Oleh: Jeffrie Geovanie
Penangkapan tiga terduga teroris di dalam kampus Universitas Riau baru-baru ini mengonfirmasi temuan sejumlah survei yang menunjukkan tumbuh dan berkembangnya radikalisme di lembaga-lembaga pendidikan. Meskipun rata-rata persentasenya masih kecil, jika tidak dilakukan upaya pencegahan yang serius, bukan tidak mungkin embrio yang kecil itu akan tumbuh menjadi kekuatan besar.
Mengapa harus dicegah? Karena radikalisme, terutama dalam memahami dan menafsirkan agama, dalam konteks Indonesia yang multientik dan agama, berpotensi memecah belah dan bisa meruntuhkan pilar-pilar kebangsaan yang sudah dibangun para pejuang pendahulu kita.
Salah satu cara untuk mencegahnya adalah dengan menguatkan kembali komitmen membela bangsa. Komitmen yang dimaksud bukan sekadar daftar keinginan untuk melakukan hal-hal yang dianggap menjadi penawar radikalisme, tapi yang lebih penting adalah bagaimana aktualisasinya yang bisa menyentuh semua kalangan, terutama para pendidik baik yang ada berkiprah di perguruan tinggi maupun di sekolah-sekolah menengah.
Bentuk aktualisasi dari penguatan komitmen membela bangsa adalah, pertama, dengan merumuskan kembali, apa yang selama ini kita sebut sebagai asas dan pilar bangsa, interpretasi-interpretasi baru dalam kalimat-kalimat aktif yang mudah dipahami dan bisa dijalankan oleh segenap masyarakat sesuai dengan karakteristik demografinya.
Kalimat aktif interpretasi asas dan pilar bangsa bisa dirumuskan dengan kreatif oleh masing-masing komunitas dengan bahasa dan narasi yang komunikatif dengan melibatkan ahli-ahli filsafat, bahasa, psikologi, dan pendidikan. Sebagai contoh, untuk generasi milenial, kalimat-kalimat aktif yang dimaksud harus mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan pergaulan anak-anak muda.
Kedua, lembaga yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menyosialisasikan asas dan pilar bangsa, selain diisi tokoh-tokoh yang memiliki kompetensi dan wawasan juga harus memiliki kelayakan dan keteladanan. Tanpa memiliki kualifikasi seperti ini, hanya akan menjadi bahan cibiran dan bulan-bulanan publik.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, lembaga ini harus lebih terbuka terhadap masukan-masukan masyarakat, dan lebih mendekatkan diri terutama pada kalangan yang sudah terdeteksi terpapar paham-paham radikalisme melalui pendekatan yang humanis dan bersahabat, bukan dengan pendekatan dogmatis formalistik.
Ketiga, di tengah menguatnya ancaman radikalisme yang sudah terpapar di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus ternama, rasanya kurang bijak jika kita berdiam diri dan menyerahkan tugas membela bangsa sepenuhnya hanya kepada prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Seluruh komponen bangsa harus memiliki kesadaran penuh terhadap munculnya ancaman radikalisme yang berpotensi memecah belah persatuan, merobek tenun kebangsaan.
Oleh karena itu, patut kita apresiasi langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengajak organisasi keislaman dan masyarakat umum untuk membela negara dari segala bentuk ancaman, baik berupa pengkhianatan, separatisme, maupun upaya mengubah bentuk negara.
Menurut MUI, eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dinyataklan dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945 pada hakikatnya adalah wujud perjanjian kebangsaan (al-mitsaq al-wathani) yang berisi kesepakatan bersama (al-muahadah al-jamaiyah) bangsa Indonesia.
Ajakan MUI yang tertuang dalam salah satu hasil kersepakatan (ijtima‘) ulama, Komisi Fatwa se-Indonesia yang diputuskan 9 Mei 2018 di Banjarbaru, Kalimantan Selatan ini, menurut saya, bisa menjadi penawar racun radikalisme, utamanya yang berasal dari konsep dan pemahaman agama yang salah.
Keempat, harus tertanam pada setiap benak umat bahwa komitmen membela bangsa adalah komitmen untuk mengamalkan Islam sebagai agama yang membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta (rahmatan lil-‘alamin). Kalau kita baca dengan saksama sejarah Rasulullah SAW, Nabi yang menjadi panutan semua Muslim sepanjang zaman, beliau benar-benar menjadi contoh hidup, menjadi teladan bagaimana Islam diimplementasikan. Di era Nabi, Islam benar-benar menjadi rahmatan lil-‘alamin.
Setelah Nabi SAW wafat, Islam sebagai agama yang terbuka, terkadang ditafsirkan oleh orang-orang yang memiliki ragam kepentingan, dan kepentingan subjektifnya mempengaruhi tafsirannya. Maka di sinilah, kepentingan agama kadang-kadang mewujud dalam kepentingan-kepentingan subjektif para penafsirnya.
Nah perebutan kepentingan dalam penafsiran agama inilah yang kerap menjadi masalah. Radikalisme yang sekarang banyak dipersoalkan itu, sejatinya antara lain muncul dari deviasi penafsiran agama. Saya sebut antara lain karena radikalisme tidak semata-mata muncul dari kesalahan penafsiran agama.
Dan, kelima, yang tidak kalah penting dalam menguatkan komitmen membela bangsa adalah agar dimulai dari diri sendiri. Setiap warga negara, terlebih pejabat publik yang digaji dari uang negara, semuanya harus menjadi pelopor di lingkungan keluarga dan komunitasnya masing-masing. Dengan demikian, komitmen yang dimaksud akan menjadi sesuatu yang hidup dan mewarnai dalam setiap ucapan dan tindakan dari seluruh warga negara.
Jeffrie Geovanie
http://jeffriegeovanie.com
Anggota MPR RI 2014-2019