Oleh: Nissa Rengganis
Pengantar:
Esai ini merupakan salah satu karya peserta Lomba Esai “Anak Muda dan Politik” yang diselenggarakan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bekerja sama dengan Qureta pada 2016.
Godot selalu hadir di setiap perubahan jaman. Dengan membawa semangat yang sama: harapan dan kecemasan.
Pilkada datang lagi. Orang-orang di negeri ini mulai tenggelam dalam ingar-bingarnya. Beberapa diantaranya mulai menyiapkan diri seperti siswa yang pertama kali masuk sekolah setelah liburan panjang usai. Beberapa sisanya lebih memilih jalan sunyi—menepi dari keriuhan pilkada.
Tapi ada yang tidak bisa dihindari: jalanan yang mulai sesak oleh sederet spanduk, baliho, papan reklame yang hadir diantara pohon-pohon layu. Televisi mulai beradu berebutan dengan berita politik, iklan sampo, komedi basi dan wajah muda-mudi alay di sinetron.
Koran penuh iklan dan janji-janji politisi. Kita yang sebagian tersisih dari ingar bingr pesta pilkada kerap menanam harapan sekaligus kecemasan–seraya berdoa dapat menggunakan hak pilih dengan tepat. Memang di musim politik begini sellau banyak kata semoga diantara kita.
Saya yang memilih untuk menyepi dari keriuhan pilkada tiba-tiba teringat pada dua tokoh dungu Vladimir dan Estragon-nya Beckett. Orang-orang yang sepanjang hidupnya dikutuk dan dihukum sebagai penunggu Godot– di bawah pohon tepi jalan. Vladimir dan Estragon adalah kita.
Orang-orang gelisah yang disuguhkan peristiwa dari segala musim. Tidak berdaya, dihinggapi kegetiran hidup, terasing dari lingkungan sosialnya dalam keadaan nyaris putus asa. Di musim pilkada begini, kita terseret lagi pada ritual yang sama; menanti suatu kesia-siaan dengan penuh harap.
Sementara di tengah penantian itu, kita terus membual tentang harapan yang ditunggu-tunggu itu akan datang. Menunggu hingga hari berganti minggu, minggu berganti bulan hingga ke tahun-tahun yang terik. Tapi yang kita temui hanyalah sederet peristiwa mencekam yang datang silih berganti. Dan kita menertawakan segala peristiwa pahit itu.
Naskah Waiting for Godot yang ditulis Beckett pada awal 1950-an adalah sebuah drama penting dunia. Ia mewakili semangat zaman pasca Perang Dunia II, tetapi semangat itu hingga kini masih relevan. Sekalipun sudah 60 tahun selepas naskah dipentaskan untuk kali pertama di Paris, godot selalu hadir di setiap perubahan jaman.
Dengan membawa semangat yang sama: harapan dan kecemasan. Hari ini, kita tengah terseret ke arus besar pesta demokrasi dan tengah berlomba-lomba merayakannya. Tapi, kita kerap cemas dengan segala harapan yang sisa-sisa. Harapan yang kita titipkan pada sekelompok orang yang entah.
Vladimir dan Estragon adalah kita. Yang terus mengulang peristiwa demi peristiwa. Orang-orang yang gelisah, menemui kegetiran dan hampir putus asa. Godot sebuah tragedi. Seperti kita barangkali yang tengah menanti suatu keajaiban dengan penuh harap.
Tidak berdaya, dihinggapi kegetiran hidup, terasing dari lingkungan sosialnya dan dalam keadaan nyaris putus asa. Barangkali itulah wajah-wajah pemilih menjelang pilkada. Ditengah keputusasaan itu, kita terus saja menyusuri sebuah terowongan gelap berliku-liku, dan percaya akan menemui seberkas sinar di ujung terowongan sana.
Kita ini barangkali dikutuk dan dihukum untuk jadi penunggu — seperti Vladimir dan Estragon yang menanti Godot di bawah pohon di tepi sebatang jalan. Mereka menunggu, menunggu dan menunggu tetapi Godot tak pernah datang.
