentu tak akan lupa bahwa kasus korupsi Hambalang terkait dengan Partai Demokrat. Begitu juga kasus korupsi Bansos yang dilakukan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terkait dengan PDI Perjuangan.

Ada lagi kasus suap kuota impor daging sapi dengan segala cerita di balik layarnya yang tak bisa dihapus dari citra PKS.

Kasus pengurusan izin ekspor benih bening lobster mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sulit ditanggalkan dari Gerindra.

Masih banyak lagi sederet dosa-dosa partai politik terkait korupsi. Begitu sempurnanya karut marut tata kelola manajemen kepartaian di republik ini.

Tata kelola kepartaian memang butuh keberanian. Bukan sekadar bussiness as usual ala kadarnya atau begitu-begitu saja.

Mengelola partai butuh visi yang mendobrak kemapanan. Partai adalah representasi kepercayaan publik.

Sekali lancung mengelola partai sama saja melukai kepercayaan publik. Siap-siaplah untuk dihukum pemilih di pemilu mendatang.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2021/10/04/15474991/partai-partai-yang-melukai-kepercayaan-publik?page=all

Recommended Posts