Rubrik Solidaritas Kita, Koran Solidaritas Edisi VIII, Februari 2016
Bukan hanya soal pemantau Pemilu, soal Feminisme kita juga banyak terinspirasi oleh Manila. Sedikit berbeda, meski tetap di Filipina, Cebu telah menjadi pemantik awal api Feminisme dari dalam tubuh laki-laki bernama Ivan A. Hadar (Alm.).Tahun 2001 Ivan Hadar bersama, Nur Iman Subono, Gadis Arivia dkk menulis buku berjudul “Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan?” Buku itu cukup banyak mengusik pembaca. Banyak nama Feminis laki-laki disana: Rocky Gerung, Donny Gahral Adian, Veven SP Wardhana, Kris Budiman dan Romo Haryatmoko. Ivan Hadar (Alm) tampil membacakan DEKLARASI CANTIK (Deklarasi Cowok-cowok Anti Kekerasan). Beberapa kali kesempatan semasa hidupnya Ivan Hadar menyatakan “Cowo yang bernyali itu bukan yang jago brantem sesama cowo apalagi cuma cowo yang suka nge-gampar cewe. Cowo yang paling bernyali adalah mereka yang berani mengatakan “Aku Feminis Laki-laki”.
Nur Imam Subono (Jurnal Perempuan)
Siapa aktivis perempuan atau kalangan peduli hak-hak perempuan yang tidak pernah membaca Jurnal Perempuan (JP)? Bersama para srikandi feminisme, Nur Iman Subono atau akrab dipanggil Boni menggawangi dewan redaksi jurnal yang terbit pertama kali tahun 1995 itu. Dalam JP edisi 2001, Boni mengangkat tema feminis laki-laki, bahwa perlu dialog dan diskusi antara laki-laki dan perempuan dalam perjuangan bersama melawan budaya patriarki. Pada 2009, dosen di Program Kajian Gender Pascasarjana UI itu bersama sejumlah pegiat lainnya mendirikan wadah Aliansi Laki-laki Baru, untuk mengajak laki-laki respek terhadap perempuan. Menurut Boni, kekerasan terhadap perempuan memang lebih sering dilakukan laki-laki, didukung oleh anggapan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi, perempuan adalah gender kedua. Setelah mengalami penindasan di tempat kerja, laki-laki kemudian melampiaskan kepada isteri dan anak-anaknya, untuk menutupi kelemahan dirinya. Patriarki tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga menekan laki-laki, menciptakan stereotype. Data dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika (US CDC), rasio bunuh diri laki-laki dengan perempuan pada 2010 adalah empat berbanding satu. Saat krisis moneter 1998, angka bunuh diri laki-laki di Indonesia lebih tinggi daripada perempuan. Tekanan sosial dan pandangan umum bahwa laki-laki tidak memerlukan dukungan mental mendorong tindakan bunuh diri sebagai upaya lari dari tanggung jawab. Karena itu Boni mengajak laki-laki menjadi mitra untuk melawan kekerasan terhadap perempuan, dengan mengedepankan nilai-nilai alternatif terhadap maskulinitas (Flood 1988), yaitu male-positive (respek), pro-feminis, dan marginalized-affirmative (tanpa prasangka). Boni menulis sejumlah buku, seperti Catatan Perjalanan Suara Ibu Peduli (1999), Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan (2000) dan Perempuan dan Partisipasi Politik, Panduan untuk Jurnalis (2003).
Wahyu Susilo (Migran Care)
Adik penyair Wiji Tukul ini berada di garis depan dalam membela hak-hak buruh migran Indonesia (BMI) bersama lembaga yang dibidaninya, Migrant Care. Penulis buku Hidup dengan Kekerasan, Catatan Buruh Migran Perempuan NTB (2009) ini gencar melobi pemerintah untuk menyelamatkan BMI yang terancam hukuman mati di negeri orang. Wahyu Susilo juga menyoroti rekrutmen oleh agen-agen PJTKI yang sering melibatkan praktik-praktik trafficking. Saat ini kita telah memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tahun 2007 yang turut berkontribusi menaikkan posisi Indonesia dari kategori tier-3 atau paling buruk menuju tier-2. Terkait gelombang pengungsi Rohingya, pemerintah bersikap tepat untuk menerima, begitu pula Malaysia yang naik peringkatnya menjadi tier-2 watch list, sementara Thailand yang menolak posisinya tidak beranjak dari tier-3. Selain trafficking, risiko nyawa juga mengancam BMI, seperti kejadian kapal tenggelam pada Januari 2016 di perairan Malaysia, sepuluh korban adalah perempuan. Menurut Wahyu kejadian itu bukan kali pertama, terkait buruknya birokrasi yang mendorong banyak buruh migran tanpa dokumen. Besarnya jumlah perempuan yang menjadi buruh migran tidak saja mencerminkan proses feminisasi kemiskinan, tetapi juga memposisikan mereka rentan masuk dalam jaringan sindikat narkoba. Kasus Mary Jane Veloso dari Filipina, dan terakhir Rita Krisdianti BMI asal Ponorogo yang terancam hukuman mati di Malaysia karena membawa empat kilogram sabu dalam tasnya. Terkait mobilitas buruh migran dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Wahyu mendorong perlunya perlindungan mengingat Indonesia bersama Filipina dan Vietnam penyumbang remitansi terbesar. Tetapi Wahyu berkali-kali mengingatkan, pemerintah supaya menanggalkan paradigma komodifikasi tenaga kerja, bahwa BMI adalah sumber penghasil devisa dan upahnya rendah.
