Editorial Koran Solidaritas, Edisi ke-12
Dalam tata Bahasa Indonesia dikenal istilah akhiran atau sufiks, yakni imbuhan yang ditambahkan di akhir kata. Sebut saja yang berkaitan dengan kata benda misalnya: pikiran, hadirin, rohaniawan, makanan, minuman, dan seterusnya. Atau ada juga yang berkenaan dengan kata sifat: nasionalisasi, intoleransi, parlementer, elementer dan lain-lain.
Selain itu, salah satu yang banyak digunakan adalah akhiran yang berbunyi ‘wi’ seperti manusiawi, duniawi, dan kimiawi. Tidak terdapat perubahan makna bagi kata yang diberi akhiran. Penambahan akhiran ‘wi’ untuk mempertegas pengaruh sebuah benda terhadap sifat. Kimiawi adalah mempertegas bahwa sifat atau proses yang terjadi merupakan bagian dari benda-benda kimia. Manusiawi berarti sifat yang dimaksud secara umum memiliki kesamaan atau seperti yang terdapat pada manusia.
Joko adalah salah nama yang popular digunakan di Indonesia, selain nama Muhammad, Agus, Surya, Udin dll. Sebut saja tokoh-tokoh nasional seperti Djoko Santoso, Djoko Susilo, Joko Anwar dan terakhir Presiden RI ke-7 Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi. Bisa diartikan bahwa Joko dengan akhiran ‘wi’ menunjukkan sifat seperti atau serupa dengan Joko.
Joko dalam bahasa Jawa adalah nama anak laki-laki muda, pemuda, anak muda, atau anak muda sukses. Joko juga lebih populer sebagai nama depan, hampir tidak pernah sebagai nama belakang, meski kadang ditemukan berada di tengah. Merujuk arti dan karakter yang melekat pada nama Joko, jika ditambah akhiran ‘wi’ maka bisa diterjemahkan sebagai tindakan yang mencerminkan kemudaan, kegagahan, ulet, pantang menyerah dan selalu terdepan. Karenanya Jokowi seharusnya juga adalah harapan, jika harapan kita maknai sebagai akibat yang muncul setelah tindakan dan kerja, bukan dari proses termenung.
Karakter jokowi tampaknya bisa kita lihat terpancar dari tindakan dan kerja dari Presiden RI yang ke-7 Joko Widodo. Kemudaannya tidak bisa disembunyikan, tertawa dan mencari hal lucu yang terselip dalam rutinitasnya setiap hari menunjukkan bahwa Joko Widodo bahagia menjalankan tugas-tugasnya. Dia bekerja nyaris tak berhenti, menteri-menteri dipaksa mengikuti ritme Sang Presiden, wajar beberapa `tokoh senior agak kewalahan mendampingi presiden.
Joko Widodo punya mimpi membawa Indonesia sebagai poros maritim dunia, namun pekerjaan rumah tentu tidak sedikit: konektivitas barat-tengah-timur Indonesia harus segera dibereskan. Satu karakter yang membedakan anak muda dan politisi senior adalah tentang bermimpi. Politisi senior terlalu ribet dengan tata krama politik, sehingga melambatkan gerak bahkan terkadang mematut-matutkan diri menjadikan kemasan lebih utama dibandingkan substansi.
Pertanyaannya sekarang, jika politik tertinggal dibelakang Joko Widodo, atau dalam kata lain jika partai politik tidak mampu melakukan reorganisasi dan modernisasi dalam gerak langkah politiknya atau menjadi partai politik yang lebih Jokowi daripada Joko Widodo, maka itu bisa dikatakan partai politik sebagai titik pijak harapan kewargaan akan tertinggal jauh. Karena tertinggal, parpol lalu bisa menjelma menjadi veto actors dalam pergaulan demokrasi Indonesia modern.
Saya tidak mengatakan bahwa semua parpol di Indonesia saat ini berupaya menjadi veto actors, namun kecenderungan mengutak-atik aturan hukum pemilu, pelemahan KPK oleh DPR-RI adalah sedikit dari sekian banyak contoh Lembaga legislatif tersebut mencoba mempertahankan gaya politik lamanya, ketimbang melakukan perbaikan dari dalam. Wajar kemudian publik menempatkan DPR sebagai lembaga paling tidak dipercaya publik pada tahun 2016. PDIP sebagai partai asal Joko Widodo harusnya mampu lebih Jokowi ketimbang parpol lainnya, dalam beberapa kesempatan PDIP justru terkesan malah mengawasi Pak Jokowi, sehingga wajar jika kemudian Golkar, Nasdem, Hanura merasa lebih Jokowi ketimbang PDIP.
PDIP tentu punya perhitungan sendiri, namun waku terus bergulir dan parpol lain sudah lebih dulu mengambil ceruk “paling Jokowi” itu. Terlepas dari itu semua, Presiden Joko Widodo sebaiknya menyiapkan diri lebih baik pada tahun 2019. Pilkada DKI Jakarta 2017, membuktikan bahwa kerja keras dan prestasi masih belum mampu membendung isu-isu politik yang menggunakan sentimen SARA sebagai bahan kampanye.
Joko Widodo harus menghitung Parpol diluar PDIP (dengan asumsi PDIP sudah pasti mencalonkan kembali Joko Widodo sebagai Presiden 2019) yang paling memiliki karakter muda, terdepan, pekerja keras, tangguh dan ulet. Yang terpenting adalah partai yang memiliki mimpi yang sama dengan Joko Widodo dan tidak berpotensi menjadi veto actors dalam postur demokrasi Indonesia yang Jokowi.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai baru yang sudah menyatakan akan mencalonkan Joko Widodo adalah pilihan yang bijak. Sama merah, sama mimpi, satu senior, satunya muda. PDIP membutuhkan citra muda dan baru, dua hal yang tidak mungkin dibangun dalam waktu dekat. Sementara PSI membutuhkan citra berpengalaman menjalankan kekuasaan, juga tidak mudah membentuknya dalam waktu dekat.
Joko Widodo tentu tidak melihat parpol di Indonesia sebagaimana Emmanuel Macron melihatnya di Perancis sana, ketimbang ikut karam bersama kapal, Macron memilih membangun En Marhce, meski baru namun lebih dekat kepada makna “politik yang Jokowi.” Politik yang muda, berani, cepat, kerja keras, ulet dan tangguh. Lalu karenanya maka politik bisa menjadi harapan yang selalu berada paling depan dalam sebuah mimpi mewujudkan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.