Jika Godot adalah sosok pemimpin ideal yang kita harapkan, mungkinkah ia hadir dari kancah pilkada yang sengit ini? Sementara kita tahu, pertarungan politik hanya perihal kalah menang. Lalu lintas politik hari ini terlampau riuh oleh gesekan-gesekan yang saling menjatuhkan satu sama lain. Ironisnya, terkadang diantara kita pun turut tumbang.
Godot dan politik kerap menyeret manusia selalu berada dalam posisi antara, antara diri sebagai subjek dengan diri sebagai objek. Dua posisi ini memberikan pengalaman yang mampu menyimbolkan kondisi manusia sebagai mahluk bebas tetapi berhadapan dengan kuasa.
Godot dan para tokoh yang hadir di dalamnya—betapa siapa pun tak bisa membebaskan diri dari kutuk lingkungan. Ada yang dramatik dari para tokoh Waiting for Godot—silang sengkarut konflik mewarnai penantian mereka. Saling menyimpan curiga, marah, mengumpat, menyalahkan, juga memafkan di kemudian. Mirip kompetisi politik kita.
Lantas apa yang tersisa? Harapan barangkali. Seperti Vladimir dan Estragon penuh harap menunggu Godot yang tak kunjung datang. Ya, saya menduga dalam teks-teks yang penuh kegetiran itu ada makhluk gaib bernama harapan. Ia semacam rasa optimisme untuk melawan tragedi yang melahirkan nasib buruk pada si tokoh.
Mereka terus menjadi sekaligus merebut realitas sosial pasca Revolusi Industri yang mengawali abad pencerahan di Eropa. Alienasi, keterasingan terlahir ketika individu merasa kecewa atau menyesal karena gagal dalam memahami kehidupan manusia. Dalam politik, kekecewaan ini kemudian melahirkan sikap apolitis hingga golput. Peristiwa ini kemudian mengutuk kita menjadi homo videns–manusia penonton, kata Giovanni Sartoni.
Tokoh asing. Situasi mencekam. Pembaca secara mendadak diajak bertemu dengan tokoh yang asing, tanpa ada prolog pengenal. ―meminjam istilah Dami N toda; bagai seorang gerilya yang mendadak muncul dari hutan-hutan gelap. Ini terjadi juga pada kita menjelang pilkada. Kita terpaksa harus memilih orang-orang yang muncul dari hutan gelap dan mengaku dirinya adalah Tarzan. Sialnya kita percaya bualan si Tarzan dengan segala petualangannya sebagai raja hutan.
Padahal kecewa kemarin belum reda. Tapi kita si penunggu dungu yang penuh harap harus siap menerima segala cemas. Perasaan kecewa, pasrah, marah, bercampur aduk dengan rasa tidak berdaya menghadapi permasalahan yang datang berlapis-lapis semenjak tumbangnya Orde Baru hingga hari ini.
Perubahan yang digadang-gadang reformasi ternyata tersaruk-saruk tak tentu arah. Perubahan yang diserukan SBY hingga Jokowi tak kunjung datang. Tapi bukankah kita manusia penunggu yang penuh harapan dan bersiap untuk kecewa. Barangkali selalu memang terlampau banyak kata semoga diantara kita.
Pilkada datang lagi. Orang-orang di negeri ini mulai tenggelam dalm ingar-bingarnya. Ada yang menyambut gembira, tidak sedikit yang hambar saja. Tapi kesemuanya dari kita akan berlomba-lomba mencari pegangan yang kuat untuk bisa mengendalikan perahu layar kita yang diombang-ambingkan ombak besar adab digital, cyber, hologram, hingga wireless world ini.
Siapapun tokoh dalam pilkada, kita adalah Vladimir Estragon yang kerap setia menunggu Godot di setiap keriuhannya. Sekalipun sia-sia, tapi toh kita tetap penuh harap menunggunya.
Nissa Rengganis
Penulis
Lomba Esai Politik PSI-Qureta Juara Harapan 3
Lomba Esai Politik PSI ini bekerja sama dengan Qureta, diselenggarakan 20 Agustus-05 Oktober 2016. Dewan juri memutuskan tiga orang juara, yakni juara 1, 2, dan 3, serta tujuh juara harapan.