Surya Chandra Surapaty (Kepala BKKBN)
Politisi PDI Perjuangan ini aktif dalam berbagai forum terkait isu kependudukan dan pembangunan, di antaranya Badan Kependudukan PBB (UNFPA), Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI), dan Ikatan Ahli Kemasyarakatan Indonesia (IAKMI). Saat menjadi anggota DPR, Surya memimpin Pansus sejumlah perundangan seperti RUU Anti-KDRT dan RUU Perlindungan Anak. Menurut Surya, perjuangan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan tidak selesai dengan lahirnya UU Anti-KDRT. Kekerasan di lingkungan keluarga tidak saja memunculkan biaya pengobatan dan turunnya produktivitas perempuan, tetapi juga membuat anak-anak tidak berkembang menjadi manusia dewasa yang utuh. Terkait kenakalan remaja, Surya menekankan perlunya revolusi mental bagi keluarga Indonesia, mengingat keluarga adalah wahana pertama dan utama bagi penyemaian karakter bangsa. Keluarga dituntut melindungi anak dari budaya kekerasan, sehingga dapat memutus spiral kekerasan di tengah masyarakat. Saat desakan untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan dari saat ini 16 tahun, Surya melihat dari sisi kesehatan terkait risiko kematian dan kanker leher rahim bagi remaja perempuan yang menikah terlalu dini. Dalam upaya menekan penyebaran HIV/AIDS, Surya membela program Pekan Kondom Nasional yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), bahwa sasarannya adalah pria yang berisiko agar tidak menularkan virus kepada isterinya. Pada pelantikannya sebagai Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Menteri Kesehatan berpesan bahwa BKKBN harus bisa memberikan edukasi yang komprehensif tentang kesehatan reproduksi kepada generasi muda atau remaja. Pernyataan tersebut diamini Surya, di mana kurangnya edukasi membuat banyak terjadi kehamilan yang tidak diharapkan. Membangun kampung-kampung KB di pelosok daerah, Surya mendorong Kampanye Orangtua Hebat pada seribu hari pertama kehidupan.
KH. Hussein Muhammad (Fahmina Institute)
Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon ini bisa disebut sebagai satu-satunya kyai feminis di Indonesia saat ini. Alumni Al-Azhar Kairo tahun 1983 ini mulai bersentuhan dengan gagasan tentang kesetaraan gender saat mendiang Gus Dur melancarkan inisiatif untuk menjadikan pesantren sebagai agen perubahan sosial. KH Husein Muhammad pun mulai menulis buku-buku kajian agama bertema perempuan, antara lain Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001), Islam Agama Ramah Perempuan (2005), Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender (2011), Fiqh Seksualitas (2011), Fiqh HIV/AIDS (2010) dan Fiqh Anti-Trafficiking (2009). Husein juga mendirikan LSM-LSM perempuan, yaitu Rahima, Puan Amal Hayati, Fahmina Institute dan Alimat, bahkan pernah menjadi komisioner Komnas Perempuan. Sejumlah penghargaan diterima Husein, di antaranya “Hero Acting to End Modern-Day Slavery” dari pemerintah Amerika Serikat, dan namanya masuk dalam 500 tokoh muslim berpengaruh dunia versi Royal Islamic Strategic Studies Center (RISSC), Amman Yordania. Tidak semua orang terbuka terhadap gagasan Husein, kalangan garis keras dan tradisional menentang, bahkan kantor Fahmina pernah digeruduk massa saat hangat pro-kontra RUU Pornografi. Husein menanggapi dengan mengajak membuka kembali kitab-kitab klasik, di mana perdebatan seputar aurat perempuan sudah ada sejak abad ke-9. Husein mengkritik perda-perda syariah yang menyasar cara berpakaian perempuan, dengan dalih melindungi perempuan. Husein mencemaskan menguatnya konservatisme dan radikalisme, serta tidak berdayanya pemerintah menjaga toleransi dan konstitusi. Di sisi lain, Husein juga melihat munculnya para intelektual muda muslim dan upaya dialog antar-agama dan keyakinan. Husein kemudian mendirikan kampus sendiri, Institute Studi Islam Fahmina (ISIF).
A Tribute to Ivan A. Hadar
1950-2015
Feminis laki-laki, begitulah dia sering menyebut dirinya. Lahir di Ternate, 27 Agustus 1950 Ivan Hadar tidak asing dalam peta gerakan sosial di Indonesia. Tahun 1990an, setelah mengikuti pelatihan Gender and Gentleman di Cebu, Filipina. Ivan Hadar bersama Wahyu Susilo, Rocky Gerung, Veven SP Wardhana, Kris Budiman, Donny Gahral, Romo Haryatmoko, menulis sebuah buku—dengan kata pengantar Gadis Arivia—dengan judul provokatif, Feminis Laki-laki: Solusi atau Masalah? Dalam lokakarya “Keterlibatan Laki-laki dalam Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan”, bersama Kevin Evans, Ivan menjadi pembicara. Puncaknya, dalam seminar besar dengan tema yang sama, dengan dua pembicara utama (keynote speaker), Prof Fuad Hasan dan Prof Emil Salim, Ivan membacakan Deklarasi Cantik (Cowok-cowok Anti Kekerasan). Acara tersebut terbilang sukses dan diliput oleh pelbagai media sebagai salah satu bentuk kampanye. Sumbangannya dalam gerakan sosial di Indonesia tidak kecil. Musik adalah hal yang dipelajarinya secara otodidak.
Sabtu malam, 13 Juni 2015, sekitar pukul 00.00 waktu Berlin, Jerman, akibat serangan jantung. Berlin adalah kota yang sangat dia kenal dalam hampir separuh perjalanan hidupnya. Ivan meraih gelar doktor bidang antropologi dari Technische Universitaet Berlin pada 1992 dengan predikat summa cum laude dan dengan disertasi “Reception of Occidental Values through Traditional Education in Indonesia” mengenai dunia dan kehidupan pesantren di Indonesia.